Setiap mendengar orang terdekat memilih Partai Golkar, saya langsung antipati.
Sejak saya remaja, ayah sudah menanamkan dan menjejali saya dengan ribuan alasan mengapa saya tidak boleh memilih siapapun kader partai ini yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Apakah itu gubernur, walikota, ataupun Presiden Republik Indonesia yang tercinta ini.
Ayah saya dengan seluruh jiwa raganya amat sakit hati, trauma, kecewa, dan kehilangan kepercayaan terhadap rezim Soeharto berserta kroni-kroninya yang kebanyakan merupakan kader partai ini. Beliau menganggap merekalah biang keladi wabah nasional korupsi dan nepotisme. Wabah ini menyebabkan negara kita bangkrut pada tahun 1998. Akibatnya Presiden ini pun diturunkan oleh sebagian besar warga negara Indonesia melalui demonstrasi besar-besaran yang dilakukan para mahasiswa dan kalangan intelektual Indonesia.
Ayah berusaha memastikan agar saya, anaknya yang pada saat itu tidak terlalu ambil pusing dengan permasalahan politik di negara, akan mengambil langkah ekstrim yang sama. Dan, jujur saja, saya manut-manut saja.
Tiba-tiba saja, beberapa hari lalu saya mendapatkan undangan untuk menghadiri sebuah seminar dengan tema “Partai Politik dan Penguatan Institusi Demokrasi di Era Jokowi-JK”. Narasumber seminar ini Dr. Dimas Oky Nugroho yang memiliki latar belakang pendidikan impresif. Berbagai gelar sarjana S1, S2 dn S3 beliau dapatkan di universitas-universitas ternama baik di dalam dan di luar negeri. Selain Nugroho sebagai narasumber utama, pembicara lain adalah Ir. Airlangga Hartarto MBA, MMT, salah satu nominasi calon utama Ketua Umum Golkar dan M Ali Azhar SIP, MA yang ternyata tidak jadi hadir.
Undangan ini sangat mendadak. Saya cukup kaget karena saya mendapatkan undangan melalui akun Facebook dari seseorang yang tak berteman dengan saya, Ferdias Bookleman. Dia menginformasikan bahwa ia mendapatkan kontak saya setelah membaca salah satu artikel saya di website BaleBengong.
Saya pun menkonfirmasi kehadiran saya yang awalnya saya anggap sebaagai bentuk apresiasi tulisan-tulisan saya di website ini. Di bawah ini adalah apa yang saya pelajari dan simpulkan dari seminar ini.
Pertama, seminar ini seharusnya dimulai jam 11 siang dan ternyata terlambat. Dr. Dimas Oky Nugroho yang juga membagi pengalaman tentang kegagalannya memenangkan pemilihan walikota Depok, Jawa Barat mengatakan bahwa dia terlambat karena kemacetan yang beliau alami sejak keluar dari Bandara Ngurah Rai. Namun, dia tidak menjelaskan alasan mengapa Airlangga dan M Ali Ahzar tidak hadir.
Kedua, bertempat di sebuah kelas di lantai empat sebuah gedung Kampus Udayana di Jalan Sudirman Denpasar Bali, saat saya tiba, saya dan tiga blogger lain serta beberapa mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pembangunan (FISIP) diinformasikan bahwa kami akan dibayar Rp 300.000 untuk menulis opini pribadi kami tentang seminar ini. Tulisan itu nantinya harus dipublikasikan di blog, akun twitter serta Facebook kami, maupun website-website di mana tulisan-tulisan kami akan dibaca oleh audiens yang lebih besar.
Ketiga, saat seminar dimulai dan Dr. Dimas Oky Nugroho mulai berbicara, beberapa anggota mahasiswa FISIP Udayana mendengarkan dengan sesama. Namun, kebanyakan justru mengobrol satu sama lain dan hanya berada di sana secara fisik.
Beberapa kali saya merasa sangat terganggu. Saya jadi tidak bisa terlalu konsentrasi dan mendengarkan dengan baik apa yang sedang disampaikan pembicara. Saya merasa sangat kecewa dengan perilaku para mahasiswa ini.
Saya berasumsi bahwa mahasiswa yang memilih jurusan Ilmu Politik adalah orang-orang yang memang ingin terjun ke dunia politik setelah tamat kuliah. Saya meyakini salah satu keahlian yang dibutuhkan seorang politikus di samping melobi dan berbicara di publik adalah kerendahan hati. Dengan kerendahan hati mereka bisa mendengarkan aspirasi masyarakat secara aktif dan penuh empati meskipun mereka tidak selalu setuju akan apa yang mereka dengarkan.
Apalagi dalam seminar ini, ada banyak ilmu politik yang diajarkan. Dan, terus terang saja, saat saya melihat sikap-sikap yang telah sayaa sebutkan di atas, saya tidak akan merasa aman jika akhirnya mereka yang dipilih menjadi representasi masyarakat.
Bagaimana mereka bisa mengajukan pertanyaan pertanyaan kritis atau membuat regulasi-regulasi yang menguntungkan masyarakat jika mereka tidak bisa menjadi pendengar yang baik. Padahal, mereka adalah aset bangsa dan para pemuda yang beruntung. Mereka bisa kuliah dan memiliki ilmu pengetahuan lebih dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya yang tidak memiliki kesempatan sama.
Keempat, dalam pembahasan yang dilakukan oleh Dr. Dimas Oky Nugroho, saya belajar banyak mengenai jargon-jargon dalam politik serta sejarah politik di Indonesia. Jujur saja saya cukup merasa malu saat saya menyadari bahwa ada banyak literatur politik dan sejarah Indonesia yang belum saya baca.
Dr. Dimas juga menekankan berkali-kali pentingnya Partai Golkar untuk bertransformasi dan mengembalikan kepercayaan publik. Menurut Dr. Dimas, Golkar masih dibutuhkan negara ini untuk bisa berfungsi dengan baik dan terutama karena Presiden Jokowi akan masih membutuhkan peranan mereka.
Kelima, pada saat sesi pertanyaan, saya bertanya apakah Bapak Dr. Dimas Oky Nugroho ini diutus untuk membantu mensosialisasikan tentang partai ini dan bahkan sedang mengupayakan agar persepsi umum tentang partai Golkar ini bisa menjadi lebih positif. Beliau cukup kaget saat menjawab pertanyaan saya ini.
Beliau menjawab bahwa beliau bukan kader Partai Golkar. Beliau datang semata-mata untuk membantu mengedukasi mahasiswa tentang ilmu politik dan tentang perubahan perilaku masyarakat dalam berpolitik.
Keenam, pada sore hari, saya pun menerima dua email yang ditulis Arifah Abdul Majid, tim pendukung dan administrasi dari MB Communication, penyelenggara seminar. Dia menuliskan,
“Kami mengucapkan terima kasih sudah berkenan hadir dan berpartisipasi dalam acara diskusi politik bertema: Partai Golkar dan Penguatan Institusi Demokrasi di Era Jokowi JK. Acara diskusi ini memang untuk menggairahkan opini publik terhadap partai Golkar yang sedang menyelenggarakan Munaslub di Nusa Dua Bali, 15 – 17 Mei 2016. Sebagian besar caketum Golkar adalah orang-orang lama, pemain politik yang udah lumutan yang sepak terjangnya, salah satunya adalah Setya Novanto, yang cenderung “menghalalkan segala cara” untuk ambisi “berkuasanya”. Ya, politik memang licik ya dan uang yang bermain. Secara kekayaan Setya Novanto mencapai ratusan miliar, caketum terkaya.
Sebagai netizen yang peduli terhadap kondisi perpolitikan di tanah air, tentu tak ingin Golkar yang punya basis besar diisi oleh pemimpin yang seperti itu, setidaknya bisa memberikan perubahan. Atas dasar itulah acara diskusi ini digelar. Pembicaranya, salah satunya dihadirkan caketum Golkar yang lumayan berjiwa reformis, tokoh baru dan muda yaitu Airlangga Hartanto.”
Kesimpulan yang bisa saya ambil dari seminar ini adalah sebagai berikut.
Henry Kissinger seorang diplomat dan ahli politik yang ditunjuk sebagai Penasehat Keamanan Nasional pemerintah serta Menteri Luar Negeri Amerika Serikat pada era Richard Nixon dan Gerald Ford yang mengatakan bahwa, “90 persen politisi berperan dalam merusak reputasi 10 persen politisi lainnya”.
Saya merasa anggapan ini ada benarnya dan bisa saja hal ini pun terjadi di partai Golkar.
Saya sudah melihat orang-orang yang teguh untuk memperjuangkan kebenaran dan berusaha untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat. Salah satu contohnya ayah saya sendiri yang sangat anti korupsi saat menjalankan tugasnya di Institusi Kepolisian yang terkenal sangat rawan akan kasus ini. Namun, usaha orang-orang ini direcoki dan digagalkan oleh orang-orang yang hanya berfokus untuk mensejahterakan kepentingan diri sendiri dan beberapa golongan tertentu.
Kedua, oleh karena saya sudah diberitahu bahwa opini saya tidak akan dikontrol oleh siapapun walaupun saya diinformasikan bahwa fee R. 300,000 ini akan dibayarkan oleh Airlangga Hartarto, saya akan mengekspresikan apa yang saya benar-benar saya alami dan rasakan.
Dari awal, saya tidak terlalu tertarik untuk mendalami partai politik terutama partai Golkar karena asumsi-asumsi negatif yang telah saya sebutkan di atas. Jujur saja saya pernah mendengar nama Setya Novanto. Akan tetapi tidak terlalu memberikan perhatian pada banyak kasus ataupun skandal yang dituduhkan kepada beliau di media massa. Jika memang beliau terbukti bersalah, tentu saja saya berharap peserta Munaslub di Bali bisa memilih Ketua Umum Golkar yang lebih baik, siapapun orangnya.
Saya pun belum pernah didekati oleh para pendukung Setya Novanto atau dibayar untuk memilih beliau. Jadi saya tidak bisa terlalu membuktikan bahwa beliau akan bermain uang.
Dari email yang saya terima, sudah jelas bahwa seminar ini untuk mendorong peserta, beberapa di antaranya merupakan blogger, untuk memihak Airlangga Hartanto. Saya menyimpulkan bahwa upaya ini dilakukan oleh rasa putus asa. Sebab, jika dibandingkan dengan Setya Novanto, perolehan suara beliau berada jauh di belakang sementara Setya Novanto masih berada di urutan teratas, seperti diinformasikan Dr. Dimas Oky Nugroho.
Bagi saya pribadi, usaha ini adalah bentuk keputusasaan untuk mencari pendukung. Fee Rp 300.000, – yang diinformasikan akan dibayarkan oleh Airlangga Hartanto dengan harapan bahwa opini saya akan mempengaruhi audiens saya untuk memilihnya adalah bentuk penyogokan secara halus dan tersirat.
Dr. Dimas Oky Nugroho mengatakan salah satu alasan mengapa Indonesia merdeka adalah karena kemunculan kaum intelektual yang memiliki semangat melawan kesewenang-wenangan. Saya ingin melakukan hal ini.
Jika memang MB Communication dan Ir. Airlangga Hartanto, penyelenggara seminar ini konsisten untuk melakukan revolusi politik, maka saya akan tetap dibayar setelah tulisan ini dipublikasikan walaupun saya tidak menuliskan dukungan saya terhadapnya. Bahkan meskipun saya mengatakan secara terus terang bahwa saya akan merasa disogok jika saya disarankan atau dipaksa untuk mengubah tulisan saya.
Saya akan menerima jika tulisan ini akhirnya tidak dibayar walaupun saat ini saya sedang memiliki masalah keuangan karena saya lebih baik mempertahankan integritas saya.
Saya adalah umat Hindu yang dididik untuk mempercayai karma. Jika saya memutuskan untuk menulis opini yang akan memihak Airlangga Hartarto karena saya beliau membayar saya sejumlah Rp. 300.000, berarti saya memiliki peranan dalam menghambat transformasi partai Golkar yang sekarang sedang didengung-dengungkan.
Dan mungkin saja, sikap para mahasiswa yang tidak benar-benar memperhatikan pembicaraan narasumber adalah oleh karena mereka merasakan bahwa mereka sedang dimanipulasi. [b]