Teks oleh Luh De Suriyani, Foto Anton Muhajir
I Komang Dana, 24, bergegas menyiapkan dua buah tokasi, wadah anyaman tempat sesajen buahnya diletakkan. Ia mengikat tokasi itu dengan masing-masing seutas tali bambu, kemudian menumpukknya menjadi satu sebelum dibungkus kembali dengan sehelai kain mirip taplak meja.
Setelah semua barang bawaannya siap, ia mulai mengenakan pakaian adatnya mulai dari saput, kamben, dan terakhir melilitkan sehelai kain panjang yang di kepalanya menjadi sebuah destar.
Istri Dana menyatakan tidak bisa mengikuti upacara persembahyangan di Pura Puncak sari, lokasi piodalan, karena sakit. Akibatnya pria berperawakan sedang itu sendiri yang harus membawa sesajen ke puncak bukit Puncak Sari yang harus dilalui dengan menaiki beberapa bukit sejauh sekitar 10 kilometer itu.
Karena tak biasa mengusung tokasi yang biasanya dilakukan perempuan dengan mengusung di atas kepala, Dana memanggulnya di bahunya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00 Wita ketika dilihatnya kerumunan orang yang juga akan melakukan perjalanan melelahkan ke Pura Puncak Sari. “Kuuk..,” teriaknya nyaring membelah kesunyian di kaki Bukit Saab, ketika menjejakkan kaki di sudut jalan setapak yang menuju Bukit Puncak Sari.
Teriakan yang sama terdengar beberapa kali yang diartikan sebagai bentuk sapaan atau seruan antar pemedek atau warga yang akan bersembahyang ke pura di bukit itu.
Beberapa pemedek terlihat tidak mengenakan pakaian adat seperti yang dipakai Dana. Mereka membawa tas atau bungkusan yang berisi pakaian adat dan akan dipakai setelah tiba di Pura.
“Wah, tidak mungkin bisa mendaki gunung kalau sudah mekamen, nanti robek dan kotor,” seorang perempuan yang merantau di Kota Denpasar memberi alasan kenapa ia mengenakan celana dan kaos.
Pura Puncak Sari terletak di ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut di Dusun Pekarangan, Desa Ngis, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Denpasar. Pada Purnama Ketiga dalam setahun penanggalan Bali, piodalan pura itu, ratusan warga dari sejumlah desa sekitarnya akan berduyun-duyun melakukan persembahyangan disana. Untuk mencapainya, warga mencari jalur pendakian terdekat dari wilayahnya masing-masing.
Dana, pria berkulit legam itu tiba di Pura Puncak Sari setelah hampir dua jam mendaki. Sesampainya, puluhan tokasi juga telah diletakkan berjajar di sekitar tugu-tugu pemujaan. Beberapa orang berpakain serba putih yang akan memimpin upacara atau disebut pemangku oleh warga sekitar juga terlihat sibuk menyiapkan sesajen.
Sejumlah pemangku dipandu Pemangku utama, Jero Mangku Gde Bendesa meletakkan sejumlah bebanten di sembilan tugu suci yang ada di Pura Puncak Sari itu. Kain-kain yang dililitkan di masing-masing tugu tampak baru demikian juga payung-payung sucinya, karena pura ini baru selesai direnovasi akhir Desember tahun lalu.
Sebuah meru tumpang lima pun terlihat kokoh menjulang di atas bukit ini. Kontras dengan pemandangan laut pesisir timur Karangasem yang terhampar di bawah jajaran bukit-bukit sekitar.
Setelah semua sarana upacara siap, Jro Mangku gde Bendesa memulai memanjatkan doa-doa suci. Irama gong suci pun mulai mengalun dari sisi luar areal jeroan pura. Hampir satu jam irama gong mengalun tanpa henti. Sementara ratusan pemedek memilih duduk-duduk di sekitar areal pura hingga meluber ke tepi-tepi tebing bukit.
Tiba-tiba irama gong ditabuh kencang membuat seluruh pemedek tersentak dan beranjak dari tempat duduknya masing-masing. Tanpa dikomando, mereka berlomba-lomba mencari lokasi terdekat dengan areal utama pura dan membuat ruang terbuka. “siapa yang narat, siapa yang narat?” terdengar suara-suara penasaran dari pemedek. Agaknya mereka dengan segera menyadari makna suara gamelan yang makin meninggi itu.
Semenit kemudian, seorang pria menyeruak dari bale gong, ah ternyata pria muda itu Dana. Tubuhnya bergetar hebat. Dua orang dengan sigap segera melepas baju kemeja cokelat yang dikenakannya. Dua orang itu juga mlepas udeng, menarik kancut, ujung kain yang menjuntai dan menariknya di sela kedua kaki Dana. Kemudian mengikatnya di sumbu kain yang dililitkan di pinggangnya, sangat cepat.
Titik-titik peluh telah memenuhi sekujur tubuh Dana. Kedua tangannya diacungkan ke udara sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya di tanah.
Gerakan di luar kesadarannya ini disambut seorang pria tua dengan menyerahkan sebilah keris. Irama kempul, cengceng, terompong, dan gangsa menyambut daratan dengan mengalunkan irama narat. Dana yang tengah kerauhan memukul-mukulkan tubuh keris yang tajam dan berkarat ke lengan tangan kirinya. Sambil menghentak-hentakan seluruh tubuh.
Satu kali, dua kali, berkali-kali hingga hampir satu menit, dengan gerakan sangat cepat keris itu dipukul-pukulkan ke lengannya. Ia terlihat berusaha sekuat tenaga mengayunkan kerisnya hingga rahangnya menggeram.
Irama gong makin melambat, dan sang Daratan pun menghentikan gerakan kerisnya. Yang terisa hanya goresan-goresan merah tergurat di lengannya.
Dana tak sendirian, satu persatu orang menyeruak dari kerumunan pemedek juga kerauhan dan melakukan hal yang sama seperti yang dialkukannya. Tak sampai lima menit, tiga pria yaitu Nengah Netra, dan Dulur yang berusia setengah baya, serta seorang pria lanjut usia berumur hampir 80 tahun, Pan Madya, juga telah tampil narat.
Para Daratan bergerak kesana-kemari seperti ada yang menuntunnya. Dana dan Dulur sering terlihat memutari sesajen yang telah diletakkan di masing-masing tugu dan yang digelar di atas tanah menghadap ke laut.
Dengan keris menghunus, kadang-kadang disertai gerak tari mereka menarik salah satu Jro Mangku untuk memeriksa apakah bebatenan yang telah dipersembahkan telah lengkap. Dulur misalnya meraih tangan salah seorang Jro Mangku yang berada di dekatnya untuk memercikkan arak berem di sekitar sesajen.
Tak terdengar jelas kata-kata yang diucapkan mereka ketika meminta Jro Mangku untuk memeriksa sesajen itu. Kadang yang terdengar hanya rintihan dan gumaman dari mulut mereka. Walau demikian, Jro Mangku yang ditunjuk segera mengerti apa yang diperintahkan oleh para Daratan itu.
Setelah memercikkan arak berem, Dulur kembali bergerak lincah memeriksa berbagai kelengkapan sesajen yang ada. Hingga akhirnya ia mengambil ritual wajib bagi Daratan yakni menggigit seekor ayam hitam dengan giginya.
Seekor anak ayam berbulu hitam sebelumnya telah diletakkan di arah Selatan menghadap laut bersama perlengkapan sesaji lainnya. Ayam hitam yang dipersembahkan bagi Dewa Baruna itu dikulum oleh Dulur sambil menari sebelum digigit dengan giginya.
Keriangan terlihat di wajah-wajah para Daratan. Ketika memastikan seluruh rangkaian upacara berjalan dengan semestinya dan seluruh sesaji lengkap telah dihaturkan.
Beberapa saat setelah itu, irama gamelan melambat, kemudian secara perlahan satu persatu Daratan langsung duduk bersila di depan tugu pemujaan. Jro Mangku memberikan sarana persembahyangan seperti bunga dan dupa untuk mereka.
Khusyuk, mereka segera larut dengan doa-doa pemujaan. Terakhir, Jro Mangku memercikkan tirta, air suci ke kepala dan tubuh mereka. Sepercik air tirta dan bunga-bunga yang digosokkan ke tubuh mereka pun menjadi obat ampuh setelah tubuh mereka dirajam oleh keris.
“Tidak, tidak terasa sakit sedikit pun, malah saya merasa puas,” ujar Dana sambil mengusap-usap setangkai bunga kamboja ke lengan kirinya. Goresan-goresan akibat hujaman keris pun tak berwarna merah lagi itu.
Dana mengaku tidak mengerti dengan perubahan yang dialaminya ketika mulai narat. “Tidak sadar apa yang terjadi tapi energinya jadi besar,” tambahnya.
Ia menceritakan peristiwa ini pertama kali terjadi ketika ia berumur 18 tahun. Pertama kali mendapat energi besar ini juga di Pura Puncak Sari. Kadangkala disadarinya ada suara-suara batin yang menuntunnya. “Katanya yang narat disenangi oleh-Nya,” ujarnya singkat menjelaskan mengapa Daratan mampu berfungsi sebagai pemeriksa pelaksaan upacara adat. Garis keturunan dan perilaku, tambahnya, tidak mempengaruhi orang bisa menjadi Daratan, si penyaksi.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh I Wayan Kulon, 77, salah seorang sesepuh warga Dusun Pekarangan, Ngis, yang melakukan pemujaan di Pura Puncak Sari.
Irama gong pun sepertinya mengetahui permintaan mereka, kapan irama harus melambat dan kapan harus meninggi. Ketika gamelan ditabuh dalam tempo tinggi, sontak secara bergantian Daratan kembali beraksi.
Selain narat atau memukul-mukulkan keris ke lengan atau bagian tubuh lainnya, mereka juga kerap ngurek. Ngurek ini dilakukan dengan menusukkan keris ke salah satu bagain tubuh, biasanya dada kiri atau kanan lalu mengayun-ngayunkan sekuat tenaga seperti gerakan melingkar.
Pan Madya, pria lanjut usia ini pun tak kesulitan melakukan narat atau ngurek seperti pria yang berusia lebih muda darinya. Tak ada rasa sakit, bahkan Pan Madya beberapa kali membuat sejumlah pemedek tersenyum. Dengan gaya tarinya yang kocak serta semburat senyum di bibirnya yang memerah karena mengulum base-buah, ramuan yang membuat gigi kuat dan menyegarkan.
Tak hanya Daratan yang meramaikan puncak upacara hari itu. Enam perempuan setengah baya pun tiba-tiba kerauhan dan menari sebagai persembahan kepada Dewa-Dewi yang dipuja.
Dengan sebuah rangkaian bunga kamboja putih, mereka membuat gerakan-gerakan anggun mengkombinasikan gerakan sederhana antara tangan dan kaki. Anehnya, dalam kondisi kerauhan gerakan tari mereka berjalan harmonis mengikuti irama gambelan.
kalo untuk tahun 2013 kapan ya? suksma