Teks Luh De Suriyani, Foto Adi Setiawan
Ida Okta Pranita Devi, perempuan 12 tahun, mengatakan jarang dikunjungi keluarga ketika tinggal di asrama sekolah khusus tuna grahita.
“Keluarga datang seminggu sekali. Saya sih lebih senang tinggal di rumah,” ujarnya. Kalau di asrama sekolah ia merasa kadang kesepian.
Hal yang sama disampaikan Putu Ari Ariastuti, siswa SLBA Gianyar khusus tuna netra. Ia mengatakan hanya dikunjungi keluarga sebulan sekali. “Saya tidak bisa menolak katanya biar cepat pintar,” ujarnya.
Sekitar 50 anak-anak dan remaja mencurahkan pendapatnya seputar kehidupan sekolah dan kebutuhannya dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali, Selasa.
Dengar pendapat Anak-anak berkebutuhan khusus di aula Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah raga Provinsi Bali ini dalam rangka Hari Anak Indonesia.
Ketua KPAI Bali Anak Ayu Sri Wahyuni mengatakan anak-anak punya hak menolak dan suaranya harus didengar.
Sebagian anak-anak dari berbagai sekolah luar biasa di Bali ini ditanyakan satu per satu keluhan dan kebutuhannya. KPAI mencatat untuk disampaikan pada Gubernur Bali pada Puncak Hari Anak Nasional yang akan dilaksanakan di Gerokgak, Kabupaten Buleleng.
I Made Gintil Muliartha, Kepala Sekolah SLB C khusus tuna grahita mengatakan semakin banyak orang tua yang enggan merawat anaknya yang mengalami down syndrome atau autis. “Tiap tahun jumlah anak-anak yang dititipkan makin banyak, asrama sudah over load,” keluhnya.
Orang tua disebut lebih senang jika anaknya tinggal di asrama sekolah. “Kami banyak menolak karena hanya ada tiga kamar yang diisi 25 orang anak. Penuh sekali,” kata Muliartha.
Ia juga mengaku kekurangan guru dan kelas. Jumlah siswa saat ini 230 orang, dan tiag guru mengajar rata-rata 15 anak per kelas. “Idealnya satu guru mengajar 5 anak,” tambahnya.
Selain perhatian dari orang tua, terangkum juga masalah biaya pendidikan yang masih dikenakan walau pemerintah menjanjikan gratis sampai tingkat SLTA. Ada juga permintaan agar lembaga formal memberikan kesempatan yang sama untuk bekerja atau berekspresi.
“Cita-cita saya ingin menjadi penyanyi profesional. Cukup di album kompilasi saja,” ujar Agus Diana, siswa 16 tahun sekolah luar biasa khusus tuna netra yang pintar menyanyi.
“Tidak ada masalah kalau tuna netra sering bergaul. Teman tuna netra lain saya harapkan ikut membaur dengan teman normal lainnya,” kata Agus.
“Kita semua sama, jangan minder. Jangan mengandalkan lingkungan di sekolah atau asrama saja,” tambahnya lagi memotivasi temannya.
Wahyuni juga mengajak anak-anak menceritakan apakah pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual dari guru atau orang lain.
“Tidak ada yang boleh memegang organ tubuh dari dada sampai bokong,” ujar Wahyuni yang kemudian diterjemahkan dengan bahasa isyarat pada anak-anak tuna rungu.
Sejumlah anak-anak yang tuli memakai alat bantu pendengaran dan dibantu pendampingnya untuk berkomunikasi.
Dengar pendapat ini diikuti oleh siswa SLB-B Sidakarya, Jl. Pendidikan Denpasar, SDLB Gianyar, SDLB Bangli, SLB Tabanan, dan lainnya.
Luh Anggreni, wakil ketua KPAI mengatakan pihaknya sedang gencar mengkampanyekan pengetahuan kesehatan reproduksi untuk anak-anak termasuk berkebutuhan khusus. “Kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak adalah kasus tertinggi yang ditangani KPAI. Sementara anak-anak sama sekali tak bisa melawan,” ujarnya.
Hal ini juga diatur dalam UU Perlindungan Anak untuk melindungi diri dari kekerasan fisik dan psikologis dari keluarga dan pihak lain. [b]