Oleh Luh De Suriyani
Siklus puncak epidemi demam berdarah kembali terjadi pada bulan Mei ini. Hal yang terus berulang selama lima tahun terakhir, tanpa menunjukkan perubahan pola penanggulangan dari pemerintah.
Korban kalangan pejabat terakhir yang terinfeksi adalah Alit Kesuma Kelakan, mantan wakil Gubernur Bali. Kelakan kini menang dalam Pemilu 2009 sebagai anggota dewan perwakilan daerah (DPD) Bali sebagai peraih suara terbanyak. “Demam berdarah salah satu penyakit mematikan dan korbannya pun harus dirawat lama,” ujarnya.
Kelakan meminta Dinas Kesehatan lebih serius membuat program pencegahan DBD. “Beban biaya kesehatan akibat DB sangat tinggi, apalagi bagi warga miskin,” tambahnya.
Data RS Sanglah Denpasar, sebagai pusat rujukan mencatat setiap bulan terjadi peningkatan jumlah pasien baru selama 2009 ini. Pada Januari, pasien baru berjumlah 179 orang, kemudian 286 orang pada Maret, lalu 373 pasien baru pada April. Baru lima hari di bulan Mei, jumlah pasien baru yang masuk sudah 66 orang.
“Sepertinya bulan Mei kembali menjadi puncak pasien DB di Sanglah,” ujar dr. Ken Wirasandhi, Kasi Pelayanan Medik RS Sanglah.
Pasien di Sanglah datang dari berbagai kabupaten di Bali, terutama stadium DB tinggi yang tidak mampu ditangani rumah sakit daerah.
Kepala Dinas Kesehatan Bali dr. I Nyoman Sutedja mengakui tren puncak epidemi tiap tahunnya sudah terdeteksi karena selalu sama dalam 5 tahun terakhir. Masa puncak terjadi mulai Februari sampai Mei.
Ia mengakui program pengasapan atau fogging ternyata tidak efektif untuk membunuh jentik nyamuk penyebab DB seperti yang dilakukan selama ini. “Kami akan memprioritaskan program pemusnahan jentik dengan petugas pemantau jentik atau jumantik tahun depan,” katanya.
Sutedja akan mengikuti strategi pemerintah Kota Denpasar yang menyediakan jumantik lima orang per desa. “Denpasar tahun ini berhasil mengurangi kasus DB, dari 294 kasus menjadi hampir setengahnya,” ujarnya.
Pemberantasan nyamuk menurutnya sangat tergantung kualitas lingkungan. Kerusakan lingkungan di Bali seperti peningkatan sampah dan alih fungsi lahan produksi menjadi trigger berkembangnya jentik nyamuk aedes agepty.
“Daerah-daerah yang terlantar karena sawah sudah tak produktif menjadi sumber berkembangnya nyamuk ini karena banyak genangan air yang tidak diawasi,” kata Sutedja.
Epidemi DB lima tahun terakhir ini menunjukkan peningkatan. Pada 2004, kasus DB di Bali berjumlah 1890, lalu pada 2005 sebanyak 3594, meningkat menjadi 5631 (2006). Puncaknya adalah pada 2007 ketika Bali dalam status kondisi luar biasa DB dengan 6375 kasus.