Oleh Luh De Suriyani
Bali harus mempunyai sejumlah skenario pariwisata sepuluh atau dua puluh tahun mendatang karena dampak pemanasan global. Lingkungan alam dan pertanian adalah modal utama pariwisata Bali yang sangat rentan dengan fenomena perubahan iklim saat ini.
Hal ini terungkap dalam diskusi Mencari Format Pariwisata Bali yang Berelanjutan di Kampus Fakultas Pariwisata Universitas Udayana beberapa waktu lalu.
“Dimensi lingkungan alam sebagai modal dasar pariwisata sedang mengalami ancaman berat akibat ekonomi global dan ancaman perubahan iklim. Bali tidak boleh menyerah pada kekuasaan,” ujar M. Baiquni, peneliti Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta.
Pariwisata pun, menurutnya berkontribusi dalam penurunan kualitas lingkungan bila melampaui batas-batas kemampuan alam untuk memulihkan dirinya. Climate Change dan global warming menjadi pembahasan peneliti internasional di bidang pariwisata dua dekade ini, karena makin banyaknya bencana alam dan kekeringan di dunia.
“Di Indonesia, pasca krisis ekonomi 1997 akan diperparah dengan krisis ekologi yang berujung pada krisis multidimensi kemudian krisis total,” tambah Baiquni yang juga Dosen Geografi di UGM ini.
Ia memaparkan empat skenario pariwisata 2020 di Indonesia. Pertama, skenario menjadi kuli di negeri sendiri. Menurut Baiquni skenario ini akibat dari kebijakan pemerintah yang selalu berpihak pada bisnis besar dan global sehingga pemodal asing menguasai sistem pariwisata Indoensia.
“Pemodal asing menguasai pasar ekspor kerajinan rakyat di kota maupun pelosok desa. Ekspor kerajinan meningkat namun nilai tambah dan kreatifitas diserap industri global,” ujarnya.
Ia mencontohkan pengrajin perak Kota Gede (Jogjakarta) yang dibawa ke Malaysia, pengrajin kayu di Jepara (Jawa Tengah) diajak ke Thailand, serta pengerajin perhiasaan di Gianyar (Bali) yang dibujuk pindah kerja ke Malaysian dan Singapura.
“Wisatawan tak lagi datang ke desa dan kampung pengrajin serta kecenderungan disain etnik dipatenkan oleh pengusaha asing,” kata Baiquni.
Ia juga memaparkan scenario positif seperti “kura-kura dalam perahu”, yang memadukan usaha local dan global yang diatur oleh pemerintahan besih dan berdimensi multikultur. Pengharagaan atas keragaman namun tak mematikan.
Sementara I Ketut Narya, Kepala Seksi Pengembangan Kebijakan Dinas Pariwisata Bali mengatakan pariwisata budaya masih menjadi landasan master plan kebijakan pariwisata Bali.
Ini berbeda dengan hasil penelitian Dinas Pariwisata dan pusat penelitian pariwisata Unud yang menyebutkan jenis pariwisata yang potensial dikembangkan adalah eco tourism, marine tourism, dan spiritual tourism.
Sayangnya, Narya mengakui Bali mempunyai kendala besar di ancaman keruskaan lingkungan seperti terumbu karang, irigasi pertanian, dan manajemen pariwisata.
Data Dinas pariwisata Bali pada 2008 memperlihatkan, tingkat hunian kamar di Bali rata-rata 59 persen. Kunjungan wisatawan langsung ke Bali berjumlah 1.968.892 orang sementara jumlah kamar mencapai 45 ribu unit. [b]
terima kasih luhde.
sudah posting liputan seminar kami. sorry saya baru baca. de, kalo ada acara diskusi bagus kontak sy ya…
sukma bening embun
Saya tertarik dengan tulisan Anda.
Saya juga mempunyai artikel mengenai Pariwisata di Indonesia yang bisa anda kunjungi di http://indonesiacorner.gunadarma.ac.id/.