Oleh Rofiqi Hasan
Sejumlah organisasi wartawan, Selasa (27/1), mendatangi Kejaksaan Tinggi Bali untuk meminta penerapan UU Pers dalam kasus pemukulan wartawan Radar Bali Miftahuddin Halim. Pemukulan itu dinilai sebagai upaya untuk menghalang-halangi pencarian informasi.
Para wakil organisasi itu adalah Hari Puspita (Aliansi Jurnalis Independen), Pasek Suardika (Persatuan Wartawan Indonesia), Didik Dwi Praptono (Perhimpunan Jurnalis Indonesia) dan Rahman Sabunama (Persataun Wartawan Indonesia Reformasi). Mereka diterima oleh Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Bali IB Wiswantanu.
“Kejaksaan menyambut baik aspirasi kita itu akan mengkaji penerapan UU itu. Mungkin dengan pasal berlapis,” sebut Puspita.
Menurut Puspita, perbuatan pemukulan bisa dianggap melanggar pasal 4 ayat 3 UU Pers yang memberi hak kepada wartawan untuk melakukan pencarian informasi. Pelanggaran pasal berupa tindakan menghalanipencarian informasi terancam hukuman maksimal 2 tahun penjara dan denda Rp 500 juta sesuai pasal 18 UU itu.
Sementara itu Pasek Suardika menegaskan, bila dilihat kronologi kejadian, peristiwa itu jelas mengakibatkan korban Miftahuddin Halim tidak bisa lagi melaksanakan tugasnya. “Setelah kejadian, dia mengalami luka dan trauma psikologis,” ujarnya. Dia berharap, meskipun menggunakan pasal berlapis, jaksa akan menjadikan pasal dalam UU Pers sebagai nyawa dakwaannya. “Ini akan menjaid pembelajaran bagi semua pihak,’ ujar dia.
Kasus pemukulan Miftahuddin Halim, fotografer harian Radar Bali, terjadi pada Kamis (15/1). Pemukulan dilakukan oleh Paul Handoko, seorang pengusaha yang sedang tersandung perkara pidana. Saat itu pual sednag menjalani pemeriksaan di Kejati Bali. Akibat, pemukulan miftah mengalami luka di bagian hidungnya dan sempat tidak bekerja karena merasa dirinya terancam. Kasus ini masih dalam penyidikan polisi untuk kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan. [b]