Sulit membayangkan apa yang bisa dilakukan Bali tanpa pariwisata.
Namun sebenarnyalah pariwisata itu adalah Api. Maka jika pariwisata tidak dikendalikan dengan kebijakan tepat, bukan berkah yang akan diterima, melainkan bencana. Kobaran api pariwisata akan membakar habis Bali hingga tak bersisa. Bahkan api pariwisata bisa menjelmakan Bali dari “The Last Paradise” (surga terakhir) menjadi “The New Hell” (neraka yang baru).
Banyak literatur mengenai pariwisata dalam paradigma kritis yang sering menyebutkan bahwa pariwisata itu adalah api. Api itu bisa dipergunakan untuk memasak, namun jika tidak dikendalikan dengan baik bisa juga membakar habis rumah kita. Ungkapan terkenal mengenai pariwisata mengatakan seperti ini, “Tourism is like fire: you can cook your dinner on it, but if you are not careful. it will burn your house down.”
Pada konteks pariwisata Bali, kita bisa melihat bahwa kegagalan pemerintah mengendalikan laju pariwisata sudah mulai memperlihatkan semakin besarnya kobaran api hasrat pariwisata. Fakta paling mudah dilihat adalah terjadinya kerusakan lingkungan. Daerah resapan air semakin menyempit karena luas hutan yang harusnya mencapai 20 persen dari luas daratan Bali tidak lagi bisa dipenuhi. Lahan sawah yang beralih fungsipun makin massif.
Pemerintah gagal mengendalikan peralihan fungsi lahan karena tidak memiliki komitmen kuat. Bukannya mencegah, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang mendorong peralihan fungsi lahan dengan mengenakan pajak tinggi pada lahan pertanian. Atas nama pembangunan untuk mendukung pariwisata, jalan-jalan baru pun dibangun dengan menutup banyak saluran irigasi. Lahan pertanian milik petani menjadi kesulitan air, kering lalu tak bisa digarap. Karena tak lagi produktif, dengan alasan desakan ekonomi, lahan pertanian dijual kepada investor.
Omong Kosong
Sementara itu harga pupuk pun dinaikan berlipat-lipat sehingga mempertinggi ongkos produksi. Tak banyak generasi muda Bali yang masih mau menjadi petani. Ironisnya, di mimbar-mimbar pidato, di forum-forum akademis, nasib pertanian selalu saja dibicarakan. Namun, semua hanya sebatas omong-omong kosong. Lebih ironis lagi, karena para pemimpin di Bali konon justru menjadi calo-calo yang siap menyediakan tanah bagi para investor.
Pariwisata juga mendorong dengan kuat terjadinya urbanisasi. Bali yang kecil diserbu warga dari luar daerah yang berharap ikut mengalap berkah dari pariwisata. Karena daya dukung Bali sangat kecil, maka terjadilah ledakan demografi tak terkendali. Sudah banyak teori mengulas bahwa ledakan penduduk memiliki dampak sangat buruk terutama bagi sektor keamanan. Angka kriminalitas menjadi semakin tinggi. Faktanya, Bali kini memang sudah menjadi daerah yang keamanannya makin diragukan.
Ketika kue pariwisata semakin nikmat, justru penduduk lokal Bali bukannya ikut menikmati bagian kuenya melainkan hanya remah-remah. Pariwisata yang kental dengan watak kapitalismenya dan didukung kebijakan demikian liberal, menjadikan penduduk lokal makin termajinalkan. Para pedagang souvenir di pasar-pasar seni tradisonal yang dulu pernah berjaya dan hidup lumayan dari pariwisata kini hidup kembang kempis. Kalah bersaing dengan pengusaha-pengusaha bermodal raksasa.
Banyak uang dari pariwisata dinikmati investor-investor raksasa yang bahkan bukan orang Indonesia melainkan dari negara lain. Lihat saja siapa pemilik hotel-hotel besar di Bali. Hampir sebagian besar merupakan jaringan hotel internasional. Artinya bahwa sebenarnya bahwa pariwisata Bali bukanlah dari, oleh dan untuk orang Bali, melainkan dari, oleh dan untuk orang asing.
Neraka Baru
Pada tahun 1930-an, Miguel Cavarubias bersama sejumlah seniman asing seperti Walter Spies dengan antusias memperkenalkan Bali kepada dunia luar terutama dunia barat. Bali diperkenalkan sebagai surga terakhir (the Last Paradise). Penyebutan sebagai surga karena ketika itu, wanita-wanita Bali masih bertelanjang dada dan mandi di pancuran dengan riang. Mirip seperti gambaran kehidupan di taman firdaus dalam keyakinan masyarakat barat.
Bali juga diperkenalkan memiliki keeksotikan budaya karena budaya-budaya yang sudah lama lenyap diperadaban lainnya di dunia ini, tapi masih bisa ditemukan di Bali.
Hingga tahun 1980-an, pariwisata Bali masih berjalan pada rel terkendali. Pemerintah ketika itu masih memiliki wibawa kuat mengatur apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan masyarakat terkaitan pariwisata. Selain itu, nikmatnya kue pariwisata Bali masih hanya diberikan kepada kroni para penguasa Jakarta. Meski hal ini sangat tidak adil, namun setidak-tidaknya masih bisa mengendalikan kobaran api pariwisata.
Perkembangan politik yang semakin demokratis melahirkan sistem pemerintahan otonom di tingkat kabupaten dan kota. Sistem politik demokratis juga mengubah sistem pemilihan pemimpin daerah menjadi pemilihan langsung. Akibatnya lahir raja-raja kecil yang seringkali mengatasnamakan pembangunan daerah dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) lalu membuat kebijakan-kebijakan yang semakin mengobarkan api pariwisata.
Pembatasan masa berkuasa, bukannya membuat raja-raja kecil menjadi pelindung melainkan makin rakus mengeruk keuntungan dari pariwisata. Menjadi terang benderang kemudian, mengapa Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) misalnya ditolak dengan keras oleh para kepala daerah di tingkat kabupaten/ kota.
Dampaknya, perkembangan pariwisata nyaris tanpa kendali. Banyak yang telah dikorbankan rakyat Bali demi pariwisata. Lingkungan dan budaya secara perlahan mulai terkikis kualitasnya. Kemacetan ada di mana-mana. Sampah tidak tertangani dengan baik. Angka kriminalitas meninggi. Semuanya dampak negatif pariwisata yang begitu mendominasi beberapa waktu belakangan.
Bali kini menjadi sorga terakhir (the last paradise) yang terbakar api pariwisata sehingga menjelma menjadi neraka baru (the new hell).
Sorga yang berubah menjadi neraka, tentu saja menjadikan Bali di masa depan akan ditinggalkan. Dan saat itu terjadi maka tidak akan ada lagi yang mempedulikan Bali, kecuali orang Bali sendiri. Kita yang terpaksa harus menanggung akibatnya. Ibarat rumah, Bali telah mulai terbakar sedikit demi sedikit. Ketika tiba saatnya nanti, kobaran api pariwisata akan semakin besar dan rumah bernama Bali akan benar-benar terbakar habis (burning down). Kemudian rakyat Bali akan hidup dari mengais puing-puing yang masih tersisa.
Mengendalikan Api
Kobaran api pariwisata yang sudah demikian membesar mestinya harus segera dikendalikan. Tetapi memang tidak mudah mengendalikan dalam kondisi yang sudah makin kritis seperti saat ini. Kepemimpinan yang kuat sangat dibutuhkan untuk mengendalikan api pariwisata agar kembali menjadi api kecil yang berguna untuk memasak makanan. Tidak ada kata terlambat selama telah tumbuh kesadaran bersama.
Masalahnya adalah sangat sering, justru kesadaran tidak tumbuh dari para pemimpin. Rakyat kemudian dibiarkan saja melakukan apapun, selama tak mengganggu kekuasaan atau selama apa yang dilakukan rakyat bisa memberi keuntungan bagi kekuasaan. Raja-raja kecil di sistem politik Bali modern, seharusnya mulai memadamkan api hasrat yang terus membara di pikirannya masing-masing untuk meraup keuntungan dari pariwisata.
Kecuali, manusia Bali hendak menjadi seperti laron-laron yang tertarik pada terangnya cahaya petromak sehingga selalu berusaha mendekat. Sayangnya justru panasnya petromak membuat laron mati terbakar.
Atau jangan sampai manusia Bali seperti binatang Lemming, sebangsa tikus pengerat didaratan skandinavia Eropa Utara. Biasanya binatang Lemming ini punya ritus unik tahunan, yakni bermigrasi secara besar-besaran menuju lautan. Bukan untuk berkembang biak atau mencari makan, melainkan untuk menjemput ajalnya. Karena ketika tiba di pantai merekapun menceburkan diri lalu mati.
Jadi, meski sedang menuju kepada kehancurannya, manusia-manusia Bali tetapi tetap saja menerjang. [b]