“Petani adalah pekerjaan yang paling mulia,” ujar seorang pria kelahiran Singaraja yang memiliki visi besar untuk kemajuan sektor pertanian.
Ia adalah Agung Wedhatama. Bertahun-tahun, pria yang akrab dipanggil Agung Wedha itu membekali diri dengan keterampilan IT dan jeli dalam melihat masalah pertanian di Bali. Setelah menamatkan pendidikan sarjana dan magister dalam bidang IT (Information Technology) di Yogyakarta, Agung Wedha kembali ke daerah asalnya dan menebar kontribusi penting hingga kini, terutama di sektor pertanian melalui Forum Petani Bali.
Perhatian besar yang dimiliki oleh Agung Wedha terhadap pertanian tampak dari perjalanan awalnya dalam merintis beberapa bisnis. Sejak tahun 2013, ia memulai usaha bernama PT. Wedhatama Sukses yang berfokus pada pengembangan pembuatan pupuk, penanaman, dan budidaya pada para petani di hulu. Setelah selama beberapa tahun menjalani usaha tersebut, Agung Wedha mulai melihat permasalahan di dalam pertanian yang mana salah satunya adalah pasar panen.
Berangkat dari pandangannya akan berbagai permasalahan yang terjadi, visi untuk memajukan pertanian pun mulai terbentuk. Hingga pada tahun 2017, visi tersebut mulai dilengkapi oleh misinya. Agung Wedha berupaya untuk mewujudkan idenya dalam mengembangkan pertanian dari hulu ke hilir, mulai dari pengolahan lahan, pemeliharaan, panen, hingga pasca panen.
Perjalanan baru pun dimulai oleh Agung Wedha. Ia mulai menjaring anak-anak muda untuk ikut beraksi dalam digitalisasi pertanian yang kemudian mereka sebut dengan istilah smart farming. Ide digitalisasi terhadap pertanian yang awalnya diinisiasi oleh Agung Wedha itu pun mulai dilakukan secara kolektif melalui komunitas yang dibentuknya, yaitu Petani Muda Keren (PMK) yang terhubung dalam Forum Petani Muda Bali.
Upaya yang dilakukan oleh Petani Muda Keren adalah dengan bergerak mengintegrasikan pertanian dari hulu hingga hilir dengan berkonsepkan smart farming, yaitu Pertanian Skala Kecil yang Terintegrasi dengan Digitalisasi dan IoT (Internet of Things). Tujuannya sendiri adalah untuk mengajak anak-anak muda Indonesia untuk kembali bertani dan terlibat langsung dalam sektor pertanian. Sebuah tujuan yang mulia, melihat situasi di sektor pertanian saat ini yang sedang kita hadapi. Seperti apa?
Nostalgia Masa Kecil Kita di Sawah, Ingatkah?
Jalan dua arah tersebut berlubang di sepanjang jalannya. Di tengah-tengah jalan tersebut, ada sebuah sungai yang mengalirkan air jauh dari atas perumahan di pinggir jalan tersebut. Beberapa menit setelah jalan berlubang, ada sebuah perumahan yang berdiri gagah di sebelah kanan jalan. Perumahan Bukit Jadi, Sanggulan. Begitu setidaknya tulisan yang tercetak di atas pintu masuk perumahan tersebut.
“Saya udah lama tinggal di Tabanan. Udah dari tahun 2000, trus baru pindah sekitar tahun 2013,” ucap seorang pria yang lebih memilih dipanggil Putu.
Bagi Putu, Tabanan dan seisi kotanya mengandung memori yang indah untuk dikenang. Ia telah tinggal di Tabanan sejak baru lahir, hingga pada kelas 1 SMP, ia diharuskan melanjutkan pendidikannya di Denpasar.
Dahulu, padi tersebut menguning merunduk ketika masa-masa panen. Ia dan kawan-kawannya berjalan bersama-sama membawa layangan di punggung mereka. Di bawah teriknya mentari, mereka tetap tersenyum bahagia melihat layangan mereka telah terbang gagah di kerasnya angin Tabanan.
Menjelang petang, mereka cepat-cepat menurunkan layangan mereka. “Takut dimarah ibu,” ucap Putu menjelaskan bahwa pulang malam berpotensi menjadikan dirinya objek kekesalan ibunya.
“Kami pernah nangis bareng-bareng di sawah itu. Layangan kami putus, padahal biaya yang kami keluarkan lumayan berat untuk anak kecil ketika itu,” ucap Putu menerangkan memori-memorinya saat masih kecil dulu.
Kini sawah tempat Putu bermain telah ramai dengan beton yang siap berdiri dengan gagah. Beton-beton tersebut menjelma rumah-rumah minimalis yang siap dijual kepada masyarakat. Tidak banyak tersisa sawah yang siap menerima tangisan anak-anak kecil ketika layangannya terputus karena tali yang mereka pilih tidak kuat menerima kencangnya angin atau menerima gelak tawa bocah kecil yang telah dengan bangga menerbangkan layangan mereka.
Kondisi Sawah di Kita
Walau terkenal dengan julukan negara agraris, jumlah petani dan lahan pertanian di Indonesia selalu menurun setiap tahunnya. Miris?
Walau tidak nampak timpang terlalu jauh, tetapi data pada tahun 2013 menunjukkan bahwa luas lahan pertanian pada tahun tersebut mencapai angka 8.128.499 hektar, kemudian pada tahun 2014 mencapai angka 8.111.593 hektar, dan pada tahun 2015 hanya tersisa 8.087.393 hektar. Dari data tersebut, setidaknya sekitar seratus ribu lahan pertanian di Indonesia yang selalu berkurang setiap tahunnya. Bagaimana dengan Bali?
Bali mengalami penurunan lahan yang pasti setiap tahunnya. Pada tahun 2013, Bali memiliki lahan pertanian seluas 78.425 ribu, sementara pada tahun 2014 Bali memiliki lahan pertanian seluas 76.655 ribu, dan pada tahun 2015, lahan pertanian di Pulau Bali hanya tersisa seluas 75.922 ribu. Dapat kita simpulkan bahwa setiap tahunnya, Bali mengalami penurunan tingkat luas lahan pertanian. Bahkan, penurunan tersebut mencapai lebih dari 1000 hektar setiap tahunnya atau setara dengan 50 kali luas Pura Besakih, Karangasem.
“Lahan pertanian di Bali kini tersisa tinggal 70.000 hektare. Ini menjadi persoalan juga bagi sektor pertanian kita,” ucap Rai Yasa, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian UPT Bali, Kementerian Pertanian RI, dilansir dari NusaBali.com.
Rai Yasa berpendapat bahwa penyebab utama penurunan lahan pertanian di Bali karena alih fungsi lahan. Bagi Rai Yasa, dalam kondisi pertanian yang semakin menipis, memanfaatkan atau menerapkan teknologi pertanian adalah solusinya.
Pemuda Bali Bisa Apa?
Di tengah banyaknya pemuda Bali yang kini asik dengan gadget mereka, ada pria yang rela berkutat dengan teknologi dan lumpur, untuk lahan pertanian Bali yang menyempit.
Agung Wedhatama adalah contoh yang tepat dalam menggambarkan bagaimana pemuda dapat berkontribusi dengan teknologi. Gerakan Petani Muda Keren (PMK) yang diinisiasi olehnya dengan melibatkan dan memberdayakan pemuda serta masyarakat untuk memajukan pertanian maupun perkebunan melalui teknologi.
Smart farming yang telah dikonsepkan memungkinkan para petani untuk mengelola kebun dari jarak yang jauh. Kegiatan seperti menyiram, memupuk, monitoring PH, suhu, semua itu dapat dipantau dengan menggunakan teknologi yang telah didesain. Teknologi tersebut memanfaatkan sistem mekanisasi dan IoT (Internet of Things), sehingga bisa mempermudah para petani dalam mengembangkan kebunnya yang telah terintegrasi dari hulu ke hilir.
“Petani sekarang itu banyak dosa,” ucap pria kelahiran Singaraja tersebut. Ucapan pria tersebut bukan tanpa alasan, ia sangat menyayangkan para petani yang merusak tanah dan hasil pertanian dengan pestisida yang berlebihan, sampai para petani sendiri tidak berani untuk mengkonsumsi hasil pertanian mereka.
Selain menyandarkan organisasi PMK pada teknologi, Agung Wedhatama juga menyandarkan organisasi ini pada tiga visi, yaitu bertani yang organik, healthy life, dan sustainability.
“Saat kita memuliakan alam, maka alam akan memuliakan kita,” ucap Agung Wedhatama dilansir dari wawancaranya dengan Radio Idola sembari menjelaskan bahwa pertanian organik itu dapat menyehatkan semua orang yang terkait.
“Bagaimana kita membuat tanah kita sehat, air kita sehat, konsumen kita sehat, petani kita sehat. Kalau semuanya sehat, otomatis kantong petani menjadi sehat,” sambung pria tersebut dalam wawancaranya dengan Radio Idola.
Melihat pertanian yang kini mulai beradaptasi dengan perkembangan teknologi, tentunya pemuda memiliki potensi yang lebih besar untuk berkontribusi dengan karakteristiknya yang sudah familiar dengan digitalisasi. Oleh karena itu, mendukung dan berinovasi dengan teknologi adalah bentuk dari solusi yang bisa kita berikan.