
Mahasiswa Universitas Udayana (Unud) beramai-ramai memenuhi auditorium Widya Sabha, kampus Unud Jimbaran pada 8 April 2025. Badan Eksekutif Mahasiswa Unud (BEM) pada siang itu mengundang seluruh sivitas akademika dalam sidang akbar mahasiswa yang membahas Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan Unud.
Perjanjian yang memuat tentang sinergitas di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi tersebut ditandatangani oleh I Ketut Sudarsana selaku rektor Unud dan Muhammad Zamroni selaku panglima komando daerah militer IX/Udayana pada 5 Maret 2025. Setelah disiarkan secara luas pada 26 Maret 2025, berbagai penolakan terhadap PKS digaungkan oleh mahasiswa Unud dan masyarakat luas. Mereka menganggap bahwa PKS tersebut memberikan kesempatan kepada militer untuk masuk ke dalam lingkungan kampus.
Sebelum sidang akbar, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unud melakukan kajian terkait pasal-pasal yang dinilai bermasalah dalam PKS. Salah satunya adalah Pasal 4 ayat (3) mengenai peningkatan kapasitas dan sumber daya manusia, sebagai berikut:
“PIHAK KEDUA (Kodam IX/Udayana) menetapkan dan mengirimkan peserta untuk mengikuti program pendidikan S1, S2 dan S3 yang berasal dari Prajurit aktif Kodam IX/Udayana dan Keluarga Besar TNI AD di jajaran Kodam IX/Udayana, mendapatkan informasi tentang perkembangan hasil belajar secara berkelanjutan, diikutsertakan dalam setiap Penelitian yang diselenggarakan oleh PIHAK KESATU (Unud) dan memperoleh hasil penelitiannya serta mendapatkan fasilitas sarana dan prasarana terkait pelaksanaan program kerja sama ini.”
Dalam kajiannya, BEM PM Unud menggap klausul tersebut memberikan jalan pintas bagi prajurit untuk dapat masuk ke perguruan tinggi tanpa melalui proses seleksi. Secara tidak langsung, ketentuan ini dianggap melanggar asas keadilan dalam pendidikan tinggi, yaitu pendidikan tinggi menyediakan kesempatan yang sama kepada semua warga negara Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras, dan antar golongan.
Ada pula klausul dalam Pasal 7 mengenai pertukaran data dan informasi yang dinilai menimbulkan ketidakpastian terhadap perlindungan privasi mahasiswa, terlebih jika data tersebut diproses atau dibagikan. Pasal selanjutnya, yaitu Pasal 8 tentang kampanye informasi dan publikasi bela negara juga dinilai bermasalah. Pasalnya, klausul tersebut dinilai tidak relevan dengan prinsip dasar pendidikan yang bebas, kritis, dan demokratis. Kajian BEM Unud mengenai pasal bermasalah dalam PKS dapat diakses di sini.
Berbekal kemarahan terhadap upaya militerisasi kampus, sejumlah mahasiswa Unud berbondong-bondong mengenakan almamater menuju gedung Widya Sabha. Sebelum memasuki gedung, beberapa mahasiswa sempat melakukan push up di dekat gedung Widya Sabha sebagai bentuk perlawanan dan penolakan.

Sekitar pukul 14.00 WITA, barisan mahasiswa memasuki gedung Widya Sabha. Bersamaan itu pula hadir jajaran birokrat kampus, di antaranya pihak rektorat dan jajaran dekan dari beberapa fakultas. Sidang dibuka oleh Ketua BEM Unud, I Wayan Arma Surya Darmaputra. Kemudian diikuti oleh penyampaian aspirasi dari Presiden BEM masing-masing fakultas.
Di kanan dan kiri tampak beberapa poster perlawanan yang tergantung. Tendang TNI ke barak, pukul mundur TNI ke barak, tolak militerisasi kampus, tolak parjo masuk kampus. Begitu beberapa tulisannya. Beberapa mahasiswa datang dengan figur orang-orangan yang mengenakan seragam militer sebagai simbol perlawanan.
Hidup mahasiswa!
Hidup mahasiswa Indonesia!
Hidup mahasiswa Udayana!
Merdeka!
Seruan-seruan tersebut mengiringi setiap mahasiswa selesai menyampaikan aspirasi di hadapan jajaran rektorat. Nyanyian cabut dan tolak PKS pun terdengar dari segala sisi. “Prof, hari ini bukan hanya mahasiswa yang ada di sini, bukan hanya mahasiswa yang ada di auditorium ini yang menolak, Prof. Masih banyak mahasiswa yang menolak yang berada di ruang kelas hari ini. Masih banyak mahasiswa yang menolak yang mendapatkan intervensi dari jajaran dekannya,” ujar Arma sebelum memberikan kesempatan kepada rektor untuk menanggapi.

Dalam tanggapannya, I Ketut Sudarsana, rektor Unud menyampaikan apresiasi dari aspirasi pikiran kritis mahasiswa pada hari itu. Ia juga turut menyampaikan bahwa PKS yang ditandatangani pada 5 Maret 2025 tersebut tidak ada kaitannya dengan revisi Undang-undang TNI dan tidak ada upaya militerisasi kampus. “Kami bersedia untuk melakukan evaluasi dan revisi,” ujar Sudarsana.
Riuh langsung terdengar dari mahasiswa. Pasalnya, mereka tidak sepakat jika pihak rektorat hanya melakukan evaluasi dan revisi. Pada hari itu mahasiswa menginginkan pencabutan PKS, bukan revisi.
Perdebatan pun berlangsung bermenit-menit. Rektor menyampaikan bahwa pencabutan PKS tidak bisa dilakukan salah satu pihak, sebaliknya mahasiswa menginginkan pencabutan. Dekan Fakultas Hukum (FH) Unud, Putu Gede Arya Sumerta Yasa pun turun untuk memberikan penjelasan kepada mahasiswa bahwa pembatalan tidak bisa sepihak. Meski begitu, salah satu pihak bisa mengusulkan pembatalan.

Akhirnya, sekitar pukul 15.30 dicapai kesepakatan bahwa pihak rektorat akan mengusulkan pembatalan PKS kepada TNI AD. Berikut poin kesepakatan antara jajaran rektorat dan mahasiswa Unud:
- Universitas Udayana mengusulkan pembatalan Perjanjian Kerja Sama antara TNI AD, dalam hal ini Kodam IX/Udayana dan Universitas Udayana tentang sinergitas di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
- Tenggat waktu pengajuan kepada pihak kedua (Kodam IX/Udayana) adalah 1 x 7 hari kerja dari hari kesepakatan ini.
Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Ketua DPM PM Unud, Ketua BEM PM Unud, dan Rektor Unud di atas meterai.
Setelah jajaran rektorat meninggalkan ruangan, Arma selaku Ketua BEM mengaku belum puas karena PKS tersebut belum dibatalkan “Kita dari BEM atau dari mahasiswa Universitas Udayana akan tetap melakukan pengawalan sampai dengan perjanjian ini benar-benar dibatalkan. Bagaimanapun prosesnya kita harus tetap dilibatkan di sini sebagai mahasiswa sebagai objek dari perjanjian ini,” pungkasnya.
kampungbet kampungbet




