Oleh Swastinah Atmodjo
Perayaan pergantian tahun, selalu menjadi saat monumental bagi setiap orang maupun lembaga. Banyak cara dilakukan mengisi detik-detik pergeseran waktu menuju 1 Januari, setiap tahunnya. Banyak yang konvoi, ke diskotek, sekedar makan bersama di rumah maupun nonton film sampai bosan atau mata tak kuasa lagi terbuka. Itu bagi yang ’normal’ secara fisik.
Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mempunyai keterbatasan penglihatan atau tuna netra? Setidaknya yang ada di dekat kita, di Denpasar, tepatnya di sekolah Dria Raba? Tentu, kalaupun ada kembang api, ia tidak mampu melihat keindahannya. Keliling kota juga bukan cara terbaik.
Kesan yang begitu dalam tertoreh, bisa melewatkan saat-saat itu bersama mereka, di aula gedung Dria Raba, Denpasar, Senin (31/12). Selepas senja, suasananya mulai riuh dengan suara anak-anak yang sesekali meniupkan terompet maupun melepas kembang api. Puluhan bocah itu adalah anak para penyandang cacat mata yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama Massage Tuna Netra Keliling Dharma Bakti, Denpasar.
Anggota kelompok ini 15 kepala keluarga (KK) dan tiga bujang. Jumlah anak-anaknya keseluruhan tidak kurang dari 25 orang, sebagian besar tidak tuna netra. Pada setiap akhir tahun, kelompok ini menggelar acara kumpul bersama diisi dengan evaluasi kegiatan-kegiatan selama setahun terakhir, rencana pada masa berikutnya, ditutup dengan pagelaran musik.
Dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka sendiri. Mulai dari pembawa acara hingga pengisi hiburan adalah anggota kelompok, yang tentunya tuna netra. Luar biasa!
Pembawa acara memegang teks berisi rentetan acara, dalam huruf braille. Termasuk Ngurah Aryana, Ketua Pertuni Bali, juga memberikan sambutan sesuai tulisan yang telah dibuatnya. Juga dengan huruf braille.
Inti dari evaluasi malam itu, para anggota kelompok masih harus meningkatkan profesionalismenya sebagai tenaga massage. Selain terus melatih keterampilannya, dituntut pula kedisiplinan terutama dalam hal waktu menyangkut berbagai acara baik untuk bekerja, menghadiri acara dan sebagainya. ”Untuk acara ini saja, kita sudah buatkan undangan pukul 19.00 Wita tapi baru bisa dimulai satu jam kemudian. Pun itu harus dipanggil berulang kali oleh panita lewat speaker. Jangan hal ini dibiarkan terus, kita harus berubah,” urai penanggung jawab operasional Sekolah Dria Raba sekaligus penasehat kelompok usaha para tuna netra tersebut.
Seperti halnya orang ’biasa’, komunitas ini selalu memberikan tepuk tangan untuk setiap isi pidato yang menggelorakan semangat hidup lebih baik. Pun ketika tiba puncak acara berupa hiburan musik. Ini diisi oleh Grup Band Dria Raba.
Sembari menunggu anggota band menyiapkan diri, panitia membagikan bungkusan makanan kecil dan segelas air mineral. Anggota band yang sudah di panggung pun menyempatkan menikmati terlebih dulu ’jatah’ yang diterimanya.
”Semua seperti saya anggota band itu, buta,” kata Ayu Wandari, gadis yang baru berusia 18 tahun. Pada malam itu, selain anggota kelompok hadir pula siswa-siswi dria raba setempat, termasuk Ayu.
Gadis asal Tuban, Kuta, ini sudah dua tahun sekolah di Dria Raba. Kedua matanya tidak berfungsi lagi sejak ia berusia 10 tahun. Menurut dokter, ada kerusakan saraf dan sekaligus glukoma.
Tidak seperti tahun lalu, kali ini Ayu memilih menghabiskan malam tahun baru di asrama bersama komunitasnya, para penyandang cacat mata. ”Saya ingin disini saja, lebih ramai,” kata Ayu yang malam itu berpakaian layaknya gadis-gadis seusia dia, mengenakan celana jins tiga perempat, berbalut t-shirt dengan warna sepadan.
Ayu dan tuna netra lain juga pegang handphone (Hp). Sempat terpikir, bagaimana menggunakannya??? Rupanya Ayu dan lainnya sudah terbiasa berkirim sms maupun telepon. Caranya dengan menghafal posisi tombol angka dan huruf. Lantas key tone pun di-on-kan. Dengan mendengarkan bunyi key tone, jari-jari ayu begitu lincah menulis teks di layar Hp. ”Misalnya kalau mau nulis a, cukup sekali pencet dan bunyinya kan juga sekali. Nah, kalau c sampai bunyi tiga kali. Begitu saja,” lanjut Ayu yang kemudian minta dibacakan satu sms yang baru saja diterima.
Rangkaian kata bijak dan memberi semangat buat Ayu, dikirim oleh salah satu saudaranya. Ayu pun tersenyum lantas dengan sigap membalas sms itu.
Sejurus kemudian, Ayu memanggil kawannya Fransiska, yang biasa menjadi salah seorang penyanyi Band Dria Raba. Sedari awal acara, Siska-begitu ia disapa memang duduk berdampingan dengan Ayu. ”Ayo Siska, kamu harus maju nyanyi, itu sudah dipanggil,” serunya diiringi derai tawa.
Padahal tanpa ia tahu, Siska yang dipanggilnya sedang keluar aula. Siska masih lebih bebas beraktivitas ketimbang Ayu, karena penglihatannya masih berfungsi walau sangat terbatas.
Sedikit kecewa, Ayu lalu menceritakan tentang band kebanggaan sekolahnya itu. Pemain drum, katanya, Yosepati, Wayan Bedo pada gitar, pemain keyboardnya Putu Belli dan bass dipegang oleh Gede Santika. Penyanyi atau vokal diantaranya Putu Sembara Jaya dan Fransiska.
Ditambahkan Putu Arnawa selaku Sie Kesenian kelompok tuna netra Denpasar, aktivitas seni dan musiknya dari tahun ke tahun cukup berkembang. Selain band, terdapat pula kelompok penabuh tuna netra. Sementara penarinya terkadang orang dari kelompok atau sekolah tuna rungu, maupun cacat tubuh. ”Kalau tuna rungu kan masih bisa bergerak bebas untuk berbagai tarian. Nah, untuk kawan dari cacat tubuh, kami biasa menampilkan tarian gebyar duduk. Penarinya adalah cacat kaki sehingga menarinya di atas kursi roda.”
Khusus untuk penabuh yang kesemuanya tuna netra, dikatakan Arnawa, dari sisi keterampilan tidak kalah dengan orang normal. Hanya kecepatan musiknya saja berbeda, agak pelan. Selain pentas untuk acara kelompok, grup band maupun seni tersebut sering diundang oleh Dinas Sosial kabupaten lain di Bali. ”Memang baru sebatas Pemda utamanya Dinas Sosial yang mengundang. Dari sisi marketing atau promosi memang kami masih lemah,” ujar Arnawa. Di sela penampilan band, sie konsumsi membagikan bungkusan kue dan air mineral ke semua peserta.
Terlihat bahwa setiap orang yang hadir menunjukkan rasa girang. ”Tawa, canda, dan kadang ngambek itu hal lumrah. Tapi kami cepat baikan,” cetus Ayu, yang sejenak terdiam ketika ditanya apakah ada keinginan keliling kota di malam tahun baru. Lantas ia yang bercita-cita menjadi guru ini tersenyum dan menjawab, ”Kalaupun keliling, nanti malah bingung. Selain tidak bisa melihat maraknya suasana, pasti bising. Lebih enak begini, kumpul bersama.”
Di atas panggung, pembaca acara (master ceremony, MC) dibuat sedikit tegang karena penyanyi tidak segera datang. ”Sembara Jaya, ayo kesini, kita sudah tak sabar. Cepat ya!,” teriaknya. Semenit kemudian si MC ini bicara lagi, ”Wah, rupanya penyanyi masih mandi. Ayo Siska saja dulu.”
Karena keduanya tidak segera ke pentas, MC pun memanggil seorang rekannya untuk mengisi waktu dengan guyonan. ”Sambil nunggu, kita buat suasana ini tidak kosong. Bagaimana kalau kita ngomongin tentang terang bulan?,” kata si MC. ”Wah, kamu ini bercandanya apa tidak kelewatan? Bagaimana kita bisa cerita tentang terang bulan kalau belum pernah melihat…,” teman si MC menimpali.
MC pun melanjutkan, ”Yah, kata orang sih, hehe memangnya kita bukan orang apa ya? Terang bulan ya pasti suasana begitu benderang di malam hari. Ya sudah lah, kita panggil lagi penyanyinya atau siapa saja lah bisa tampil duluan.” Betotan gitar dan genderam drum pun kemudian memecah suasana, disusul permainan keyboard dan bass. Ayu dan kawan-kawannya pun kemudian turut larut dengan alunan lagu yang dimainkan, terlebih ketika penyanyinya sudah unjuk suara.
bikin kopdar di sana? sekalian menikmati massage dari ahlinya. hayuksss