Nama TPS Kelating muncul sebagai perbincangan baru setelah TPA Suwung terbakar. Bagaimana tidak, TPS Kelating bisa dikatakan sebagai “juru kunci” atas kebingungan pemerintah daerah Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, dan Kota Denpasar dalam mencari tempat pengganti sementara TPA Suwung yang sedang dilalap api.
Sempat beredar di media sosial, sebuah video yang memperlihatkan antrean truk sampah yang sedang menunggu giliran untuk menurunkan sampahnya di TPS ini. Sontak gambaran video ini memunculkan pertanyaan, “Bagaimana kondisi TPS Kelating pada saat harus menampung sampah dari tiga kabupaten di Bali?”
TPS Kelating terletak di wilayah Banjar Dauh Jalan, Desa Kelating, Kabupaten Tabanan. TPS ini terletak di tengah area persawahan yang menyebabkan siapapun yang ingin mengaksesnya harus melewati satu jalan berpenyangga beton yang dibangun oleh pihak Desa Adat. Dewa Made Maharjana, Bendesa Adat Desa Kelating menjelaskan bahwa jalan tersebut merupakan jalan usaha tani yang diperbaiki oleh Desa Adat sehingga saat ini bisa dilalui oleh kendaraan. “Ketika hal itu (pemanfaatan lahan sebagai TPS) dulu disetujui oleh warga, itu dulu jalan usaha tani yang belum bisa dilewati dengan kendaraan. Itulah kenapa adat mengambil alih jalan usaha tani itu untuk dibeton,” ungkap Dewa Maharjana.
Sebelum digunakan sebagai pengganti sementara TPA Suwung, warga Desa Kelating sudah memanfaatkan area ini sebagai tempat penampungan sampah desa. Dulunya, area ini merupakan bekas galian C milik warga yang menghasilkan komoditas berupa batu paras/padas Kelating yang terkenal. Galian C ini kemudian dihentikan operasinya dan menyisakan lubang yang dalam serta digenangi air. Pemanfaatan lubang bekas galian C sebagai TPS diputuskan dan disetujui oleh seluruh warga desa melalui Paruman Agung yang rutin digelar satu tahun sekali. Pemanfaatan ini dilakukan dengan pertimbangan keselamatan warga dan kesucian desa mengingat sebelumnya sempat terjadi aksi bunuh diri di area ini. Sampah yang terkumpul digunakan sebagai media reklamasi lubang bekas galian C dengan metode landfill.
Reklamasi dilakukan pada lahan seluas hampir 2 hektar, di mana 46 are di antaranya adalah tanah milik Desa Adat. Dewa Maharjana menambahkan bahwa TPS Kelating tidak hanya menerima sampah, tetapi juga mempersilakan warga untuk membuang tanah urug hasil pembongkaran bangunan ke TPS ini. “Kita tidak terbatasi dengan sampah, tanah urug silakan, gratis buang tanah urug”, ungkap Dewa Maharjana. Setelah lubang-lubang bekas galian C ini tertutup, rencananya lahan hasil reklamasi akan dimanfaatkan sebagai hutan desa yang ditanami pohon majagau.
TPS Kelating menjadi satu-satunya opsi yang memungkinkan untuk menampung sampah dari Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Tabanan, karena bersamaan dengan TPA Suwung, TPA Mandung di Tabanan juga terbakar. Dewa Maharjana mengungkapkan bahwa penggunaan TPS Kelating menjadi pengganti sementara TPA Suwung merupakan permintaan langsung dari Pemerintah Kabupaten Tabanan di tengah kondisi darurat sampah. “Karena begitu saya ditelpon (oleh Pemkab Tabanan) saya bilang “ya”, karena untuk darurat sampah saya boleh bantu. Tapi saya sudah jelaskan bahwa itu tidak selamanya, hanya sementara selama darurat sampah”, jelas Dewa Maharjana.
Terhitung sekitar 150 truk datang per hari yang menyebabkan kemacetan di jalan menuju lokasi TPS. Untuk mengatasi hal ini, pihak Desa Adat menugaskan 12 – 20 orang Pecalang desa untuk bertugas dalam mengatur lalu lintas truk pembawa sampah. Pengaturan sampah dilakukan dengan tenaga satu alat berat milik Desa Adat yang juga dibantu oleh dua alat berat bantuan dari Pemerintah Kabupaten Badung. Biaya operasional pengelolaan sampah di TPS ini ditanggung dengan tipping fee dari keluar masuknya truk pengangkut sampah.
Bau yang dihasilkan oleh TPS Kelating menyebabkan keluhan warga tak bisa terelakkan. “Nyamankah warga? Pasti tidak. Pasti, siapa yang mau nyaman dibuangin sampah?”, ungkap Dewa Maharjana. Atas keluhan dari masyarakat tersebut, pihaknya sudah melakukan penyemprotan eco-enzyme secara rutin serta senantiasa memberikan pengertian dan permakluman atas kondisi darurat yang sedang terjadi.
Senada dengan itu, I Made Suarga, Perbekel Desa Kelating juga mengakui adanya keluhan-keluhan masyarakat terkait dengan bau dan antrean yang menimbulkan kemacetan. “Sempat kami dikomplain oleh masyarakat. Itulah suka dukanya pada saat itu ya. Terpaksa kami hanya dalam keadaan yang memang seperti itu ya apa boleh buat?” jelas Made Suarga. Terkait dengan pariwisata, keluhan serupa juga disampaikan oleh wisatawan dan pelaku usaha. Namun, lagi-lagi kondisi sedang tidak baik-baik saja yang menyebabkan pilihan semakin sedikit.