Oleh Anton Muhajir
Untuk membangun negaranya, rakyat Timor Leste harus mulai dari nol. Mereka harus membangun negara berdasarkan kebutuhan sendiri, bukan hanya menuruti lembaga internasional. Demikian dikatakan mantan Perdana Menteri Timor Leste pada diskusi Jumat malam lalu di Taman 65, Kesiman, Denpasar.
Diskusi bertema Timor Leste dan Globalisasi itu diadakan dalam suasana sederhana. Semua peserta, termasuk Mari Alkatiri, duduk lesehan di lapangan rumpur beralas tikar dengan minuman air mineral dan jaja sumping.
“Sejak 1975 hingga 1999, Timor Leste berjuang untuk merdeka. Namun kami tidak bisa melakukannya secara frontal sehingga menggunakan upaya diplomasi internasional maupun pola-pola bawah tanah seperti yang saat ini kita lakukan (diskusi). Solidaritas internasional itu yang membuat kami berhasil,” kata Alkatiri.
Namun dia menyatakan bahwa pada saat-saat yang menentukan, kelompok tertentu yang memiliki kemampuan tersebut, meloncat ke depan dan mengaku sebagai penyelamat.
“Setelah kami merdeka, mereka ingin agar Timor Leste mengikuti kemauan mereka. Ini dua sisi yang bertentangan: kami ingin membangun negeri sendiri dan di sisi lain kami harus menuruti kemauan lembaga internasional,” ungkap Alkatiri.
Kemauan itu terbukti bahwa saat ini negara Timor Leste dipaksa menuruti resep-resep klasik lembaga internasional seperi International Monetery Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO) seperti restrukturisasi dan privatisasi yang semuanya tidak sesuai dengan kondisi Timor Leste. “Misalnya mereka bilang bisa memberantas kemiskinan dengan mengundang investor sehingga bisa membuka lapangan kerja. Namun mereka lupa bahwa rakyat Timor Leste belum siap karena 70 hingga 80 persen rakyat Timor Leste masih hidup di desa-desa,” katanya.
Timor Leste, lanjutnya, adalah negara kecil dengan jumlah penduduk kecil sehingga tidak mungkin bisa sendiri mempengaruhi dunia. “Namun hal yang terpenting adalah rakyat Timor Leste masih punya determinasi untuk berjuang memerangi kemiskinan,” ujarnya.
Menurut Ketua Partai Fretilin tersebut, saat ini dunia terbagi dua, antara yang kaya semakin kaya dan yang miskin makin miskin. “Kita berada di antaranya sehingga kita semua menjadi fiktif, seperti tidak ada. Karena itu perjuangan untuk membuat dunia yang lebih baik harus terus dilakukan,” kata Alkatiri di depan sekitar 30 peserta diskusi yang terdiri dari aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, wartawan, dan ibu rumah tangga tersebut.
Parahnya lagi, modal untuk membangun itu harus pinjam ke Bank Dunia. Padahal, lanjut Alkatiri, Timor Leste perlu membangun dengan sumber daya yang dimiliki sendiri.
Menurut Alkatiri saat ini ada kontradiksi di dunia. Siapa yang menguasai teknologi dan uang bisa menguasai dunia. Sementara mereka yang tak punya uang dan teknologi dipaksa untuk mengonsumsi. “Dunia global adalah imperialisme teknologi. Maka, sekelompok kecil orang yang menguasai teknologi dan uang bisa menguasai dunia. Bali pun sudah pernah jadi korban terorisme oleh sekelompok kecil orang yang menguasai teknologi dan uang tersebut,” katanya.
Alkatiri menyatakan bahwa Timor Leste sendiri saat ini mengalami masalah degan solidaritas internasional. “Sebelumnya kami berhubungan dengan banyak lembaga sebagai hubungan solidaritas namun setelah merdeka, hubungan itu berubah jadi hubungan formal antarnegara, bukan lagi solidaritas,” ujarnya.
Sejak 2003, Mari Alkatiri mengatakan sudah minta ke Menteri Luar Negeri, waktu itu Ramos Horta, agar tetap membuka hubungan solidaritas namun hubungan itu tidak dibangun dengan alasan harus masuk departemen lain. Selain itu lembaga internasional yang sebelumnya membantu menyatakan bahwa mereka tidak mau membantu lagi karena akan membantu negara lain yang mengalami masalah seperti Timor Leste.
“Perlu perjuangan global untuk memberantas kemiskinan dan itu bisa dilakukan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi global salah satunya melalui media massa. Sarana-sarana itu perlu diupayakan untuk mencapai dunia lebih adil. Namun yang paling penting adalah menjadikan rakyat sebagai subyek,” katanya.
“Jika itu tidak terjadi maka Timor Leste akan sama dengan dibeli orang asing. Itu yang sudah saya temukan di sebagian Timor Leste. Kalau itu terjadi, maka kami hanya jadi administrator dari para pemilik,” tutur Alkatiri.
Alkatiri menyatakan bahwa ketika masih memimpin Timor Leste, dia sudah melakukan upaya-upaya tersebut, namun dia menghadapi banyak masalah. “Pertama saya tidak populer, kedua saya tidak menguasai public relation, dan ketiga saya tidak Katolik padahal rakyat Timor Leste mayoritas Katolik,” katanya.
Mengenai pengolahan migas di Timor Leste, Alkatiri mengatakan saat negosiasi dengan Australia pada 2002, Timor Leste sudah minta bagian 100 persen dari pengelolaan Celah Timor (Timor Gap). Namun Australia menjawab akan memberi 66 persen. “Kami tetap ngotot minta 100 persen, lalu Australia menawarkan 80 persen. Ramos Horta dan Xanana Gusmao sudah menyarankan agar diterima saja. Saya minta tetap 100 persen. Akhirnya Timor Leste mendapat 90 persen, dan sisanya Australia,” kata Alkatiri.
Sedangkan soal penguasaan Pulau Pasir (Ahsmore Reef), semula Timor Leste hanya mendapat 18 persen. Itu pembagian yang tidak fair karena pulau tersebut milik kami 100 persen. Setelah negosiasi lagi pada Januari 2006 di Australia, akhirnya kami mendapat pembagian 50 persen dan Australia mendapat 50 persen.
“Gara-gara hasil tersebut, John Howard membatalkan rencana makan malam kami. Saya sih lebih senang makan di Chinese Restaurant. Karena lebih enak. He.he..” kata Alkatiri [b]
Timor Leste adalah Negara Kecil Hasil Minyak agak bagus Kebutuhan Warga Timor Leste Untuk Australia jangan monopoli.itu adalah Kekayan Timor Leste bukan Australia, semistinya Negara Australia itu Sadar barang Milik Negara lain jangan Minta banyak banyak
Waulaupun kami Warga Negara Indonesia tetapi itulah adalah hak anak anak Timor jangan Putar balik fakta, oleh Negara Australia.