Oleh I Made Suarnatha
Kepemilikan ruang publik di Bali bersifat kolektif. Untuk itu Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali tidak legitimate (sah) bila belum mendapatkan persetujuan atau diselaraskan dengan dasar falsafah dari organisasi kolektif wakil-wakil mayarakat Bali yaitu Subak dan Desa Pekraman. Tatanan penataan ruang kehidupan mereka sangat sarat mencerminkan budaya Bali dan falsafah Tri Hita Karana.
Hal-hal yang menyangkut penataan ruang atas nama pembangunan Bali harus diselaraskan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya Bali dan falsafah tersebut yang sehari-hari masih dilaksanakan secara kolektif oleh masyarakat Bali. Artinya harus ada mekanisme konsultatif dan persetujuan dari Parum Agung Desa Pekraman se-Bali atas wakil “pengempon” kewilayahan baik di pura, desa dan subak.
Ruang Kultural Kolektif
Citra dan keberadaan Bali seperti sekarang ini yaitu Pulau Sorga, Pulau Seribu Pura, keindahan terasering lahan pertanian, keunikan dan keruwetan sistem ritualnya sampai the Best Island Destination in the World adalah cerminan dari budaya yang berakar pada kultur pertanian mayarakat Bali.
Sistem kepercayaan dan system etika masyarakat Bali yang diwariskan oleh para leluhur Bali sangat menjunjung tinggi kesucian dan kebersamaan. Secara bersama menjaga kesucian ruang (kosmik) baik itu pura, subak maupun ruang desa pekraman dan juga di banjar dengan aturan tidak boleh masuk ke pura bila sedang “sebel”, tidak boleh mencemari lingkungan termasuk merusak hutan, menebang pohon sembarangan, mencemari air, dan berperilaku tidak etis dalam di pura, subak, desa maupun yang lainnya.
Secara kesadaran bersama ada tanggung jawab mengawasi dan bila ada pelanggaran akan diwajibkan melakukan penyucian dengan upaca pemrayascita. Hal-hal seperti itu tersurat dalam awig dan perarem masing-masing Subak, Desa Pekraman dan banjar.
Sebelum bersentuhan dengan pemerintahan dunia modern Bali pernah memiliki kedaulatan atas ruang hidupnya bahwa tata kuasa, tata guna dan tata kelola ada ditangan masyarakat Bali. Hak-hak politik atas wilayah dan ruang hidupnya, ketetapan mengaturnya dan menikmati pemanfaatannya secara adil pernah diwarisi oleh para leluhur Bali (Konsep Neyegara Gunung; Alas Angker, Alas Purwa, Alas Rusmini, Ladang, Sawah dan Tebe: sistem Subak, Sistem Desa Adat, Bisama kesucian dll)
Saya tidak hendak mengajak masyarakat Bali untuk beromantika karena di zaman sekarang telah juga sering kita baca di media masa bahwa tidak semua bagian dari budaya Bali baik namun sudah jelas tidak sedikit juga nilai-nilai yang sangat baik dalam Budaya Bali relevan untuk dilanjutkan.
Kesadaran atas itu menjadi relevan juga sebagai masyarakt Bali untuk ikut berpartisipasi dalam menyikapi RTRWP yang sedang digodok saat ini. Ini adalah kesempatan kita menunjukkan kepedulian kita atas pengaturan ruang kehidupan kita agar nantinya penataan raung ini mampu memberikan masyarakat Bali rasa aman untuk melaksakan kehidupannya secara aman dan pada akhirnya mencapai kesejahteraan.
Ruang Hidup Bali Terancam
Mungkin tidak semua masyarakat Bali mampu menyikapi perubahan (kemajuan?) secara kritis bahkan kadang tanpa disadari mereka ikut menikmati tanpa merasa bersalah. Sedikit kita menengok ke belakang, kepemilikan tanah di Bali pernah secara kolektif bahwa tanah dimiliki oleh desa adat (duwen desa), duwen pura, duwe tengah dan seterusnya. Karena Negara modern, termasuk Indonesia menginginkan pajak atas tanah maka dilaksanakanlah pensertifikatan tanah-tanah komunal yang ada (Prona). Alasannya adalah agar kepemilikannya jelas dan tidak menimbulkan konflik dikemudian hari.
Kenyataannya begitu pensertfikatan terjadi manipulasi siapa yang berhak atas nama, sudah menimbulkan konflik. Dan yang kurang disikapi secara kritis adalah tanah Bali yang sarat dengan nilai budaya sudah dikomoditikan, dengan mudah bisa digadaikan di bank dan begitu juga untuk diperjual belikan. Bahkan para calo tanah sudah tidak menyadari apa yang mereka lakukan atas akar budaya Bali (tanah), yang penting untung. Demikian seterusnya sampai Tata Ruang yang terdahulu harus menyediakan daerah tujuan khusus/zona untuk kawasan wisata sebagai zona penampung modal luar dan penuh dengan transaksi jual beli. Tanah Bali pun berpindah kepemilikan, ada yang selamanya ada juga mekanisme sewa jangka panjang sampai 95 tahun.
Kebijakan lain yang tanpa disadari pelan-pelan mengancam adalah kebijakan Bidang pertanian tentang Revolusi Hijau. Kebijakan ini berupa satu paket kebijakan Hutang Indonesia kepada Asian Development Bank (ADB). Dimulai dari pemakaian bibit unggul, pupuk dan pestisida, pembuatan bendungan, perbaikan saluran irigasi telah diakui oleh ADB sebagai proyek yang gagal. Proyek hutang ini menyisakan banyak masalah lingkungan, sosial dan kesehatan.
Masalah Lingkungan karena merusak tatanan ekositem pertanian alami, mencemari tanah sampai berpengaruh pada kesehatan manusia yang telah mencemari sampai pada air susu ibu terkontaminasi zat kimia dan juga budaya gotong royong yang menurun. Dan sampai sekarang rakyat tetap menanggung beban hutang.
Ancaman yang lain tidak kalah mengkawatirkan adalah isu Global Warming (Pemanasan Global) yang konvensi Internasionalnya Desember 2007 diadakan di pulau Bali tercinta ini. Menurut prediksi para ahli jika gaya hidup kita dan masyarakat dunia masih seperti gaya hidup yang hiper konsumtif, tidak peduli lingkungan maka air laut di tahun 2050 akan naik 6 meter. Atas prediksi tersebut wilayah pesisir dan Bali Selatan khususnya Kuta, Sanur dan Denpasar akan tenggelam.
Belum kita bicara kegagalan panen karena musim yang berubah, ketersediaan air bersih yang sangat kritis karena banyak data yang mengungkapkan bahwa sekarang ini Bali krisis air bersih.
Kemana Arah Bali dengan RTRWP Baru?
Menengok ke belakang, merasakan keadaan sekarang dan merancang ruang kehidupan masa depan Bali minimal dalam masa 20 tahun kedepan sebagai mana periode rancangan RTRWP Bali ini penting bagi kita masyarakat Bali untuk terlibat agar jangan sampai kita sebagai generasi yang bertanggung jawab membuat perencanaan masa depan menuai kutukan dari anak cucu kita. Karena kita orang Bali yang meyakini hukum kawitan, kita tidak ingin generasi penerus kita menghujat “sane tan rahuyu” untuk roh kita. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita masyakat Bali dan mereka yang bermomisili di Bali.
Pertama, sebagai mana sebuah peraturan yang mau disusun tentunya memiliki telaah akademik dalam artian telaah tersebut diharapkan mampu memberikan informasi yang akurat dan komprehensif kepada publik karena setelah aturan itu ditetapkan akan berimplikasi langsung kepada masyarakat Bali. Adalah Hak masyakat Bali untuk mengetahuinya, bila belum banyak yang tahu dan mendengar RTRWP ini mohon tidak diputus secara tergesa-gesa. Lakukanlah sosialisasi yang betul atau proses partisipatif yang mencermikan buttop up planning.
Kedua, bila daya dukung Bali secara kualitas menurun (air, tanah pertanian dan udara tercemar) dan secara kuantitas serta ketersediaan semakin terbatas (air kritis, produksi pangan menurun, keanekaragaman hayati menurun, hutan menggundul, luas wilayah Bali berkurang), sedangkan sesuai prediksi kepadatan penduduk Bali ditahun 2028 (batas akhir RTRWP) melonjak dari 570 jiwa/km2 naik menjadi 3.600 jiwa/km2 (hasil prediksi tim Akademik, RTRWP) bagaimana bentuk perencanaan RTRWP nya? Karena dalam naskah akademiknya tidak memberikan “scenario building” Bali tahun 2028? Kembali kami tekankan, adalah Hak kami untuk yakin dengan RTRWP ini ruang hidup kami dari tahun ditetapkan RTRWP ini (2009?) sampai 2028 memberikan rasa nyaman.
Ketiga, Majelis Desa Pekraman Bali sebagai pemilik kedaulatan ruang Bali semestinya mengambil langkah-langkah kongkrit agar Penatan Ruang Kehidupan Bali yang berbasis Budaya Bali dengan falsafah Tri Hita Karananya terakomodir dengan baik dalam RTRW ini.
Keempat, perlu juga dipikirkan hak dan kewajiban atas ruang kehidupan Bali bagi masyarakat non penganut budaya Bali termasuk orang asing. [b]
I Made Suarnatha, Direktur Ekskutif Yayasan Wisnu