Ada suara-suara tidak terdengar dalam kopi pahit Dadong Koda.
Batubulan secara administrasi masuk wilayah kabupaten bumi seni Gianyar. Lokasinya tepat di perbatasan antara Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar. Tempat saya lahir dan tumbuh ini juga seperti kebanyakan manusia.
Saya juga memahami Batubulan sebagai kampung halaman tempat yang paling saya cinta. Batubulan tumbuh di tengah kencangnya arus kemajuan dan modernisasi, tanpa memahami makna kata itu secara utuh. Kemajuan yang sering diterjemahkan dengan mentalitas mengejar ketertinggalan. Lalu, pemuja kemajuan lupa kalau memiliki keunggulan sendiri yang kemudian hancur dan dilupakan.
Seperti kebanyakan desa di Bali hari ini, desa saya juga nampak sedang sibuk-sibuknya mengubah wajahnya menjadi penampilan standar kota. Pembangunan fisik di mana-mana. Alih fungsi lahan melaju tanpa pagar atau batasan yang berpihak pada kenyamanan ruang publik.
Desa saya seperti anak petani yang baru saja menerima takdir tanah taninya kering akibat tidak lagi menerima aliran air, tapi masuk dalam rancangan pembangunan rumah minimalis dengan sumur bor tuan modal. Tentu tanah kering itu kini bisa ditukar dengan angka basah miliaran rupiah melalui beberapa kali tanda tangan dibantu Notaris. Otomatis setelah itu identitas dan gaya hidup juga harus berubah.
Saya lahir di akhir 1980-an, kemudian masa kecil saya nikmati pada 1990-an. Banyak pendapat mengatakan, “Beruntung dan bahagialah mereka yang menikmati masa kecil di era 1970 sampai 1990an.” Setidaknya itu juga yang saya rasakan. Ketika itu kehidupan desa saya rasa berjalan sangat hangat, damai, akrab, dan lambat.
Banyak ruang bermain bagi anak-anak tanpa membayar. Hamparan sawah tersedia luas. Tanah lapang untuk bermain tersedia di beberapa lokasi. Untuk bermain layang-layang, mencari keong, berburu capung atau memancing belut. Banyak pilihan sungai dengan air sangat layak untuk melepas dahaga tubuh. Di pinggirnya ada batu-batu besar atau pohon untuk pijakan anak-anak meloncat menceburkan diri ke sungai. Di bawah bebatuan itu banyak ikan dan udang yang seperti menunggu kami memancing.
Seperti tanpa jeda anak anak bergerak dan bermain. Ada saja permainan yang bisa dimainkan bersama ketika itu. Berdiri atau lari dalam keadaan dan rasa sejajar tanpa harus memiliki gawai (gadget) atau semacamnya. Jika haus dan lapar menghampiri bukan masalah besar. Warung-warung lokal kecil tersebar atau pedagang rombongan mas-mas akan menyediakan makanan dan minuman dengan harga bersahabat pada sisa bekal sekolah kami.
Namun hari ini, generasi anak-anak bahagia itu secara alamiah telah tumbuh. Tumbuh menjadi manusia dewasa yang bisa dikatakan kalah. Sebab, generasi itu tidak mampu mempertahankan ruang-ruang dan cara-cara mereka mendapatkan kebahagiaan pada masa kecil kepada generasi anak anak hari ini. Mereka tumbuh menjadi orangtua yang tidak lagi percaya pada alam sekitar untuk menjadi tempat anak-anaknya bermain.
Mereka lebih percaya pada dunia maya untuk tempat anak-anaknya bermain. Atau memilih memasukan anak-anaknya ke dalam kantong-kantong les atau kursus untuk belajar dan belajar demi menyongsong masa depan. Hanya kadang begitu congkak membandingkan kehidupan generasi anak-anak hari ini dengan membanggakan kehidupan masa kecilnya sebagai sebagai suatu retorika sejarah yang hebat.
Mereka (saya ada di dalamnya) sebenarnya tidak lebih baik dari bagaimana para penggemar Manchester United hari ini menghadapi kenyataan kalau tim mereka hanya satu dari sekian ratus tim medioker di Eropa.
Jalur Utama
Kebetulan di era yang sama, setahu saya industri pariwisata di Bali mulai berkembang dan menemukan puncak kejayaannya. Kejayaan itu dimulai pada 1970-an ketika trauma kekelaman dan bau amis pembantaian orang berbau PKI di Bali mulai dipaksakan reda dalam ingatan umum masyarakat. Kita dipaksa atau diajarkan untuk lupa dengan segala cara. Setelah itu, seperti sebuah lakon yang sudah diatur dalang, datanglah selimut megah industri pariwisata yang membuat citra Bali damai berbudaya dan adiluhung.
Batubulan dengan letaknya yang strategis menjadi salah satu jalur utama gemerlap industri pariwisata tersebut. Turis-turis melintas lalu lalang di jalan-jalan Batubulan. Berbekal dasar masyarakat komunal adat yang kuat dan gandrung berkesenian, Batubulan terlihat sangat siap menyambut hiruk pikuk pariwisata. Para turis tidak hanya lalu-lalang tapi juga menjadikan Batubulan tempat tujuan singgah. Para turis menukarkan uangnya dengan barang atau jasa yang disediakan sebagian besar masyarakat melalui sanggar-sanggar seni tari dan tabuh.
Sanggar-sangar itu mulai banyak berdiri dengan sistem sekaha (milik bersama). Mereka akan pentas bersama setiap hari pagi dan sore, kecuali Hari Raya Nyepi, secara profan untuk disuguhkan kepada wisatawan. Kios-kios kerajinan milik warga berdiri dengan tegak saling merangkul dengan toko kesenian di pinggir jalan utama. Di sela-selanya warung-warung kecil tercecer menghiasi wajah jalanan desa. Di sana warga akan berkumpul akrab selepas bekerja membuat kerajinan, menari, menabuh atau bertani.
Secara umum hubungan masyarakat Batubulan dengan industri pariwisata tidak jauh berbeda dengan semakin tidak berpihaknya ruang-ruang publik di lingkungan desa dengan anak-anak generasi hari ini. Ruang untuk bermain seperti sawah atau tanah lapang sudah habis oleh beton-beton berdalih kemajuan. Warung-warung kecil tumbang ditikam oleh toko terang benderang tanpa aturan main yang jelas. Kios-kios kerajinan kecil milik warga banyak gulung tikar. Berganti toko-toko megah kerajinan entah milik siapa dan barang yang dijual berasal dari mana.
Pementasan tari dan tabuh untuk pariwisata yang dikelola sekeha kini banyak yang bubar. Yang banyak tersedia hari ini untuk pariwisata ialah pementasan kesenian tari dan tabuh yang panggungnya dimiliki perseorangan atau modal. Penari dan penabuh hanya menjadi pekerja dan digaji tanpa banyak kedaulatan panggung dan menentukan nasib. Standar kualitas kemudian ditentukan harga berdasarkan kesepakatan pemilik modal dan travel agent. Perang tarif di antara satu sama lain pemilik usaha pementasan menjadi rahasia umum, pariwisata dan masyarakat menjadi semacam air pegunungan dalam kemasan.
Romansa Desa
Di tengah kekacauan dan rindu pada masa lampau yang saya rasakan, beruntung masih ada secuil tempat di mana saya bisa merasakan romansa menjadi manusia desa sesungguhnya. Secuil tempat seperti sepotong foto bersama di sekolah dasar yang masih tersimpan dengan rangkaian Susana yang tidak akan pernah kembali dan senyum teman-teman kecil yang kini sudah menyebar. Secuil tempat itu bernama warung Dadong Koda.
Warung Dadong Koda adalah satu dari sangat sedikit warung lokal di desa saya yang masih mampu bertahan dari gempuran toko-toko terang yang menjamur secara membabi buta di Batubulan. Lokasinya tepat di seberang kios kerajianan rotan milik bapak saya. Di warung itulah saya sering menghabiskan waktu jika saya sedang menggantikan bapak menjaga kios. Tentu sambil menyerumput kopi hitam pahit.
Dari sejarah yang saya dengar langsung dari Dadong Koda, setidak-tidaknya warung Dadong Koda sudah berdiri sebelum tahun 1965. Ketika saya bertanya, Dadong Koda pernah bercerita dengan sangat baik era sebelum 1965. Ketika itu anak-anak muda di kampung masuk kami sangat antusias berorganisasi. Ikut-ikut masuk partai politik.
Setidaknya ada dua partai PNI dan PKI yang digandrungi anak-anak muda ketika itu. Walaupun banyak dari mereka ikut partai tanpa pemahaman mendasar terhadap ideologi partai, tapi mereka begitu antusias. Acara-acara berkumpul partai sering diadakan. Mereka berkumpul bukan hanya untuk berbicara tapi juga sering mengadakan kegiatan berkesenian diiringi berpesta makan dan menyantap tuak.
Menurut Dadong Koda, anak-anak PKI yang ketika itu lebih sering melaksanakan kegiatan. Janger dan genjek favorit mereka. Tuak dan makanan, seperti ubi atau talas rebus, sering dipesan di warung Dadong Koda. Karena lebih sering melaksanakan acara, anak-anak PKI cenderung lebih sombong ketika itu. Mereka lebih sering memiliki celah mengejek anak-anak PNI.
Saling ejek hal biasa ketika itu. Anak-anak PKI suka melempar lempar beras ke jalan ketika anak-anak PNI melintas sambil bernyanyi menunjukan kaum tani sudah sejahtera. Namun, ketika ada acara kegiatan adat atau agama di pura mereka tetap berbaur menjadi satu. Seperti itu kata Dadong Koda ketika pertanyaan saya mengarah apakah anak-anak PKI anti agama.
Perubahan
Apa yang dijual Dadong Koda di warungnya pelan-pelan juga mengalami perubahan dari masa ke masa. Awalnya Dadong Koda menjual tuak, kopi dan hasil olahan makanan dari kebun warga sekitar. Sesekali juga ke pasar membeli barang dagangan seperti peralatan rumah tangga. Seiring tidak adanya warga sekitar warung yang membuat tuak, tuak pun dieliminasi dari menu warung Dadong Koda. Masuklah menu teh, susu dan minuman kemasan berlabel dari para pengepul.
Namun, yang sempat lama menjadi andalan Dadong Koda dan begitu laris ialah nasi campur ala Dadong Koda. Menurut saya itu ialah nasi campur legenda. Selain karena selalu habis sebelum matahari terbenam juga beberapa kali saya menemui laki-laki pengantin muda dari luar desa yang menikah perempuan di wilayah saya datang ke warung Dadong Koda untuk membeli nasi dan dibungkus. Mereka bilang istrinya yang berasal dari daerah kami hamil dan sedang ngidam nasi campur Dadong Koda. Entah benar atau tidak calon-calon ibu muda itu ngidam nasi Dadong Koda atau mereka hanya semacam istri saya yang seperti memanfaatkan saya ketika dia hamil.
Tapi kini nasi Dadong Koda sudah enyah ditelan peradaban. Kira-kira pertengahan tahun 2014 Dadong Koda memutuskan berhenti menjual nasi. Tubuhnya yang sudah termakan usia sudah tidak cukup kuat lagi untuk membuat olahan lauk pauk untuk nasi campur legendanya.
Barang dagangan Dong Koda hari ini selain dipenuhi oleh pengepul buah, bunga dan janur dari Bali timur juga ada mas agen ciki-cikian lusuh pinggir zaman dengan motor tuanya. Dagangan Dadong juga masih cukup banyak dari hasil kebun pekarangan warga sekitar atau para petani tua yang sering singgah minum kopi atau susu telur sambil mengeluh tentang kenyataan hari ini di warung Dong Koda. Hasil kebun misalnya pisang, pepaya, kacang-kacangan dan sayur-sayuran. Ada juga jejaitan dan porosan (bahan dasar sesajen) yang dibuat para perempuan renta teman seangkatan Dadong Koda.
Menariknya, walaupun hasil kebun warga yang dibawa seperti pepaya atau nangka sudah busuk atau rusak setengah, tapi masih mau dibeli Dadong. Kemudian akan dia pilah yang masih layak, dipotong potong dan laku dijual.
Jangan berharap akan mendapatkan ucapan selamat datang seperti di Indomaret ketika berbelanja di warung Dong Koda. Siapapun Anda, tidak peduli tua, muda, kaya, berkasta atau tidak, berbelanja di warung Dadong koda wajiblah santai dan sabar karena akan dimarah jika berani cerewet, terburu-buru apalagi mendesak Dadong Koda. Tapi mereka yang santai dan sabar, sering dikasih lebih olehnya. Beli kopi dengan sabar misalnya kadang datang tambahan ubi rebus secara gratis. Budaya khas warung yang masih dipertahankan Dadong Koda adalah pelanggannya boleh berutang sewajarnya.
Dari apa yang saya lihat dan alami, belanja di warung Dadong Koda tak sekadar membeli barang. Selain berbelanja, warga atau siapapun sering berbagi cerita, mengeluh, menyombongkan diri atau menyanyikan beberapa kidung sesukanya. Dari warung Dadong Koda saya bisa mendengar bagaimana gambaran dengan berbagai warna kehidupan domestik manusia sehari ini. Misalnya anak-anak SD pulang sekolah denga tas gendong yang tampak berat singgah di warung Dadong Koda. Sambil menunggu Dong Koda mengemas minuman yang dipesan, anak-anak itu dengan wajah lelah saling mengeluh dengan temannya tentang banyaknya PR atau harus ikut les sore lagi.
Mas pedagang sate atau gorengan langganan Dadong yang berkomunikasi dengan Dadong Koda dalam bahasa Indonesia campur bahasa Bali mengeluhkan naiknya harga pokok untuk olahan dagangan mereka atau pembeli yang semakin sepi, sementara kewajiban berupa kiriman ke kampung halaman setia menanti. Keluhan ibu-ibu separuh baya tentang menantu barunya yang tidak cekatan dalam bidang adat tradisi agama di Batubulan.
Kadang juga sebaliknya, perempuan muda luar kampung yang menikah ke Batubulan dan menjadi warga baru kami datang ke warung Dadong Koda membeli kebutuhan sehari-hari, mengeluhkan bagaimana sibuk dan padatnya kegiatan adat dan segala tetek bengeknya di Batubulan.
Jika masuk Juli masa-masa tahun ajaran baru dimulai, keluhan akan semakin banyak. Tentang beratnya memiliki siswa dengan segala kebutuhan dan permintaannya. Ada juga cerita kebanggaan jika anak atau cucu mereka diterima di sekolah negeri atau lulus dengan nilai bagus untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di Denpasar atau bekerja di tempat wah di Nusa Dua.
Tidak ketinggalan keluhan paling standar dan rutin ialah keluhan para petani tua seangkatan Dadong Koda. Mereka yang masih bertani di sisa-sisa lahan pertanian yang compang-camping buruk rupa. Keluhan-keluhan bagaimana menjadi petani hari ini seperti menjadi penyakit. “Sakit gede,” kata mereka sambil tertawa. Petani yang nyaris tanpa pilihan dan TIDAK memiliki pewaris di desa saya.
Dan tentu banyak lagi macam keluhan lainnya. Keluhan dengan segala kaitan pada waktunya, baik yang sempat saya dengar atau tidak. Dari semenjak warung Dadong Koda berdiri dan beberapa kali pernah mengalami renovasi, entah berapa ratus ribu keluhan pernah dikeluarkan pembeli kemudian menguap di plafon warung Dadong Koda.
Risau
Di warung Dong Koda jika pagi siang dan sore saya sering berjumpa angkatan tua seumuran Daong Koda. Mereka yang sering berjalan risau di jalanan Batubulan yang semakin tidak berpihak untuk pejalan kaki. Beberapa dari mereka sering dengan peralatan bertani atau berjalan dengan memapah sepeda gayung. Baru-baru ini saya paham kalau sepeda itu untuk menjaga keseimbangan kaki mereka yang mulai renta. Banyak dari mereka masih harus bekerja untuk hidup. Orang-orang tua itu singgah untuk nongkrong melepas penat atau sepinya masa tua sambil menyantap kopi, teh, es atau susu campur telur ayam kampong di Warung Koda.
Dari Dadong Koda dan teman seangkatannya saya suka mencari tahu sejarah desa saya dari perspektif warga. Kesukaan saya ialah sejarah Gestok walau Dadong Koda sempat heran kenapa saya suka bertanya tentang Gestok. Karena, menurut Dong Koda, setelah kejadian itu tidak ada satupun manusia yang pernah membicarakan itu di warungnya.
Di warung Dadong Koda saya mengetahui bagaimana mengerikannya keadaan desa saya ketika peristiwa Gestok meletus. Di pengujung 1965 belum juga reda krisis efek letusan Gunung Agung tiba-tiba suasana desa menjadi begitu mengerikan. Setelah para anggota PKI dan PNI bersembahyang bersama dan bersumpah di Pura Puseh desa kami, menyatakan siap mati jikalau partainya terbukti bersalah dalam kejadian 30 September di pusat, tentara dan tameng rutin datang dari arah selatan dalam beberapa minggu. Mereka membawa kertas berisi data nama-nama manusia yang tertuduh terlibat PKI.
Banyak manusia desa tertuduh diambil paksa. Ada yang dibawa keluar entah ke mana dan tak pernah kembali lagi. Ada juga yang langsung dibantai di lapangan desa tanpa proses peradilan. Banyak rumah bahkan ada satu balai banjar dibakar ketika sandikala. Jam malam diberlakukan. Anak-anak dan perempuan harus tetap diam di rumah ketika matahari terbenam.
Di hari-hari naas itu, kata Dadong Koda yang dibenarkan pelanggan berusia senja sebaya Dadong Koda, langit desa kami begitu gelap seperti mendung panjang tapi tidak kunjung turun hujan.
Malaikat Datang
Ketika saya sedang santai di warung Koda, malaikat juga sering datang memberi saya pekerjaan. Malaikat datang melalui wajah-wajah risau kaum kakek nenek langganan Dong Koda yang kesusahan menyeberang jalan utama Batubulan. Mereka sering datang lebih dari satu kali ke warung Dadong. Datang untuk sekadar menyerumput kopi atau datang untuk menjual hasil jejaitan atau hasil kebun, membeli dan berutang sembako.
Suatu hari seorang nenek yang saya bantu menyeberang tiba di warung menjual satu sisir (seijas) pisang hasil kebunnya sekalian membeli beras. Karena kebetulan warungnya sedang sepi, Dadong Koda memberi kawannya itu susu panas secara gratis untuk membuka cerita.
Duduk kami bertiga sambil bercerita. Bermula dari keluhan si nenek dengan seijas pisang itu tentang padat dan kacaunya lalulintas di jalan besar desa kami. Secara spontan sambil menggerutu, Dadong Koda mengiyakan keluhan itu. Cerita kemudian berlanjut tentang kawan angkatannya yang beberapa hari sebelumnya mati lagi ditabrak motor.
Dari latar belakang cerita itu saya bertanya dan memancing cerita tentang bagaimana jalan Batubulan semasa mereka masih menjadi bunga nan segar. Dari mereka berdua saya mendapatkan gambaran bagaimana suasana alam bumi dan manusia di kampung saya di era lampau.
Dulu di tahun 1970-1990an jalan utama Batubulan yang hari ini begitu padat dan sesak oleh deru kendaraan, ialah jalan yang begitu tenang. Di sisi timurnya sungai dengan airnya yang begitu jernih mengalir. Di pagi hari agak siang masyarakat akan berbondong berjalan kaki menuju sawahnya. Batasnya kebetulan rumah Dadong Koda. Di selatan rumah Dadong Koda atau di timur laut desa kami dahulu ialah hamparan sawah hingga sejauh mata memandang. Embusan angin dari timur laut akan menyejukan pemukiman manusia desa.
Selepas kegiatan di sawah, mereka akan mandi bersama di sungai di pinggir jalan utama. Tumbuhan liar seperti rumput, genjer-genjer dan talas tumbuh lebat di pinggir sungai. Hanya dengan memasukan tangan ke dalam air sungai, udang, ikan dan kepiting sangat mudah didapat. Lalu, mereka ditusuk dengan rumput panjang (padang gajah) untuk dibawa pulang dan disantap.
Jika ada kelapa hanyut, dia akan menjadi rebutan karena kelapa ialah benda berharga ketika itu. Bahkan di masa yang sama ada hari-hari yang ditentukan oleh arahan Banjar untuk berburu tupai bersama. Semacam sayembara. Tupai-tupai sering memakan buah kelapa di desa kami. Ekor tupai hasil tangkapan akan disetor ke pihak banjar untuk ditukar dengan beberapa rupiah.
Barang Termewah
Masih dalam rangkaian cerita sama, ada satu periode yang begitu menarik menurut cerita mereka. Pada tahun 1970an akhir, seorang seniman patung muda dari desa saya datang dari luar negeri diajak teman bulenya. Dia datang membawa barang termewah ketika itu di desa kami, sepeda motor yang sekiranya menginjakkan rodanya pertama di tanah desa kami.
Di kala itu sore menjadi waktu yang ditunggu Dadong Koda, nenek seijas pisang dan kawan-kawan anak baru gede seumuran mereka. “Ada apa dengan sore saat itu?” saya menyela. Sore ialah waktu yang menjadi rutinitas si seniman itu keliling desa mengendarai kuda besinya. Sambil malu-malu mereka berdua bercerita bahwa ketika itu kaum mereka, para perempuan muda, akan berjejer di pingir jalan dan menanti sang pangeran dengan motornya lewat. Sekadar melihat atau menyapa meskipun bertepuk sebelah tangan. Bahkan, kata Dadong Koda, pangeran dan motor menjadi hal yang sering datang ke alam mimpinya.
Di masa ini, tanpa sempat mereka pahami, zaman oleh waktu telah berjalan terburu- buru megubah segalanya. Dalam perubahan yang tidak sempat mereka pertanyakan. Oleh pemegang kebijakan, semua seakan melaju tanpa keberpihakan aturan pada kaum mereka. Hari ini ketika mereka yang sudah renta di tempat yang sama harus berdiri dengan lutut bergetar di pinggir jalan, menunggu jeda barang yang dahulu mereka tunggu-tunggu melintas dikendarai sang seniman pujaan.
Sungguh ironis memang. Barang mewah yang didambakan tanpa pernah mereka pahami secara utuh laju keberadaannya. Barang itu telah berubah menjadi teror atas nyawa mereka dan bahkan sudah mengambil nyawa kawan-kawan seangkatan mereka.
Sejenak saya berpikir. Apa semua akan berjalan sama di masa saya renta. Kalau hal yang nampak mewah dan hebat hari ini, akan menjadi hal yang membuat saya kelak berdiri dengan lutut bergetar menunggu mereka jeda atau membunuh generasi saya. Pembangunan-pembangunan fisik, beton-beton, hotel, villa, rumah minimalis dan sumur bor yang hadir di mimpi kebanyakan generasi muda hari ini, tanpa aturan tata ruang yang berpihak pada lingkuangan bersama, akan membawa generasi saya yang kelak sudah renta merindukan sawah tanpa pagar pariwisata, atau air untuk minum, dan beras untuk dimakan seperti bagaimana pelanggan renta Dadong Koda menunggu jeda arus kendaraan di jalan raya Batubulan.
Jika segala kebijakan pemerintah tentang arah pembangunan di tanah air kita tidak mulai kita pertanyakan, atau lawan jika arus kebijakan itu semakin jauh dari akal sehat, seperti kebijakan pemerintah yang berpihak pada keinginan investor mengurug teluk yang dahulunya kawasan konservasi, maka bersiap saja kebijakan-kebijakan semacam itu yang sering dengan dalih kemajuan kelak akan menenggelamkan bumi dan manusia kita.
Panjang umur Dadong Koda dan teruslah hidup perlawanan. [b]
Pan galang inspirasi sajan puk.