Layar Priatna tiba-tiba mencabut keris dari pinggangnya.
“Kami warga Bali siap puputan untuk menolak reklamasi di Teluk Benoa,” katanya melalui pelantang suara sambil mengangkat keris tinggi-tinggi.
Masih dengan memegang pelantang suara di tangan kiri, dia kemudian menusukkan keris tersebut ke dadanya sendiri. Priatna, yang berpakaian adat Bali madya layaknya orang mau sembahyang, sedang melakukan ritual ngurek meski hanya sebentar.
Puputan adalah istilah untuk melawan hingga titik darah penghabisan di Bali. Ada beberapa sejarah puputan di Bali ketika melawan Belanda yaitu Puputan Badung pada 20 September 1906 dan Puputan Klungkung pada 21 April 1908. Orang Bali menganggap puputan adalah peristiwa heroik melawan penjajahan.
Begitu pula makna puputan bagi Priatna, Koordinator Forum Masyarakat Renon Tolak Reklamasi. Baginya, puputan kali ini adalah perlawanan terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.
Jumat pekan lalu, Priatna menjadi bagian dari sekitar 1.500 warga Bali yang melakukan aksi menolak reklamasi Teluk Benoa. Para peserta aksi berasal dari desa-desa di sekitar Teluk Benoa seperti Kedonganan, Kelan, Jimbaran, Sanur, dan lain-lain.
Tak hanya nelayan dan pemilik usaha pariwisata di sekitar Tanjung Benoa, para peserta aksi juga dari kalangan pelajar, mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Ada pula kelompok warga dari Sukawati dan Ubud, Gianyar bahkan Jembrana di ujung barat Bali.
Bendera massa aksi dari berbagai kelompok tersebut berkibar-kibar selama aksi. Namun, bendera berwarna putih, merah, dan hitam dengan tulisan Bali Tolak Reklamasi terlihat paling banyak.
Sekitar pukul 3 sore, massa aksi berkumpul di Tanjung Benoa, salah satu pusat pariwisata pesisir di Bali selatan. Menggunakan perahu jukung, perahu wisata, jet ski, dan jenis lainnya, massa aksi bergerak. Tujuannya adalah tanah timbul (mud island) di lokasi yang akan direklamasi.
Ratusan perahu tersebut melaju dalam barisan diiringi gamelan ala Bali. Para peserta aksi membentangkan bendera dan spanduk menolak reklamasi Teluk Benoa. Spanduk-spanduk tersebut misalnya berisi tulisan Kami Rakyat Bali Tidak Butuh Reklamasi. Cabut Perpres No 51 tahun 2014, Bali Not For Sale, BALI Bukan Ajang Lahan Investor Serakah, dan lain-lain.
Tuntutan
Setelah berkeliling selama sekitar 1 jam termasuk di bawah jalan tol di Benoa – Nusa Dua, massa berhenti di tanah timbul. Mereka turun dari perahu, berorasi, dan membentangkan spanduk raksasa berukuran sekitar 10 x 3 meter dengan tuntutan serupa, Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Batalkan Perpres no 51 tahun 2014!
Dalam orasinya, massa aksi menyatakan empat tuntutan.
Pertama, menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) No 51 tahun 2014. Massa menuntut agar presiden SBY tetap memberlakukan Perpres No 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita).
Kedua, menuntut SBY untuk menolak rencana reklamasi Teluk Benoa karena akan mengancam hajat hidup orang banyak dan meningkatkan risiko bencana ekologis di Bali selatan.
“Reklamasi justru akan menghancurkan Bali,” teriak Wayan Kartika Koordinator Tanjung Benoa Tolak Reklamasi (TBTR) di depan massa aksi.
Ketiga, massa juga meminta SBY untuk menghentikan seluruh proses perizinan reklamasi Teluk Benoa. Rencana tersebut telah ditolak seluruh lapisan warga di Bali.
Terakhir, massa menuntut agar SBY di akhir masa jabatan tidak mengeluarkan kebijakan strategis yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak, termasuk kebijakan reklamasi Teluk Benoa.
Reklamasi Teluk Benoa yang kini ditolak warga Bali adalah rencana investasi milik PT Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI). Perusahaan milik taipan Tomy Winata ini akan membangun pulau-pulau baru di kawasan Teluk Benoa. Teluk ini berada di antara segi tiga emas sekaligus jantung pariwisata Bali yaitu Sanur, Kuta, dan Nusa Dua.
PT TWBI akan membangun fasilitas pariwisata serupa Disneyland, Amerika Serikat atau Pulau Sentosa di Singapura. Di sana akan dibangun lapangan golf, gedung konvensi, perumahan, perkantoran dan lain-lain. Kawasan teluk seluas 1.400 hektar itu akan direklamasi hingga 810 hektar.
Rencana inilah yang kini ditentang warga Bali, termasuk TBTR, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali), dan lain-lain.
“Jika teluk di sisi barat direklamasi, maka terumbu karang di sisi timur akan rusak. Padahal, selama ini kami mengandalkan keindahan terumbu karang itu sebagai tempat wisata,” kata I Wayan Kartika.
Dampak Lingkungan
Teluk yang akan direklamasi tersebut memang berada di sisi barat Tanjung Benoa. Di sana terdapat pulau kecil yang jadi tempat wisata bagi turis. Di sisi timur, para warga lokal mengelola wisata laut seperti diving, snorkling, dan banan boat yang memang menjual pesona bawah laut termasuk terumbu karang dan ikan-ikan.
“Usaha wisata kami pasti mati jika nanti ada wisata terpadu yang dibangun oleh investor. Apalagi mereka punya modal lebih besar,” Kartika menambahkan.
Dari sekian banyak dampak negatif yang mungkin terjadi akibat reklamasi Teluk Benoa, dampak lingkungan memang paling mudah terlihat. Lembaga lingkungan Conservation International (CI) Bali pernah membuat riset terkait dampak buruk reklamasi Teluk Benoa terhadap lingkungan. Salah satunya adalah kemungkinan banjir rob jika teluk tersebut direklamasi.
“Teluk Benoa merupakan kawasan reservoir bagi lima sungai besar di Bali selatan. Jika teluk direklamasi, maka air pasti akan melimpah ke luar kawasan jika terjadi hujan besar,” kata Manajer Jaringan Pengelolaan Pesisir CI Bali Iwan Dewantama yang juga anggota tim riset.
Menurut Iwan, dampak ekologis lain reklamasi Teluk Benoa adalah perubahan struktur tanah di teluk tersebut. Secara geogenesis atau sejarah terbentuknya, Teluk Benoa merupakan daerah yang memang mudah berubah. Labil. Dia hanya berupa endapan lumpur.
“Jika direklamasi, maka akan makin labil sehingga meningkat risiko jika terjadi bencana seperti gempa dan tsunami,” ujar Iwan.
“Reklamasi sebagai intervensi terhadap alam justru akan memperburuk labilitas kawasan Teluk Benoa,” tambahnya.
Iwan yang juga mengingatkan dampak lingkungan terhadap lokasi-lokasi yang akan dikeruk pasirnya untuk mereklamasi Teluk Benoa. Menurut proposal PT TWBI, mereka membutuhkan 33 juta meter kubik pasir untuk membangun pulau-pulau baru di Teluk Benoa.
Jutaan meter kubik pasir untuk reklamasi tersebut akan diambil dari beberapa lokasi seperti Pantai Sawangan, Bali bagian selatan; Karangasem, Bali bagian timur; Sekotong, Nusa Tenggara Barat; serta bekas material pengerukan pendalaman alur di lokasi reklamasi.
“Logikanya, jika ada bagian yang dikeruk untuk reklamasi, maka akan ada bagian lain dari kawasan perairan laut yang akan rusak. Itu sudah pasti,” tegas Iwan.
Dia menambahkan bahwa kawasan pesisir merupakan satu kesatuan. Intervensi di satu titik akan berdampak terhadap kawasan pesisir di tempat lain. Reklamasi Pulau Serangan di Denpasar selatan pada 1994 sebenarnya bisa jadi contoh. Akibat reklamasi pulau hingga empat kali lipat dibanding luas awal, abrasi pun terjadi lebih keras di daerah lain seperti Mertasari, Padanggalak, dan Lebih.
Karena itulah, bagi sebagian besar warga Bali seperti Priatna yang tinggal jauh dari Tanjung Benoa, reklamasi Teluk Benoa tak hanya masalah warga sekitar lokasi. Reklamasi Teluk Benoa adalah masalah seluruh warga Bali karena akan berdampak abrasi ke seluruh pesisir Bali.
“Karena itu reklamasi Teluk Benoa harus ditolak,” tegas Priatna. [b]