“Minggu ini, anak-anak ngeluarin single Kedamaian dan Ketidakadilan untuk Ahok”.
Di satu pagi pertengahan Mei kabar datang dari Ketut Suarma. Anak-anak yang dia maksud adalah Aya JS dan Laras JS, duo biduan berbakat yang bergabung dalam BTMDG.
BTMDG adalah sebuah akronim dari nama desa di daerah Nusa Penida, Kabupaten Klungkung yakni Batumadeg, kampong halaman sang ayah, Ketut Suarma.
Menurut Suarma, lagu itu akan menjadi lagu kelima yang akan dirilis segera. Lagu berbahasa Inggris yang berjudul Thousands Of Candles for Peace ini akan diperkenalkan ke khalayak dalam waktu dekat di bulan Juni ini. “Lagu ini mereka ciptakan untuk menyuarakan perdamaian di tanah air dan sebagai bentuk dukungan kepada Ahok, Jokowi dan tokoh-tokoh lainnya di atas sana yang sedang memperjuangkan keadilan, perdamaian dan kesatuan bangsa,” kata sang Ayah.
Banyak hal telah terjadi di Indonesia beberapa bulan belakangan dan menyita perhatian publik.
Di hari yang sama, saya mendapat privilege untuk mendengarkan cuplikan lagu tersebut. Saya mendengar denting piano yang diikuti suara merdu Laras dan gesekan biola Aya menyambung ketika memasuki refrain.
Saya tersenyum. Senyum kekaguman yang sama, ketika pertama kali saya menonton live performance mereka. Saat itu mereka menyanyikan lagu mereka berjudul Happy Place. Sebuah impresi yang membekas.
Saya terkesima, baik pada komposisi lirik dalam puisi dan lagu tersebut juga musikalitas mereka. Duo musisi kakak beradik yang masih belia ini, 17 dan 16 tahun, punya semacam seperangkat amunisi yang komplit: knowledge, skill dan attitude.
Dari cerita sang ayah, lagu Thousands of Candles for Peace ini sudah ditulis beberapa bulan lalu ketika situasi politik di tanah air memanas, yang menyebabkan adanya saling hujat dan saling serang dengan saudara setanah air sendiri. ‘”Padahal dasar Negara kita mengajarkan Kebhinekaan,” katanya.
Lanjutnya lagi, dari sini Aya & Laras merasa tergugah hatinya untuk menyuarakan perdamaian dan mengajak semuanya untuk saling berpegangan tangan dan berangkulan. “Karena kita semua adalah saudara apapun warna kulit kita – agama kita,” sambungnya.
Musik adalah bahasa universal umat manusia. Melaluinya barangkali banyak hati akan dijangkau dan merasa terobati. Dalam sebuah file yang berisi gubahan lirik Thousands of Candles for Peace ini, yang dikirimkan sang Ayah. Saya tertarik dengan terjemahan bahasa Indonesia baris ini.
Entah kulitmu hitam ataupun putih, kita semua akan meregang / bukankan kita semua sama sama manusia?
Di kanal Youtube mereka, bisa ditemukan empat lagu karya mereka sendiri. Hometown, lagu pertama mereka yang terinspirasi dari kisah masa kecil sang ayah di kampung halaman. Lagu kedua 1314 menceritakan tentang cinta monyet anak remaja. Diberi judul 1314, karena saat mereka mencipta lagu ini, Laras berusia 13 dan Aya 14.
Lagu ketiga, Happy Place mengisahkan tentang fenomena kehidupan remaja sekarang terhadap pengaruh teknologi dan gadget. Lagu keempat berjudul Gema Santi, di mana lagu ini diciptakan untuk kabupaten mereka, Klungkung, untuk program Bupati Klungkung Nyoman Suwirta: Gema Santi.
Selain lagu-lagu idealis, mereka juga sedang mempersiapkan lagu-lagu lain yang lebih ringan dan catchy ke dalam mini albumnya. “Mereka juga ada beberapa lagu yang tentunya lebih catchy, easy listening dan sedikit mengikuti selera anak muda zaman sekarang. Itu sedang dalam proses rekaman. Rencananya akan digabung dengan lagu-lagunya yang sudah beredar di Youtubedan akan dibuatkan mini album,” sebut Ketut Suarma.
Aya si sulung mulai bermain violin dan ikut lomba sejak umur 4 tahun dan lomba menyanyi sejak usia 7 tahun. Ia pun juga tertarik menulis naskah film sejak SD kelas 5. Laras, si bungsu mulai tertarik menyanyi dan ikut lomba sejak usia 6 tahun. Ia pun mulai menulis puisi sejak kelas 5 SD.
Mereka tumbuh besar di Kanada dan kembali ke Bali di tahun 2013. Di tahun yang sama mereka mulai menciptakan lagu-lagu mereka.
Perkenalan dasar-dasar musik mereka peroleh dari guru dan ibunya ketika di bangku sekolah dasar. Aya belajar teknik musik violin dari seorang guru. Selebihnya baik Aya dan Laras belajar mengeksplorasi sendiri dan juga dari ibunya. Mungkin karena sang kakek adalah pemusik, begitu pun ibunya yang juga mewarisi bakat bermusik sama sehingga otomotis menurun. Ketika pindah ke Bali, mereka belajar sendiri dan banyak mengakses dari internet.
Sang kakek adalah IGB Ngurah Ardjana (alm.) salah satu tokoh musik Bali menciptakan lagu Bali Pulina, Sekar Sandat, Keropak Wayang, dan Sugih Keneh Kesugihan Sujati. Ibunya adalah Heny Janawati seorang penyanyi opera yang pernah tampil di berbagai panggung opera dan musik klasik di Eropa, sekaligus pendiri sekolah vocal StaccatoBali.
Ada sedikit cerita mengenai si sulung Aya. Ketika mau mendaftar SMP terfavorit di Vancouver, ia menulis sebuah esai sebagai syarat pendaftaran. Ia menulis perihal bunuh diri. Dari tulisannya itu, ia kemudian diterima di sekolah impiannya itu. Namun, belum sempat memulai sekolah di sana akhirnya dia harus kembali ke tanah air secara mendadak untuk mengikuti orang tuanya.
Tulisan suicide terinspirasi dari kisah nyata Amanda Todd, seorang remaja korban cyber-bullying.
[b]