Apa saja sampah yang memenuhi pesisir pulau dewata ini?
Tim peneliti sampah di lautan mengembangkan lingkup penelitian. Tak hanya memetakan sampah dan asalnya di pantai-pantai populer seperti Kuta tetapi juga mencatat jenis sampah di seluruh pesisir Bali.
Sekelompok peneliti dari Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana menyebar ke seluruh pesisir Bali pada November 2017. Sekitar 70 orang membagi diri, menyebar tiap 10 km. Mereka mempraktikkan metode The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), lembaga penelitian Australia, dalam memetakan distribusi sampah pesisir dengan random sampling. Di tiap titik pengamatan, mereka mencatat jumlah dan jenis sampah yang ditemukan tiap 100 meter.
Ade Narayana, staf magang di Lab Komputasi FKP Unud termasuk salah satu penelitinya. Ia bersama rekannya membaca sampah yang ditemukan. Misalnya apakah kemasan makanan atau minuman, teks yang tertera, dan jumlahnya.
Hasilnya, sebagian besar (45%) jenis sampah adalah plastik “lunak” atau soft plastic. Kemudian hard plastics atau plastik keras (15%) dan besi. Lainnya karet, kayu, busa, baju, gelas, dan lainnya. Dari sampah plastik itu, terbanyak adalah plastik kemasan (40%) makanan atau yang berlabel kemudian sedotan (17%), dan kresek (15%).
Sementara dari peta sebaran sampah, terlihat hampir rata di seluruh pesisir. Makin besar bulatan, maka volumenya makin besar. Termasuk pantai-pantai terkenal di Bali Selatan seperti Serangan, Kedonganan, Kuta, Legian, kemudian Bali Utara, dan Bali Barat.
Ini adalah bagian dari sejumlah aspek yang diteliti tentang sampah laut. Penelitian sebelumnya adalah pergerakan sampah dan jenis sampah yang mendarat di pantai-pantai berhadapan dengan Selat Bali sejak 2014. Kemudian jenis sampah yang terdampar di Pantai Kuta, karena paling banyak terekspos oleh turis.
Selanjutnya pergerakan sampah berdasar arus. Dengan memanfaatkan data arus dan pergerakan angin di Selat Bali saat musim hujan, salah satu peneliti Andhita Triwahyuni memperlihatkan hasil modeling, sampah yang terbawa dari Selat Bali berlayar dan mendarat ke pesisir Barat dan Selatan Bali. Volume sampah di antara pulau Bali dan Jawa akan berkurang, terdistribusikan ke hilir.
Penelitian lain akan dikembangkan agar lebih komprehensif memotret fenomena sampah laut dan bagaimana menanggulanginya. Rencana berikut adalah meneliti dampak sampah dan kualitas pangan. “Kami akan meneliti Lemuru di Selat Bali. Ini jenis ikan yang banyak diekspor jadi ikan kaleng,” kata Dr I Gede Hendrawan, Kepala Lab Komputasi FKP yang melakukan serial penelitian ini.
Tak hanya mikroplastik yang bisa dilihat secara visual tapi juga yang terurai dalam ikan seperti pestisida dan logam berat.
Menurutnya topik plastics on the menu tak bisa ditampik karena sampah yang terkonsentrasi lama di laut akan menjadi mikroplastik. Ini menjadi masalah baru terkait keamanan pangan laut. Hal ini sudah dibuktikan oleh peneliti Kanada dan Makassar yang menemukan cemaran plastik pada satwa laut di perairan Sulawesi.
Ikan Tercemar
Dikutip dari Kompas (12/06/2017), riset bersama Universitas Hasanuddin dan University of California Davis (2014 dan 2015) menemukan cemaran plastik mikro di saluran pencernaan ikan dan kerang yang dijual di tempat pelelangan ikan terbesar di Makassar, Sulawesi Selatan. Hasil riset dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional, Nature, September 2015.
Disebutkan sepertiga sampel atau 28 persennya mengandung plastik mikro. Ada 76 ikan yang diteliti kandungan plastik mikronya dari 11 jenis ikan berbeda.
Soal dampak pada satwa laut, Hendrawan bergabung dengan peneliti lain sudah mempublikasikan jumlah mikroplastik di perairan jalur migrasi Pari Manta yakni Nusa Penida, Bali dan Taman Nasional Komodo, NTT.
Para peneliti adalah Elitza Germanov, Andrea Marshall, I Gede Hedrawan, dan Neil Loneragan kolaborasi Marine Megafauna Foundation, Universitas Murdoch, Australia, dan Universitas Udayana, Bali. Sejumlah poster publikasi temuan mikroplastik ini sudah disebarluaskan.
Temuan mereka adalah mikroplastik ditemukan pada setiap pelaksanaan survei di kedua lokasi selama musim hujan (wet northwest monsoon season). Kategori mikroplastik adalah serpihan plastik di bawah 5 milimeter. Rata-rata serpihan plastik yang ditemukan di perairan Nusa Penida yaitu 0,48 potong per meter kubik dan di Taman Nasional Komodo 1,11 per meter kubik. Sehingga diperkirakan potensi Pari Manta menelan mikroplastik berkisar 40-90 potong per jam.
Hanya Korban?
Bagaimana mendorong hasil-hasil penelitian ini jadi rujukan untuk program penanggulangan sampah? Ini juga jadi motivasi peneliti. Misalnya membeli dan memasang perangkap sampah, di mana lokasi yang strategis agar sampah tak banyak masuk laut.
Hendrawan mencontohkan Kabupaten Badung. Jika ingin mengurangi sampah terdampar, daerah terkaya di Bali ini harus membantu kabupaten Jembrana di Bali Barat atau daerah lain di Selat Bali untuk instalasi perangkap sampahnya.
Pemetaan sumber sampah dari sungai menurutnya belum tergarap karena berpotensi tinggi pada kontribusi sampah laut. “Seberapa parah sampah dari hulu ini, bagaimana mencegah?” tanyanya.
Pengelolaan sungai tak bisa sektoral karena mengalir lintas daerah. Jika sistem pengendalian sampah terintegrasi namun masih banyak mendapat sampah terdampar baru bisa menyebut ini bukan sampah dari Bali.
Strategi jangka pendek adalah pengurangan sampah plastik, sementara jangka panjangnya mengubah perilaku. Sejumlah penelitian lain yang diperlukan adalah infrastruktur penampungan, pengangkutan sampah, dan pengolahannya. Misal mendekatkan pengolahan sampah ke pemukiman untuk mengurangi terbuang ke saluran air.
I Putu Eka Merthawan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten (DLHK) Badung menyatakan daerah pusat pariwisata ini masih darurat sampah laut sejak November 2017 lalu. Terutama dari pesisir Parerenan sampai Jimbaran sempanjang 8 km selama musim angin monsoon Barat ini.
Ia menyebut ini fenomena alam tahunan, ketika gelombang dan angin kencang membawa sampah dari mana saja termasuk sampah dunia, Bali bagian Barat, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Pihaknya mencatat sejak November sudah mengangkut sedikitnya 6000 ton sampah laut. Sementara sampah dari daratan Badung hanya 250 ton.
“Coba bayangkan beratnya, juga terkendala cuaca dan campur pasir, susah menyapunya,” lanjut Eka.
Penetapan status darurat bencana sampah laut ini menurutnya penting sebagai informasi dan peringatan untuk wisatawan. Misalnya jangan heran kalau berenang bersama sampah. Ia mengelompokkan status sampah menjadi 3, waspada (volume sampah 0-10 ton per hari), siaga (11-40 ton/hari), dan darurat (di atas 50 ton/hari).
“Bukan gagah-gagahan, kami gentle menyampaikan jika saat ini alam tak bersahabat,” jelasnya.
Penelitian terkait pergerakan sampah dan lainnya menurut Eka pasti berguna tapi pihaknya hanya pelaksana yang mengurus sampah dari menyiapkan tenaga kebersihan sampai pengangkutan. Menurutnya penanganan ini harus melibatkan pemerintah provinsi dan pusat. Eka menyebut sudah menaruh banyak jaring penangkap sampah di sejumlah sungai yang melintas kabupaten pusat akomodasi ini.
“Badung kan jadi korban,” katanya. [b]
Keterangan: artikel ini pertama kali terbit di situs lingkungan Mongabay.