Oleh Anton Muhajir
Berjudul “The Journey”, saya membayangkan pameran foto Lukman S Bintoro, fotografer lepas yang juga teman saya, ini akan berisi foto-foto hasil perjalanannya ke berbagai tempat. Dalam perjalanan, hal yang menarik biasanya adalah tempat, manusia, peristiwa, atau sekadar suasana yang dialami.
Apalagi ketika sebulan lalu saya membantunya membuat blog untuk pameran foto-foto yang diperlihatkan adalah perjalanannya ke dua negara, Kamboja dan Timor Leste. Makanya saya yakin banget bahwa Lukman akan memamerkan foto-foto hasil perjalanannya ke dua negara itu dan berbagai tempat lain yang pernah dikunjunginya.
Tapi bayangan saya ternyata salah. Foto-foto Lukman, mantan fotografer harian Nusa yang karyanya pernah dimuat di berbagai media termasuk TEMPO, The Jakarta Post, dan Daily Telegraph (Australia), ini tidak berupa foto-foto perjalanan seperti yang saya bayangkan. Foto itu adalah karya jurnalistik, bukan jenis foto-foto salon perjalanan yang memamerkan nikmatnya jalan-jalan.
Sebagai pelaku dan penikmat jalan-jalan, saya agak kecewa dengan ini. Apalagi saya sudah kadung mempunyai harapan tertentu pada apa yang akan dipamerkan pada 18-22 April ini.
Tapi setelah melihat lagi dan lagi, sampai tiga kali termasuk sebelum pameran dimulai, saya baru menemukan sesuatu yang berbeda pada pameran kali ini. Perjalanan yang menjadi tema pameran foto di Museum Bali Denpasar ini bukanlah perjalanan ala turis, tapi perjalanan di mata jurnalis. Perjalanan Lukman kali ini adalah perjalanan menembus batas.
Lukman, fotografer rendah hati –sesuatu yang bagi saya agak langka- ini, menembus batas negara. Sebagian foto yang dipamerkan adalah hasil perjalanannya ke Kamboja, Timor Leste, dan Australia. Dari dua negara tetangga itu, hanya satu yang dia kunjungi untuk liputan. Dua yang lain untuk workshop fotografi dan perjalanan mengikuti upacara pemakaman teman.
Liputannya ke Timor Leste dilakukan ketika dia meliput konflik di negara bekas salah satu provinsi di Indonesia tersebut pada Mei-Juni 2006. Dia bekerja untuk Daily Telegraph, koran tempat dia juga sering bekerja terutama di Bali.
Sebatas yang saya tahu, jualan utama fotografer jurnalis adalah peristiwa. Soal teknis urusan nomor sekian. Yang paling penting adalah cerita di balik gambar yang disampaikan. Dan Lukman bisa merekam dan menyampaikan peristiwa tersebut sangat kuat. Bagi saya, foto yang paling dramatis dari negara Lorosae adalah foto yang memperlihatkan dua orang yang berkonflik saling berkejaran. Foto ini menggambarkan sangat jelas bagaimana konflik saudara di negara yang memisahkan dari Indonesia pada 1999 tersebut.
Dua orang yang bermusuhan, dari dua kelompok berbeda itu, pada posisi berlawanan. Satu dikejar, satu mengejar. Mereka melewati lorong kecil yang agak buram. Foto ini agak blur, tapi ekspresi orang yang dikejar cukup terlihat meski samar. Secara komposisi, foto ini juga rapi. Pengejar di bagian atas kanan bingkai foto sedangkan yang dikejar di bagian bawah kiri. Sangat simbolik menggambark orang yang berseberangan.
Untuk mengambil foto itu, saya bayangkan Lukman berada di antara dua orang bermusuhan yang berkejaran dalam suasana chaos akibat perang saudara. Dia bertaruh nyawa untuk itu. Juga harus berada pada posisi yang tepat agar bisa dapat momen dan komposisi yang dia sampaikan dalam foto.
“Kalau dua orang sudah bermusuhan, mereka tidak akan peduli pada orang lain, termasuk aku yang memotret mereka,” kata Lukman tentang pengambilan foto itu. Untuk mengambil foto itu, dia juga harus lari memutar dari tempat lain sehingga bisa mendapat komposisi yang rapi tersebut.
Di samping foto dua orang berkejaran ini, foto lain juga menyampaikan pesan yang kuat tentang konflik di Timor Leste. Foto ini memperlihatkan dinding bergambar tokoh pencabut nyawa dalam beberapa film Hollywood yang digambarkan bertudung hitam dengan gancu di tangan, mirip para tokoh Klu Klux Klan ketika mengeksekusi orang hitam dalam sejarah rasial Amerika Serikat.
Asap hitam sisa kebakaran mengepul memenuhi sebagian besar foto ini. Tokoh pencabut nyawa dengan latar asap pekat jelas simbol yang sangat kuat tentang maut yang sengaja dilakukan atas nama kebencian. Lukman menyampaikannya dengan sangat bagus.
Tapi Lukman tak hanya memotret konflik yang terjadi di depan mata. Dia juga melihat dampak konflik tersebut. Hasilnya adalah foto yang sangat mengiris hati: sepuluh bayi di dua kasur bayi. Terlihat bersesak. Bagi saya foto ini memilukan. Bayi-bayi itu harus dilahirkan di pengungsian karena konflik. Fakta yang selalu sama, perempuan dan anak-anak selalu jadi korban utama konflik di mana pun.
Melintas batas negara ini juga terlihat pada foto-foto tentang rodeo, adu ketangkasan naik kuda, di Australia. Foto-foto ini diambil Lukman ketika melakukan perjalanan ke negeri Kanguru itu untuk menghadiri upacara kematian dua wartawan Australia korban kecelakaan Garuda di Jogjakarta pada Maret 2006.
Selama di sana, Lukman juga melihat rodeo di Toowoomba, Queensland tempat warga lokal yang sebagian besar peternak mengadu ketangkasan naik kuda. Semua foto hitam putih ini menceritakan bagaiamana para penunggang banteng beradu ketangkasan.
Adapun foto dari Kamboja adalah tentang biksu bernama Pheakdey di Siem Reap Kamboja yang belajar bahasa Inggris. Kamera Lukman menangkap keseharian biksu berumur 24 tahun ini belajar Bahasa Inggris. Tidak hanya belajar untuk dirinya sendiri, dia juga mengajarkan ilmunya itu untuk anak-anak. Di foto yang lain, biksu muda ini sedang berjalan melawan arus puluhan turis. Di sela waktu luangnya, biksu ini memang juga belajar Bahasa Inggris pada pemandu lokal.
Sayangnya Lukman kurang lengkap merekam keseharian biksu ini dalam belajar Bahasa Inggris. Tidak ada foto ketika biksu ini mengajar pada anak-anak, misalnya. Atau foto ketika biksu ini belajar pada pemandu lokal tersebut. Kalau ada, tentu profil si biksu yang jadi objek foto.
Toh, bagi saya, Lukman tetap bisa menembus batas itu. Dia bisa berdialog dengan Pheakdey lewat foto-foto itu. Lukman tak hanya menembus batas negara, dia juga menembus batas budaya. Dan inilah kekuatan foto-foto Lukman yang lain.
Di luar foto-foto dari tiga negara itu, dia juga menambah foto dari Bali. Fotografer kelahiran Malang ini tinggal di Bali sejak 2000. Beberapa fotonya memperlihatkan ada dialog melewati batas budaya itu. Misalnya foto anak kecil meringis kesakitan ketika disunat sebagai salah satu tradisi dalam Islam, foto anak muda dengan rambut mohawk sedang main layang-layang, foto upacara melasti di Legian, serta foto pedanda memimpin upacara.
Saya menyebut foto-foto itu melintas batas budaya karena dalam tiap bingkai foto Lukman berusaha menyampaikan pertemuan dua budaya yang berbeda latar belakang. Katakanlah pada foto anak muda berambut mohawk main layang-layang. Rambut bergaya mohawk, bagian tengah dibuat panjang dan berdiri ala suku Indian atau anak punk, mewakili sesuatau yang kontemporer. Sebut saja ini budaya urban. Tapi anak ini juga main layang-layang dalam festival tahunan yang sudah kadung jadi salah satu tradisi kontemporer di Bali.
Atau pada foto pedanda memimpin upacara. Lukman tidak menjadikan pedanda ini sebagai fokus foto. Objek utama foto justru pada tas bertuliskan DKNY, singkatan dari produk fashion Donni Karan New York, yang jadi tempat membawa dupa. DKNY sebagai salah satu simbol dalam budaya fashion bertemu dengan pedanda yang memimpin upacara. Bagi saya ini adalah sebuah dialog lintas budaya.
Di luar foto-foto lintas batas negara dan budaya itu, Lukman juga memamerkan foto lain hasil dari pekerjaannya sebagai jurnalis. Misalnya foto Schapelle Corby, warga Australia terpidana kasus penyelundupan ganja, menjelang sidang. Corby, saat ini sedang menjalani hukuman di penjara Kerobokan, sedang menangis. Dia menutup mulutnya dengan tangan yang terborgol. Latar depan berupa jeruji besi tahanan dan dua laki-laki berjalan agak blur memberi kesan kuat tentang Corby yang terasing di antara para laki-laki dan penjara..
Ada pula beberapa foto yang bagi saya terasa agak maksa untuk disertakan dalam pameran. Misalnya foto tentang flu burung. Entah apa hubungan foto-foto ini dengan The Journey sebagai sebuah tema pameran. Foto ini memang bagus dari sisi jurnalistik. Kandang yang sepi gara-gara ayamnya mati serta pembakaran bangkai ayam itu sangat layak jual di koran. Tapi terasa mengganggu di pameran bertema perjalanan. Foto ini seharusnya disimpan saja agar tidak mengganggu alur orang menikmati oleh-oleh perjalanan Lukman.
Tambahan foto agak nyaplir dari tema ini menambah dua hal lain yang juga agak mengganjal yaitu tidak jelasnya alur penataan foto dan tidak adanya judul di tiap foto.
Maksud saya begini. Karena bertema perjalanan, tentu akan lebih asik kalau foto itu disusun berdasarkan kronologis atau tema tertentu. Sejak awal melihat penataan foto sehari sebelum pameran dibuka, saya sudah bertanya pada Lukman. Dia juga tidak tahu karena bukan dia yang membuat penataan tersebut, tapi Ahmad Salman, kurator pameran.
“Saya kok tidak memikirkan penataan itu ya,” jawab Deny, panggilan akrab Ahmad Salman ketika ngobrol santai dengan saya di tempat pameran.
Kekurangan judul pada tiap foto, hanya caption, juga jadi masalah. Memang sih ada tapi itu kalau tema foto dalam satu tempat itu sama. Misalnya Biksu Pheakdey untuk foto-foto tentang biksu di Kamboja atau Australia Rodeo untuk foto-foto tentang rodeo. Tapi tidak ada judul pada masing-masing foto di tema tersebut. Ini jadi masalah kalau foto-foto di satu tempat display itu beraneka temanya.
Untungnya sih masih ada keterangan foto sehingga bisa membantu orang memahami apa maksud foto tersebut. Jadi, saya misalnya, masih bisa menikmati betapa enaknya oleh-oleh yang dibagi Lukman setelah dia jalan-jalan..[b]