Tiap berganti tahun, persoalan perkebunan salak di Desa Sibetan, Bebandem, Karangasem, masih sama; kelebihan produksi. Kala membakar hasil kelebihan panen buah salak di perkebunan miliknya, Putu Wijaya menyadari sesuatu. Aroma salak yang busuk dan terbakar seolah sama dengan aroma arak. Ia kemudian bertekad menemukan terobosan minuman khas Bali berbahan dasar salak.
Semakin tua semakin berkembang. Mungkin istilah ini tepat untuk Putu Wijaya. Pria yang akrab dipanggil Putu ini merupakan sosok yang pertama kali berperan besar terhadap industri arak di Desa Sibetan, Karangasem. Inovasi yang diterapkan oleh Putu merupakan hasil pemikiran pertama dalam pengolahan salak sebagai minuman beralkohol.
Dengan rasa ingin tahunya yang tinggi dan pengamatannya terhadap sebuah kebusukan salak yang tidak sengaja tampak di depan matanya muncul inovasi produk arak berkualitas ini. Tidak mudah bagi pria berusia 60 tahun itu mempelajari semua teknologi yang digunakan dalam produksi arak, apalagi dirinya terbilang bukan tamatan pendidikan tinggi.
“Akhirnya saya pelajari pelan-pelan, saya temukan salak yang busuk dan saya coba fermentasi, saya campur, saya coba dengan ragi-ragi pasar seperti ragi tape, tapi belum keluar aroma araknya, saya rebus kembali ditambah dengan lama fermentasinya dari 15-25 belum bagus, coba satu bulan keluar 0,5% belum mencapai 10% untuk berhasil fermentasinya, saya ulang lagi, saya buat tape salak pakai ragi pasar,” ceritanya. Seperti bikin tape biasa, ia bikin 25 kg tape kemudian diblender. Kemudian direbus, setelah rebus 6 hari baru masak tapenya. Setelah itu diremas-remas, saring dan keluarlah 25%, makin pendek fermentasinya makin rendah kadarnya. “Istilahnya sudah ketemu hasilnya, dicoba 1 bulan sampai 1,5 bulan, semakin lama fermentasi semakin bagus araknya,” ia memaparkan.
Menurutnya kalau pake mesin besar, misal 5 hari harus jadi arak, 5 hari bagus. Di atas 5 hari tidak bagus, rasanya beda. Ternyata bukan perkara yang cepat hingga bisa dihasilkan produk arak yang berkualitas.
Perlu tekad dan ketekunan dari dirinya agar mendapatkan produk yang bagus pula. Bahkan, Putu sempat meneliti bahwa semakin lama salak difermentasi maka semakin bagus alkohol yang keluar. Selain itu jika disuling beberapa kali maka alkohol yang dihasilkan memiliki kadar lebih tinggi. “Lima hari itu rasanya bagus cuma kurang mantap, kalau salak gula pasir tidak bisa karena kadar gulanya tinggi. Disamping itu, setelah di proses airnya sedikit, setelah direbus hilang rasanya tidak mau putih, biru warnanya,” imbuh Putu.
Dibalik suksesnya terobosan arak salak ini, ternyata Putu melakukannya dengan sukarela dan berdikari. Bahkan ketika ditanya apakah ada bantuan dari pihak luar, Putu mengatakan belum ada dan masih ia kelola sendiri. “Belum ada, belum ada yang bisa bikin, Unud pun nanya sama saya, maaf ya, sagi itu kan, sagi udah terkenal sekarang, itu produk saya, saya bahan bakunya, berapa kali saya ketemui di sekar tunjung, pas saya datang ke sana, Unud kesana dia, membicarakan masalah saginya ini, karna saginya ini udah membludak di Denpasar, pabrik yang ngambil ke sini arak-araknya,” paparnya.
Tidak hanya arak buatannya sendiri, namun komoditas desa juga sudah mulai didistribusikan keluar sebagai bahan baku minuman beralkohol lainnya seperti wine. Putu kerap kali diminta untuk mengirimkan hasil panennya untuk ke industri. Terkadang perlu tenaga dalam pengupasan kulit salak jika diminta “bersihan”.
Namun untuk penjualan arak salak ini belum berani karena pertimbangan resiko yang dihadapi nantinya cukup besar. Walaupun Putu merupakan satu-satunya pengrajin arak di desa Sibetan, ia juga turut mengajarkan masyarakat lain yang ingin belajar. “Sistemnya 1 bulan itu 30 x perputaran tetap, kalo ada yg mau belajar lebih baik bergabung dengan saya,” ucap Putu.
Ternyata bukan hanya dibuat sebagai produk arak, Putu juga kerap kali memikirkan cara agar ampas sisa fermentasi salak bisa digunakan dan tidak terbuang sia-sia. “Nah, ini hasil daripada ekstraknya itu ada sisanya, sisanya itu belum saya jadiin apa-apa, sebenarnya sudah menjadi dodol salak karena istilahnya sudah diambil aroma dan sari-sarinya, saya belum coba lagi,” ujarnya. Dari perindustriania disuruh bikin aja dodol. Ia bersedia tapi harus ada yang membina ke sini.
Jika ditelisik mengenai proses pembuatan dari tanaman hingga akhirnya menjadi arak salak, ternyata Putu memerlukan tenaga dan usaha yang cukup ekstra. Mulai petik salak, dikupas, dibuang bijinya hasilnya bisa sekitar 100 liter. Ia pakai 50 kg bahan baku, diblender, kemudian direbus baru dimasukan ke proses fermentasi selama satu bulan. Misalnya 1 juli sampai 1 Agustus sudah didapatkan hasilnya, tanpa memilah salak yang bagus atau yang rusak.
Terjun ke industri arak membuat Putu harus menerima beberapa resiko dari regulasi yang ada. Salah satunya Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 tahun 2020 dan produk araknya. “Karena saya bergabung dengan koperasinya sendiri, berarti tinggal produk kita ke koperasi lalu ke pabrik aman,” katanya.
Selain masalah regulasi, banyak tantangan dan hambatan yang sejatinya dialami Putu dalam proses penemuan arak salak ini. Misalnya modal. Satu drim modalnya Rp750 ribu, belum mengakses pinjaman bank. Ia akan meneruskan industrinya ini ke anak-anaknya dan diharapkan semakin berkembang.
Reporter: Galuh, Gangga, Iyan, Tryadhi, Penulis: Gangga, Penyunting: Galuh.
Sudah dimuat sebelumnya di web Persma Akademika dalam rangka Jelajah Jurnalistik