
Dilansir dari alodokter.com, neurodivergen merupakan istilah untuk menyebut individu yang memiliki cara kerja otak yang berbeda dari orang pada umumnya yang dianggap lebih normal. Spektrum neurodiversitas terlihat jelas pada individu dengan autisme, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), atau disleksia. Selama beberapa waktu, neurodivergen sempat dianggap sebagai kelainan. Namun, para ahli menyadari bahwa ini tidak selalu menjadi masalah bagi individu, tetapi hanya perbedaan dalam cara kerja otak manusia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa proses penerimaan dan adaptasi orang tua yang memiliki anak dengan neurodiversitas tidaklah mudah. Ada orang tua yang menerima dengan lapang dada, begitu juga ada yang memerlukan proses panjang hingga mampu menerima kondisi anaknya. Proses penerimaan bukanlah akhir. Di masa depan, orang tua harus berhadapan dengan pendidikan, layanan kesehatan, hingga stigma sosial dari lingkungan sekitar.
Dulu, bila anak ngambek dan ngamuk di tempat umum; rasanya saya ingin sembunyi di bawah meja. Tak kuat saya melihat tatapan mata orang-orang antara, ”bisa nggak sih didik anaknya?” atau “kasihan ya anaknya kayak gitu”. Malu, tentu saja. Namun, bila melihat anak berusaha berkata-kata, bernyanyi dan menari, saya merasa tak pantas memiliki rasa malu. Selalu saya pompa jiwa untuk besar dan berlapang dada. Dia anak saya, lahir dari rahim saya, dari cinta saya dan suami; kenapa saya ingkari kondisi dan kebutuhannya?
Ivy Sudjana, orang tua dengan anak Autism Spectrum Disorder (ASDs) dan Obsessive Compulsive Disorder (OCD), menceritakan perjalanannya dalam mencari dunia yang ramah bagi buah hatinya. Kekhawatirannya dimulai pada saat sang anak menginjak umur 2 tahun, tetapi belum bisa berbicara layaknya anak pada umumnya. Padahal, dulu ketika bayi sempat mengoceh (babbling). Untuk mengetahui lebih lanjut, akhirnya ia memutuskan pergi ke psikiater anak. Ternyata anaknya mendapat diagnosis ASDs, sebuah gangguan spektrum autisme yang dapat berpengaruh secara sosial, komunikasi, dan perilaku.
Kaget sekaligus sedih merupakan respon Ivy sebagai orang tua. Beragam pertanyaan dari orang sekitar muncul, apa karena waktu hamil tidak dijaga? apa karena anaknya tidak divaksin? Penerimaan dari keluarga dekat pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Dari titik itu, Ivy mulai berkonsultasi kepada dokter yang ahli dalam bidangnya. “Hasilnya tetap ASDs bahkan ditambah autis dan hiperaktif,” ujarnya. Setelah melalui diskusi yang panjang dengan suami, akhirnya pertanyaan tentang ASDs terjawab. Terapis mengatakan terdapat berbagai hal mencuat seperti masalah kepatuhan dan pembelajaran akademis lainnya. Akhirnya, beberapa metode terapi diusulkan untuk anaknya.
Ada rasa ketidaktegaan dalam hati seorang ibu membiarkan anaknya memasuki ruangan tertutup tanpa kehadiran orang tuanya. Jeritan dan tangisan anak-anak menjadi alunan sehari-hari dalam pusat terapi kala itu. Namun, demi kebaikan sang anak, para orang tua pun rela menahannya dengan hati yang perih. Tak berhenti disitu, Ivy mulai menjajah dunia maya dan bergabung dalam grup diskusi orang tua yang memiliki kondisi sama dengannya untuk berbagi pengetahuan.
Seiring berjalannya waktu, anaknya perlu untuk sekolah. Untuk menemukan sekolah yang serasi dengan anaknya bukanlah hal yang mudah. Berbagai rintangan rasanya perlu dilewati dahulu bagi orang tua dengan anak neurodiversitas. Bahkan, pulau ke pulau pun rela Ivy jelajahi demi menemukan sekolah yang ramah bagi anaknya, tidak hanya berlabel “inklusi” saja.
Awalnya, ia memutuskan untuk memasukkan anaknya ke Taman Kanak-Kanak (TK) A dengan memilih sekolah berjumlah siswa sedikit. Pertimbangannya pada saat itu adalah anaknya bisa diperhatikan dan dibantu dalam masalah akademisnya. Sayangnya, jumlah siswa sedikit tidak menjamin perhatian yang cukup. Anaknya beberapa kali ditemukan melakukan tindakan di luar sepengetahuan guru seperti menggunting celananya, menelan penghapus, bahkan sempat tidak diikutsertakan acara outing sekolah dengan alasan takut tantrum di tempat umum. Pemberian masukan dan saran kepada pihak sekolah justru menghasilkan balasan yang makin membuat hatinya terluka.
“Sekolah ternyata belum proaktif dalam membantu kebutuhan anak, sehingga kemampuannya tidak lebih baik dari sebelum dia bersekolah,” kata Ivy.
Selain itu, sekolah dengan banyak kegiatan di luar, lingkungan yang sehat, dan para guru yang sekaligus menjadi koleganya, ternyata bukan juga jawaban yang tepat. Kebetulan Ivy dan suaminya merupakan guru di sebuah sekolah dengan metode pendidikan yang berbeda. Selama satu semester semua berjalan dengan baik. Namun, pada suatu waktu pihak sekolah diketahui menggunakan metode pembelajaran yang tidak disukai oleh sang anak, hingga akhirnya ia mogok tidak ingin pergi ke sekolah.
Belum lagi, ia mengeluhkan terkait minimnya informasi untuk kegiatan dan tempat yang cocok serta nyaman bagi anak neurodiversitas mengembangkan diri, termasuk ekosistem inklusifnya. Ia merasa Bali jauh tertinggal oleh kota-kota lain, seperti Jawa dan Kalimantan yang lebih progresif terhadap informasi pusat layanan terapi bagi individu neurodiversitas. “Saya masih coba untuk googling tentang kegiatan untuk individu autistik di Denpasar. Itu yang ada hanya sekolah-sekolah dan itu yang saya tahu semua, setelah itu nggak ada,” jelasnya.
Akses medis pun belum sepenuhnya memadai. Ivy mengatakan antrian pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang begitu banyak membuat para orang tua dengan anak atau individu neurodiversitas tidak bisa berkonsultasi lama-lama. Mereka hanya diberi waktu selama 15 menit di layanan psikiatri dan tidak boleh lebih. Padahal, yang diperlukan oleh anak-anak dan individu neurodiversitas adalah layanan konsultasi yang lebih komprehensif. Ivy berharap, kedepannya akses sharing antar orang tua dengan psikiater dapat lebih leluasa.
Beberapa kejadian tersebut membuat Ivy pada akhirnya melepaskan pekerjaannya demi fokus kepada sang anak. Sebuah keputusan besar yang akhirnya Ivy relakan pada saat itu. Melihat kondisi anaknya yang kadang tantrum, agresif, membuat perasaannya hancur. Kadang kala ia berkeluh kesah kepada suaminya, satu-satunya bahu yang bisa disandari. “Saya sempat menangis sejadi-jadinya ke suami, membicarakan solusi seperti apa yang harus diambil. Suami saya justru lebih memikirkan kondisi psikologis saya,” ujar Ivy.
Waktu, tenaga, dan biaya, semua ia kerahkan. Setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya ia menemukan pendidikan yang sesuai dengan anaknya. Perhimpunan Peduli Autisme Bali (PPAB), di sini siswa dibagi berdasarkan level kemampuannya, sehingga anaknya dapat belajar bersama anak-anak dengan beragam usia. Lambat laun, perkembangan anaknya semakin baik, mulai tumbuh rasa percaya diri, mandiri, berani, dan lain-lain.
“Sayangnya, ketergantungannya pada saya masih tertinggal. Bila di PPAB, ia mau mengerjakan sendiri, setiba di rumah parti ia minta dibuatkan. Tangannya selalu mencari tangan saya minta bantuan,” tutur Ivy. Untuk itu, ia memutuskan jika ingin beraktivitas dengan anaknya yaitu harus yang di luar materi yang diberikan di sekolah. Hingga saat ini, anaknya sudah tumbuh menginjak usia 22 tahun dan jauh lebih stabil kondisinya, bahkan ia termasuk anak yang berbakat. Ia gemar menjahit dan suka membantu ibunya memasak.



![[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2025/01/KOLOM-MATAN-AI-oleh-I-Ngurah-Suryawan-by-Gus-Dark1-120x86.jpg)



