Radio merupakan media komunikasi yang memiliki sejarah panjang.
Bahkan tak jarang keberadaannya turut berperan penting dalam masa-masa paling menentukan pada periode pergerakan baik di Indonesia maupun dunia.
Kendati kini perannya mulai tergusur oleh internet, facebook, twitter, instagram dan perangkat digital lainnya, terutama televisi, radio tetap menjadi, setidaknya, benda klangenan bagi para penggemarnya.
Bekerja sama dengan komunitas pecinta radio antik di Yogyakarta, Bentara Budaya Bali (BBB) menghadirkan pameran Memorabilia Radio Antik “Layang Swara”. Pembukaan akan berlangsung pada Sabtu, 24 Mei 2014 di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No. 88A Ketewel, Gianyar.
Kali ini akan dipamerkan koleksi radio lama dari masa ke masa. Beberapa di antaranya merupakan buatan antara tahun 1930-1970 yang berada di Indonesia. Salah satunya Philips Aida, keluaran sekitar tahun 1946 pasca Perang Dunia II. Radio buatan Eindhoven, Belanda ini dilengkapi dengan skala gelombang radio yang dihiasi nama-nama kota dengan ejaan lama seperti Batavia, Soerabaia, dan Bandoeng.
Selain Philips Aida, ada Philips Kompas yang juga diproduksi paska Perang Dunia II. Jarum gelombangnya unik, mirip dengan jarum kompas. Ada pula Bence, radio yang dipasarkan di Indonesia sekitar tahun 1950-an dan diproduksi di daerah Dinoyo, Surabaya.
Layang Swara, atau Berita Suara, adalah pameran radio kedua setelah pameran serupa digelar 15 tahun silam berjudul “Sekali di Udara Tetep di Udara”. Pameran melibatkan kelompok pecinta radio yang menetap di Yogyakarta, Padmaditya, yang menampung beberapa kolektor radio dari Magelang, Semarang, dan Yogyakarta.
Padmaditya, akronim dari “Pelestari Audio Lama dan radio Tabung Yogyakarta”, berdiri tahun 2011 beranggotakan 11 orang.
“Pameran ini bertujuan untuk melestarikan audio lama tak saja untuk dokumentasi sejarah, namun sekaligus menyajikan kelebihan radio lama yang dapat dilihat dari bentuknya yang unik, artistik, kualitas suara analog yang berbeda dengan audio terkini,“ ungkap Juwitta Katriana Lasut, staff budaya BBB.
Sebelumnya di Bali, pameran radio Layang Swara ini telah digelar pula di Bentara Budaya Yogyakarta (13-22 September 2013), Museum House of Sampoerna (14 Maret – 13 April 2014), serta Bentara Budaya Jakarta (24 April – 3 Mei 2014). Khusus di Bentara Budaya Bali, pameran ini berlangsung 24 Mei hingga 5 Juni 2014 mendatang.
Pada jaman penjajahan Belanda, banyak beredar radio-radio produksi Belanda dan Jerman dengan merk yang terkenal seperti Philips atau Erres, juga Telefunken dan Blaupunk.
Setelah masa revolusi dan kemerdekaan radio tabung tetap diproduksi bahkan menjadi barang mewah pada tahun 1960-an, dan muncul era radio transistor yang lebih ringan, mudah dibawa, portable, dan menghasilkan kualitas suara yang baik pula. Pada tahun 1960-1970an, ketika televisi masih menjadi benda mahal sekaligus bergengsi, penduduk lebih banyak mendengarkan radio.
Acara-acara menarik sangat dekat dengan gendang telinga pendengar seperti sandiwara radio, pangkur jenggleng Basiyo, kritik Pak Besut, atau ketoprak Mataram. Lewat radio transistor seluruh pelosok Nusantara dapat mendengarkan siaran gelombang pendek (short wave) siaran-siaran berbahasa Indonesia dari siaran Radio Nederland Wereldomproep Hilversum, Siaran Jerman Deutschewelle dari Koln (kini di Bonn), BBC London, NHK Jepang, Radio Rusia, ABC Radio Australia, dan masih banyak lagi.
Selain memamerkan radio antik, program ini akan dirangkaian pula dengan talkshow dan workshop tentang radio yang berlangsung keesokan harinya, Minggu (25/5). Workshop radio ini bekerjasama dengan Bali FM, mengulas seputar sejarah serta seluk beluk radio, tak ketinggalan pula ulasan mendalam perihal manajemen radio, peluang maupun tantangan dunia penyiaran era kini. Sebagai narasumber adalah Johannes A. Zacharias, station manager Bali FM.
“Radio sesungguhnya akan selalu ada dan diminati, karena ketika orang sudah mulai jenuh dengan tayangan visual, publik pastilah beralih ke radio. Selain mengulas peluang juga tantangan dunia radio era kini, talkshow menghadirkan pula pemutaran dokumenter perjalanan media komunikasi klasik satu ini,“ tambah Juwitta. [b]