Banyak orang yang masih melabeli Bali dengan sebutan paradise, surga, pulau dewata. Nyatanya, di balik keindahan yang tampak di depan mata, Bali sedang tidak baik-baik saja. Semakin hari pembangunan di Bali seolah tidak terbendung.
Pemerataan pembangunan di Bali juga tampaknya salah diartikan. Wacana pemerintah membangun utara menjadi lebih maju bisa-bisa membuat Bali Utara terjebak seperti Bali Selatan. Bukan hanya pemerataan pembangunan, ide pemerintah yang ingin membangun 10 Bali di Indonesia bisa-bisa juga menjadi jebakan batman.
Kondisi Bali saat ini jauh dari imajinasi orang-orang luar Bali ketika mendengar kata Bali. Topik ini menjadi bahan diskusi dalam “Managing the Island’s Physical [Over] Development” yang diselenggarakan di Danes Art Veranda, Bali pada Kamis, 17 Oktober 2024. Sebagai pemantik diskusi, hadir I Nyoman Gede Mahaputra atau yang kerap disapa Mang De, akademisi Universitas Warmadewa.
Malam itu, belasan arsitek Bali berkumpul dan berdiskusi mengenai problem yang saat ini terjadi di Bali dan pengaruhnya terhadap para arsitek. Diskusi juga dihadiri oleh arsitek Popo Danes yang juga menyediakan ruang berkumpul malam itu. Selain arsitek, hadir pula organisasi dan komunitas yang memiliki kekhawatiran di bidang pembangunan dan lingkungan, salah satunya adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali.
Secara garis besar, terdapat tiga hal yang dipaparkan oleh Mang De sebagai pemantik dalam paparannya yang berjudul “Over Development on the Last Paradise,” yaitu perkembangan pembangunan di Bali dari tahun ke tahun, fenomena investasi saat ini, hegemoni ruang di Bali, hingga kondisi arsitek Bali.
Kapan pembangunan Bali dimulai?
Mang De mengawali paparannya dengan membuka hasil risetnya mengenai pertumbuhan politik dan pariwisata di Bali dari tahun ke tahun. Bali mulai dikembangkan pada zaman Orde Baru, yaitu pemerintahan Soekarno. Pada saat itu, pariwisata dikenalkan bukan untuk menggali uang, tetapi untuk mengenalkan Indonesia sebagai negara yang hebat. Soekarno berharap dibangunnya Bali Beach dapat menjaga budaya Bali.
Kemudian, pada tahun 1968, Soeharto menetapkan Bali sebagai pusat pengembangan kepariwisataan. Mulai dari sini, kepariwisataan di Bali mulai merangkak naik hingga tahun 1978. Pariwisata semakin naik di Bali, terutama dengan dibangunnya Nusa Dua Beach Hotel. Namun, pembangunan pariwisata ini menemukan hambatannya pada tahun 1980-an ketika Amandari Ubud dibangun. “Begitu boom bukan sejahtera, tapi banyak demo… kaget masyarakat begitu melihat investor banyak masuk,” ujar Mang De dalam sesi paparannya.
Penolakan berujung pada tahun 1998 saat tiba-tiba Orde Baru runtuh dan krisis ekonomi terjadi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Bali. Hingga awal tahun 2000-an ketika terjadi bom Bali, masyarakat merasa bahwa mereka membutuhkan pariwisata karena mulai tidak ada uang beredar di masyarakat. Sepanjang tahun 2000-an, tidak ada penolakan dari masyarakat terkait pembangunan pariwisata di Bali karena sektor pariwisata menjadi salah satu sumber mata pencaharian utama masyarakat Bali.
Ruang di Bali tidak dikuasai lokal
Bali memiliki nilai return on investment atau laba yang dihasilkan dari investasi paling tinggi di dunia. “Jadi kalau di Bali itu 12 -15% per tahun. Bandingkan dengan Dubai salah satu tempat yang pembangunannya juga sangat pesat hanya 6-10%,” ungkap Mang De. Lantas apa yang terjadi? Inilah yang disebut sebagai hegemoni ruang.
Hegemoni ruang artinya dominasi kekuasaan atas ruang di Bali oleh satu pihak tertentu karena return on investment sangat tinggi. Warga di luar Bali semakin tertarik untuk datang ke Bali dan menginvestasikan uang mereka untuk membeli ruang di Bali. “Ada banyak instrumen yang dipakai untuk mengontrol ruang yang ada di Bali. melalui perizinan, seperti visa seumur hidup, yang orang asing yang hebat-hebat dikasih visa biar bisa tinggal, second home visa,” ujar Mang De.
Dari hasil pemantauan Mang De, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kenaikan jumlah hotel di Bali, tetapi kenaikan itu tidak terjadi begitu besar dibandingkan dengan kenaikan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali. Fakta di lapangan menunjukkan langkah yang diambil para investor ternyata berinvestasi secara personal, seperti berinvestasi ke villa kecil.
Hegemoni ruang dikuasai oleh orang luar Bali yang menyebabkan masyarakat Bali terpinggirkan di tanahnya sendiri. Bukan hanya masyarakat yang dirugikan, ruang pun ikut dirugikan karena over development saat ini juga disebabkan oleh tidak adanya regulasi yang menindak tegas hegemoni ruang ini.
Apa kabar arsitek Bali?
Menanggapi pemantik diskusi dari Mang De, Popo Danes, salah satu arsitek di Bali menjelaskan peta arsitek di Indonesia ada di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Arsitek yang berasal dari kota besar-besar itu saat ini berkumpul di Bali. “Jadi sekarang Bali itu adalah satu panggung untuk hampir seluruh arsitek,” ungkap Popo dalam sesi diskusi.
Arsitek Bali saat ini seolah terpinggirkan oleh arsitek-arsitek besar. Popo menambahkan bahwa sangat susah mengontrol arsitek saat ini. Terlebih pasar arsitek yang mengunggulkan nama dibanding kualitas. “Sekarang klien kalau ditanya kok milih arsitek ini, dia belum tentu suka karena dia followersnya banyak. Jadi itu salah satu syarat memilih arsitek hari ini,” imbuh Popo.
Masalah ini mungkin terlihat kecil saat ini, tetapi yang menjadi masalah adalah di masa depan, bagaimana arsitek Bali ke depannya bisa berkompetisi dengan arsitek dari luar di tanahnya sendiri.