Penulis: Ni Luh Putu Ayu Bintang dan Ni Luh Putu Puspa Aryanti
Musim hujan menjadi alarm bagi I Komang Alit merawat kebun jeruknya di Desa Mengani, Kecamatan Kintamani, Bangli. Komang Alit salah satu petani jeruk kintamani yang memilih membudidayakan dua jenis jeruk. Sudah 25 tahun sejak lulus SMA sampai sekarang berumur 46 tahun, Komang Alit membudidayakan jeruk siam dan remao gerga rebong (kiprok).
Kini ia memiliki kurang lebih 1 hektare tanah untuk ditanami jeruk. Jeruk siam terus dikembangkan karena memiliki keunggulan rasa manis sehingga mudah dipasarkan. Jeruk ini cocok ditanam di daerah sejuk seperti di Desa Mengani Kintamani.
Sedangkan jeruk kiprok memiliki keunggulan mampu bertahan lebih dari satu bulan pascapanen. “Jeruk kiprok baru-baru ini diperkenalkan di Bali, sehingga belum banyak diketahui petani. Jeruk ini merupakan jenis unggulan baru di Indonesia,” kata Komang yang aktif dalam komunitas Subak Abian Eka Swakarya Dharma.
Perbedaan kedua jeruk ini terletak pada jenis serat buahnya. Menurut Komang, jeruk siam dan remao gerga lebong (kKiprok RGL) bisa dipanen setelah tiga tahun penanaman. Pohon jeruk mampu hidup sampai 25 tahun. Namun, tergantung pada perawatannya juga.
Kulit Kuning
Adapun cara perawatan tanaman jeruk yang dilakukan Komang menggunakan perhitungan musim hujan. Dalam setahun, tanaman jeruk Komang diberi tiga kali pupuk kimia. Dengan pembagian waktu ketika awal hujan, pertengahan hujan dan di akhir hujan. Saat musim panas baru dilakukan penyiraman. Pemangkasan pun rutin dilakukan Komang setiap satu tahun sekali. Katanya agar lebih rimbun.
Sesekali ia melakukan penyemprotan jika kondisi tanaman mulai terlihat tumbuh tidak wajar seperti kena hama. Biasanya penyemprotan ia lakukan tiap 15 hari sekali. Sehingga tanaman jeruk tetap terjaga dari hama dan menghasilkan daun yang rimbun. “Kalau semisal daunnya bagus pemupukan daun bisa dilakukan 1 bulan sekali,” kata Komang.
Kriteria jeruk yang bagus menurut Komang biasanya terlihat dari buahnya yang besar, kulit luarnya mulus dan warna kulitnya kuning kemerahan. Biasanya akan tahan lama dan daya kandung airnya banyak. Ia menjamin, rasanya pasti manis dan enak.
Pohon jeruk yang rimbun sejak kecil menjadi indikasi pohon yang baik. Menurut Komang, penanaman pohon jeruk secara alami menghasilkan buah yang sedikit. Membudidayakan jeruk perlu perawatan dan pengecekan sesering mungkin. Karena ia rentan hama. Sehingga perlu pengawasan dari hama agar menghasilkan buah yang banyak dan bagus.
?
Sedikitnya, ada dua bahan senyawa kimia yang digunakan Komang untuk merawat tanaman jeruknya. Insektisida ia gunakan untuk memberantas hama. Fungisida digunakan agar tanaman jeruknya tak berjamur. Sedangkan untuk penyubur tanaman Komang menggunakan obat organik.
Menurut Komang, tantangan budidaya jeruk adalah mengendalikan hama. Meski sudah disemprot. Hama membuat jeruknya tak matang sempurna dan menyebabkan rasa yang asam. Fatalnya, pohon jeruk yang terserang hama akan menguning dan mati. Sehingga petani terkadang harus menambah dosis obat untuk merawat pohon jeruknya.
Kesulitan Modal
Walaupun hujan bisa menjadi alarm untuk Komang merawat pohon jeruknya, tetapi musim hujan juga menjadi tantangan perawatan tanaman jeruk. “Musim hujan membuat kami tidak bisa menyemprot,” katanya. Budidaya jeruk memerlukan modal dan lahan yang lumayan banyak. Sehingga tak jarang petani kesulitan modal untuk budidaya jeruk.
Hasil panen jeruk Komang dijual ke pengepul. Selanjutnya pengepul yang meneruskan penjualan ke beberapa pasar besar. Seperti Pasar Anyar di Singaraja, Pasar Titih di Denpasar.
Pandemi berdampak besar terhadap pemasaran dan harga jeruk di Bali, Harga jeruk sebelum pandemi sekitar Rp. 12.000. Saat pandemi, harga jeruk merosot hingga dijual dengan harga sekitar Rp. 5.000 saja.
Meski harga jual jeruk merosot, tak menyurutkan Komang untuk membudidayakan jeruk. Menurutnya jeruk menjadi bahan pangan dan banyak diminati diberbagai kalangan. Selain bisa dikonsumsi sendiri, jeruk di Bali menjadi sarana upakara. “Melalui budidaya jeruk, saya bisa memenuhi kebutuhan hidup, harga jeruk Kintamani yang ekonomis mudah untuk dijual di pasaran,” tuturnya. [b]
Keterangan: Ni Luh Putu Ayu Bintang dan Ni Luh Putu Puspa Aryanti adalah peserta Kelas Menulis Jurnalisme Warga (KJW) di Desa Mengani.