Pada Maret tahun ini, sebuah survei yang dilakukan oleh King’s College London pada 30 negara menunjukkan 55% laki-laki tidak setuju terhadap eksistensi kesetaraan gender, sementara 27% menjawab tidak tahu, dan hanya 18% yang setuju terhadap eksistensi kesetaraan gender. Satu dari tiga laki-laki juga percaya bahwa kesetaraan gender mengancam keberadaan maskulinitas yang telah lebih dulu ada.
Pada tahun 2015, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengagetkan banyak khalayak dengan menyebutkan bahwa dirinya adalah laki-laki feminis. Belakangan semakin banyak tokoh publik yang mengklaim diri mereka adalah feminis, bahkan mengambil sikap melawan mereka yang tidak pro feminisme. Hal tersebut merupakan langkah yang cukup baik dalam usaha mengenalkan kesetaraan gender pada masyarakat yang lebih luas. Meskipun, banyak keraguan yang lahir dari klaim-klaim ini.
Misalnya saja, pada Trudeau yang juga sempat terkena kasus pelecehan seksual berupa tindakan meraba seorang reporter perempuan, dan sang pemimpin berusaha mendiamkan kasus ini. Feminisme didasarkan pada dukungan akan kesetaraan gender. Laki-laki dapat mengasosiasikan diri mereka dengan melepaskan diri dari peran gender yang tidak adil dan relevan.
Ada banyak keraguan karena menjadi setara di tengah budaya patriarki tidaklah mudah. Seorang laki-laki lebih diuntungkan dalam budaya patriarki, sehingga melepaskan diri dari priviles adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi banyak laki-laki. Keraguan-keraguan semacam; apakah benar laki-laki tersebut sudah setara sejak dalam pikiran? Termasuk dalam perkara di mana perempuan lebih sering menjadi objek yakni seksual. Apakah laki-laki tersebut tidak hanya sekedar menumpang sebuah trend baru agar dianggap mutakhir atau keren? Apakah laki-laki tersebut sudah merefleksikan tingkah lakunya dalam peran keseharian hingga pilihan politiknya ketika Ia berani menyebut dirinya feminis?
Klaim-klaim feminis dimulai dari area-area paling personal seperti pikiran dan tubuh hingga tempat tidur, bukan hanya klaim-klaim di ruang publik dan diskusi. Bukan lagu lama, ada banyak pelecehan seksual pada kelompok-kelompok yang menyebut diri mereka intelektual atau aktivis, kita tidak asing bukan. Ketika Anda berani berbicara feminism pastikan isi pikiran biologis dan jasmani Anda sejalan dengan klaim Anda, itu hal pertama yang harus Anda pegang. Seorang teman beberapa hari lalu bertanya; bagaimana saya memandang para laki-laki yang duduk di forum dan memimpin diskusi tentang perempuan?
Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang mampu menghasilkan debat panjang, yang terus terang saja melelahkan. Pada dasarnya sebuah diskusi bebas menampilkan siapa saja, itu hak si penyelenggara. Namun, ketika sebuah diskusi berbicara tentang derita perempuan dalam dunia patriarki maka kita sepakat tokoh utama disitu adalah perempuan-perempuan yang menjadi korban tadi. Laki-laki dengan perspektifnya akan memperkaya diskusi, namun jika para lelaki itu saja tidak belajar mengenai apa yang menjadi perjuangan perempuan-perempuan itu, cenderung abai dan tidak sensitif maka sudah bisa kita simpulkan itu bukanlah diskusi yang menarik minat.
Jika seorang laki-laki berada pada sebuah diskusi tentang perempuan, coba refleksikan diri dahulu, “sudah sejauh apa laki-laki itu mau belajar tentang patriarki dan penderitaan perempuan? Atau, jangan-jangan ia dalam segala ketidaktahuannya telah ikut berpartisipasi pada ketidakadilan gender? Ketika kita ingin menampilkan diri, pastikan kita adalah manusia yang memang sudah belajar dan bertindak adil dan setara mulai dari pikiran, tubuh, ranjang, dapur dan pilihan politik kita. Jangan sekali-sekali bicara tentang perempuan dan penderitaannya jika dalam hal personal dan keseharian prilaku kita masih jauh dari asosiasi klaim kita.
Saya tahu, ketika saya menulis ini maka saya akan mendapat klaim perempuan galak, karena begitulah masyarakat menilai seorang perempuan yang menyuarakan kesetaraan. Tetapi, kesetaraan bukan hal mudah dan juga bukan hanya perkara trendy agar dianggap ikut jaman dan berpengatahuan luas. Oh tidak, Anda berpengatahuan atau tidak, bukan klaim Anda yang menentukan tetapi aksi dan prilaku Anda.
Jangan sekali-sekali Anda menyebut diri Anda pria pejuang kesetaraan gender jika Anda dengan segala keberadaan Anda masih memanfaatkan perempuan. Masih mengirim pesan nakal, masih melakukan gashlighting, atau, bahkan sebagai laki-laki Anda tidak bertanya tentang keseharian dan hal personal istri/anak perempuan/ Ibu Anda. Perjuangan Anda di publik harus dimulai dari dalam diri Anda.
Lalu, akan muncul pertanyaan? Tidak bisakah seorang pria menjadi feminis? Ini akan menjadi diskusi yang panjang. Namun, sederhananya, segala perjuangan kita adalah memanusiakan manusia seadil-adilnya, termasuk perempuan dan siapa saja berperan dalam perjuangan ini, sudah seharusnya sejujur-jujurnya.