Berkunjung ke Pulau Serangan selalu membuat saya kembali ke teman lama.
Mungkin karena ada peristiwa yang tak mungkin saya lupa seumur hidup. Begitu juga Serangan, pulau kecil terpisah dari Denpasar. Peristiwa lama itu terjadi pada 18 April 2001, sehari menjelang saya ulang tahun.
Ketika itu saya dan teman-teman di Pers Mahasiswa Akademika Universitas Udayana Bali akan melakukan diskusi tentang masalah Serangan. Diskusi itu untuk melengkapi liputan kami tentang Serangan yang pada saat itu sedang bermasalah.
Serangan awalnya adalah pulau kecil seluas 112 hektar. Atas nama pariwisata, sesuatu yang di Bali seolah-olah segalanya, pulau kecil di bagian selatan Denpasar ini kemudian diurug. Bahasa kerennya direklamasi. Luasnya jadi sekitar 481 hektar, ada juga yang menyebut 491 hektar. Intinya luas Serangan jadi hampir empat kali lipat dari luas awal. Rencananya, pembangunan oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID) itu untuk menjadikan Serangan sebagai sebuah kawasan pariwisata lengkap dengan fasilitas hotel, pelabuhan kecil, dan semacamnya.
Sejak awal, sekitar tahun 1994, pembangunan Serangan itu sendiri sudah melahirkan banyak masalah. PT BTID, di mana dua putra tiran waktu itu Tommy Soeharto dan Bambang Trihatmojo konon ada di dalamnya, memaksa warga setempat untuk menjual tanahnya. Tentara ikut menodongkan senjata pada warga setempat untuk menjualnya. Beberapa warga mengatakan adanya pemaksaan itu dalam beberapa kali wawancara yang saya lakukan.
Namun ambisi besar PT BTID itu terhenti gara-gara krisis ekonomi di kawasan Asia pada 1996-1997. Meski demikian, proyek besar itu meninggalkan masalah buat warga Serangan. Reklamasi di Serangan dilakukan dengan cara mengeruk pasir di sekitar pulau. Dalamnya sampai 20 meter. Jelas ini merusak ekologi setempat. Terumbu karang hilang. Ikan hias yang biasa hidup di sana juga hilang. Pasir hilang menyebabkan hilangnya penyu, sesuatu yang sangat identik dengan Serangan, juga hilang. Ratusan nelayan juga kehilangan pekerjaan.
Direklamasinya Serangan juga membuat berubahnya arus air di sekitar berubah. Sebelumnya arus bisa berjalan lancar memutar pulau kecil ini. Namun, akibat ditutupnya pintu arus berputar, arus air itu pun beralih ke sekitarnya. Made Mangku, yang intens meneliti masalah pantai di Sanur dan sekitarnya, menyatakan ini membuat pantai Mertasari, Sanur, dan Padanggalak lebih cepat terkena abrasi. Buktinya memang bisa dilihat di pantai-pantai itu. Kondisinya lumayan rusak.
Meski demikian, pembangunan Serangan juga membawa hasil bagus. Adanya jembatan dan jalan raya yang menghubungkan Serangan dan Bali daratan, terutama Denpasar bagian selatan, membuat warga Serangan lebih mudah berhubungan dengan “dunia luar”. Pekerjaan jadi lebih beragam, tidak melulu nelayan. Sekolah lebih banyak pilihan. Dan, paling penting, “Kami lebih PD (percaya diri) sebagai manusia,” kata Polos, warga Serangan.
Nah, diskusi yang kami lakukan pada 2001 itu dilakukan untuk ngobrol tentang masa depan Serangan. Cailah! Ya, dengan terhentinya proyek waktu, hingga sekarang juga masih berhenti, dan sejumlah masalah tersebut, kami tertarik untuk membuat tulisan tentang itu. Diskusi di wantilan Pura Sakenan Serangan itu mengundang warga setempat, dosen, dan tentara. Eh, pas diskusi baru dimulai, datang dua mobil penuh berisi preman. Tanpa ba bi bu mereka langsung memukuli Wayan Patut, narasumber dari masyarakat Serangan yang selama ini getol menolak reklamasi. Diskusi pun bubar. Anehnya, tentara yang kami undang hanya diam melihat pemukulan itu.
Gara-gara peristiwa itu, selama berminggu-minggu, saya seperti dihantui para preman berambut gondrong, bertato, dan berbadan kekar itu. Selama itu pula saya ngungsi di rumah seorang teman.
Maka, Kamis pekan lalu, ketika saya ke Serangan, saya merasa seperti kembali berkunjung ke teman lama. Ini perasaan yang selalu muncul tiap kali saya ke sana.
Kamis pekan lalu, saya bertemu Made Polos dan Made Pasta, anggota dan ketua kelompok nelayan Sari Segara. Proyek mereka untuk merehabilitasi terumbu karang di pantai timur Serangan makin berhasil. Dari semula hanya 500 bibit terumbu karang sekarang sudah jadi 15.000 bibit di areal seluas 3 hektar.
Usai ngobrol dengan mereka, saya sebenarnya ingin menikmati makanan khas Serangan. “Warung paling enak ada di dalam pasar. Cari saja warung Amla,” kata Pasta.
“Jual masakan ikan laut?”
“Kayaknya tidak. Hanya nasi campur.”
Karena saya ingin makan ikan laut, saya tidak ke warung itu. Lebih baik pilih yang lain. Saya lihat sejak tadi ada ibu-ibu sedang masak ikan laut di depan wantilan banjar tempat kami ngobrol. Ikan tongkol itu dipindang. Karena masih sedang mendidih, ya tidak mungkin dong saya makan langsung ketika masih dimasak. Maka, saya cari ke tempat lain lagi.
Berjalan pulang, saya melewati jalan beraspal di sisi utara pulau ini. Dia persis menyusuri pantai di utara pulau. Di sepanjang pantai banyak perahu kecil (jukung) sedang ditambatkan. Air sedang pasang. Ada jembatan kecil mengapung membelah air. Sepertinya menarik untuk jadi tempat motret. Saya pun berhenti. Turun. Lalu jepret-jepret. Jukung yang ditambatkan petang itu terlalu sayang untuk dilewatkan.
Petang itu seperti waktu bersantai bagi warga. Beberapa kelompok bapak sedang asik main catur atau main kartu. Sayangnya mereka tidak peduli sama sekali ketika saya ajak senyum. Ah, sudahlah. Toh, saya melihat seorang ibu sedang mengipas-ngipas ikan bakar. Artinya, apa yang saya cari akhirnya ketemu juga, ikan bakaaar..
Ikan tongkol itu dibakar dengan sabut kelapa. Jadi asapnya banyak banget. Meski begitu, ikannya tidak terasa gosong atau sangit. Dengan daging yang masih hangat, ikan itu saya santap di sana. Hanya duduk lesehan di tanah. Sayangnya ikan itu tidak senikmat yang saya kira. Rasanya kurang gurih. Daginya juga agak gelap. Paling tidak enak sih karena tidak ada bumbu apa-apa. Kalau ada sambel kecap, misalnya, hmmm pasti bisa saya habiskan tiga ikan sekaligus.
Usai menyantap ikan, yang tak senikmat bayangan saya, saya beranjak pulang. Namun anak-anak yang sedang main bola di lapangan Serangan membuat saya meminggirkan motor lalu berhenti. Sepertinya asik kalau sekadar ngobrol atau jepret-jepret mereka. Sayangnya sih cuaca petang itu kurang bagus. Agak mendung. Kalau terang mungkin asik untuk cari foto siluet.
Tidak lama juga untuk memotret mereka. Gara-garanya ya mendung itu tadi. Selain itu, petang yang makin gelap juga jadi alasan untuk tidak berlama-lama. Maka, usai jepret-jepret sebentar, saya pun melaju. Pulang ke Denpasar. [b]