Oleh Luh De Suriyani
Chris Doran, dosen geografi University of Newcastle, Australia, menikmati sarapan terakhirnya di Gedong Gandhi Ashram Canti Dasa di Candi Dasa, Karangasem, Bali pada hari pertama tahun 2008. Mengenakan celana pendek, ia baru saja bangun dari tidurnya yang pulas di salah satu cottage di Ashram itu.
Bunyi kentongan mengharuskannya segera bergabung dengan 13 warga Ashram lainnya untuk sarapan pagi. Setelah semua penghuni Ashram hari itu berkumpul, meal blessing mengawali sarapan. Semua orang menangkupkan tangan di depan hidung.
Om Sahanavavatu/Saha Nau Bhunaktu/Saha Viryam Karavavahai/Tejasvi Navadhitam Astu/Ma Vidvishavahai/Om Santih Santih Santih om.
(May He protect us all, may He nourish us all, may we all do noble deeds, may we receive illustrious education, may we never know hate. Om peace peace peace)
Sarapan terakhir bersama warga Ashram membuat Chris bersemangat makan. Ia bahkan meminta tambahan sepiring nasi, padahal biasanya ia hanya makan semangkuk bubur ketela manis dengan gula merah dan kelapa parut di atasnya. Sementara 13 warga Ashram makan semangkuk nasi, sayur dicampur mie, dan sepotong tempe goreng. Nasi itu disajikan di atas mangkuk dari tempurung kelapa. Terlihat eksotis. Tidak ada daging di menu karena warga Ashram menerapkan pola vegetarian.
“Ini tempat yang sangat tenang, saya sangat menikmati pergantian tahun disini,” ujar Chris yang akan kembali ke Australia hari itu. Di Ashram, ia merasakan Bali berbeda dari yang biasa dipromosikan di televisi atau media di negaranya.
“Yang dimaksud rumah kedua untuk warga Australia adalah Kuta, bukan Bali,” sergah Chris menangkis ikon Bali yang dipromosikan selama ini telah menyembunyikan wisata spiritual yang cukup banyak ada di Bali.
Ia mencontohkan Ashram Gandhi di kawasan wisata Candi Dasa, Karangasem ini yang memberikannya spirit dan ketenangan setelah mengikuti konferensi United Nation Conference on Climate Change (UNFCCC) selama dua pekan di Nusa Dua. “Selama dua hari ini saya lebih banyak tidur. Saya capek sekali,” ujarnya.
Suasana damai dan natural di Ashram memang memotivasi orang untuk tidur. Lahan seluas 65 are itu sangat rindang, ditumbuhi banyak pohon kelapa dan tanaman yang dirawat dengan baik.
Deburan ombak dari laut yang berada persis di belakang Ashram makin menambah suasana spiritual yang dirayakan setiap hari. Chris dan tamu Ashram lain disediakan sejumlah cottages dan kamar sederhana untuk menginap.
Ada delapan kamar untuk tamu dan sukarelawan Ashram. Tak seperti kamar hotel pada umumnya, kamar tidurnya sangat sederhana. Hanya ada dipan yang menempel di lantai dan satu lemari baju. Kasur dari bahan kapas kasar terasa agak keras. Inilah bagian dari kesederhanaan dan spiritualitas yang ditawarkan tempat ini.
Tidak ada satu pun barang elektronik walau aliran listrik tersedia. Semua warga Ashram tidak diperkenankan membawa televisi, radio, atau alat komunikasi di kamarnya. Alat elektronik hanya ada di kantor dan tempat pertemuan. Tamu ashram juga dilarang untuk merokok, minum alkohol, dan berhubungan seks di sini.
Almarhumah Gedong Bagoes Oka, perempuan Bali yang mendirikan Ashram Gandhi ini pada 1976 memang memberikan ruang bagi siapa pun untuk merasakan prinsip-prinsip Gandhi yang diterapkan dalam kegiatan sehari-hari.
Karena itu selama 32 tahun ini, Ashram telah dikunjungi turis atau pengunjung yang tertarik terlibat dalam komunitas yang menjalankan prinsip toleransi beragama, vegetarian, anti kekerasan, dan swadeshi. Swadeshi adalah mengupayakan hidup dengan kemampuan sendiri (self sufficiency).
Warga Ashram yang sebagian besar Hindu terbiasa hidup bersama dengan umat Kristen, Islam, Budha, dan kepercayaan lainnya, pun yang dianggap sesat oleh Pemerintah Indonesia. Beberapa orang sukarelawan non Hindu pernah mengajar Bahasa Inggris dan keterampilan lain untuk warga Ashram.
Bagi pengunjung biasa yang ingin menginap, akan ditawari sebuah cottage seharga USD 20 atau sekitar Rp 180 ribu per hari. Sedangkan sukarelawan biasanya tinggal di kamar khusus seharga Rp 100 ribu atau kurang dari USD 10 hari. Harga ini sudah termasuk tiga kali makan setiap hari.
“Tarif ini untuk memudahkan warga Ashram memberikan informasi kepada pengunjung. Donasi itu untuk menjalankan operasional Ashram dan dana pendidikan,” kata Nyoman Sadra, Koordinator Ashram Gandhi Canti Dasa ini. Ashram memang harus membiayai seluruh kebutuhannya sendiri termasuk menyekolahkan semua warganya. Tujuh di antara tiga belas warga Ashram masih sekolah di SMP dan SMA. Kebanyakan dari mereka sebelumnya tidak sekolah karena orang tuanya miskin.
Suasana spiritual tidak hanya terbangun dari puja bersama yang dilaksanakan tiga kali sehari. Ada puja pagi menyambut pagi datang, tengah hari, dan puja sore melepas terbenamnya matahari. Selain mengikuti puja, tamu dipersilakan mengikuti semua kegiatan harian bersama warga Ashram.
Tindakan gotong royong dan kedermawanan sangat nyata jika kita terlibat dalam kegiatan harian mereka. Inilah yang tak boleh dilewatkan jika berkunjung ke Ashram Gandhi. Pagi hari, semua warga bergerak membersihkan Ashram. Lalu ada yang memasak, mencuci, merawat ternak sapi, atau berkebun. Jika saatnya makan, tidak ada yang akan mencoba mendahului temannya untuk makan. Satu sama lain menunggu untuk menyendokkan nasi bersama ke mulut.
Jika ingin menikmati tantangan lain, Ashram Gandhi bekerja sama dengan Desa Adat Tenganan, salah desa tradisional menawarkan wisata ekowisata. Tenganan yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Ashram mengajak Anda untuk menikmati wisata ekologi dan budaya. Misalnya mengelilingi hutan yang dijaga ketat keasliannya oleh masyarakat adat, lalu treking menyusuri sawah, serta pengalaman mempelajari budaya sambil menjelajah alam lainnya.
Kalau pun ingin berdiam diri di kamar, sudah cukup mendamaikan. Seperti yang dirasakan Chris Doran. Menikmati setiap menit yang berjalan begitu lambat. Memuaskan mata dengan kesederhanaan hidup, yang cukup bernilai hanya dengan saling gotong royong dan cinta kasih. [b]
Om Swastiastu,
Nyelang raos nggih.
Saya pernah main ke Tenganan dulu waktu SD, tapi belum sempat ke Gandhi Ashram.
Ingin suatu saat nanti main kesana.
Semoga…
Suksema.