Kepala desa seluruh Bali menolak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Demikian berita media lokal di Bali akhir Juni lalu. Padahal, JKN merupakan tawaran pemerintah untuk menjamin kesehatan semua warganya. Penolakan itu menjadi tantangan tersendiri bagi JKN.
Pada Januari 2017 semua kabupaten/kota harus menggabungkan jaminan kesehatan daerah kedalam BPJS kesehatan.
Berdasarkan informasi pada suatu diskusi dengan BPJS Watch, saat ini jumlah Kabupaten atau kota yang sudah mengabungkan jaminan kesehatan daerahnya dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) sudah ada 331 Kabupaten atau kota. Ada 200-an kabupaten atau kota yang belum mengintegrasikan jaminan kesehatannya, termasuk Bali.
Jaminan kesehatan terintegrasi tersebut hanya penyelenggaraan jaminan kesehatannya yang berubah. Namun, jaminan kesehatan tetap dibayarkan oleh daerah. Karena penyelenggara jaminan kesehatan berubah, memang otomatis Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang dilebur harus mengikuti pelayanan sesuai ketentuan pelayanan JKN.
Seharusnya ini menjadi keuntungan untuk daerah. Sebab, daerah bisa menghemat anggaran belanja karyawannya serta akan benar-benar tepat sasaran, hanya membiayai masyarakat Bali yang tidak mampu dan belum terjamin Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Tetapi penggabungan itu bukan suatu keuntungan bagi masyarakat pengguna JKBM. Masyarakat Bali yang telah terbiasa menggunakan JKBM secara gratis, dan dirasakan tidak berbelit-belit harus mengikuti alur rujukan berjenjang.
Mengenai alur rujukan, sebenarnya upaya membuat rumah sakit umum daerah dan rumah sakit umum pusat agar tidak menjadi Puskesmas raksasa bukan sesuatu yang baru lagi. Dalam layanan JKBM juga ada prinsip layanan fasilitas perawatan tingkat pertama baik rawat jalan, rawat inap, darurat dan perawatan persalinan baik di Polindes, Puskesmas atau bidan.
Selain itu juga ada fasilitas perawatan tingkat lanjutan baik rawat jalan, rawat inap maupun darurat hanya di rumah sakit umum pemerintah saja. Sistem rujukannya tentu sama saja, diperlukan surat rujukan dari faslitas perawatan tingkat pertama. Hanya saja, dalam JKBM memang tidak diberi ketentuan penyakit yang cukup hanya diobati di fasilitas perawatan tingkat pertama.
Merupakan hal biasa jika masyarakat belum memahami bagaimana prinsip layanan yang masih terbilang baru dan kualitasnya masih terus dibenahi. Satu hal yang pasti JKN bertujuan untuk memberikan kesempatan layanan kesehatan yang sama di seluruh Indonesia. Melalui prinsip portabilitasnya, JKN juga tidak hanya bisa dimanfaatkan di Bali tetapi di seluruh Indonesia.
Kemudian yang perlu diketahui masyarakat juga mengenai prinsip keberlanjutan JKN. JKN memang tidak gratis, kalau boleh sinis memang melalui JKN kesehatan masyarakat diserahkan pada masing-masing individu. Melalui prinsip sustainibilitas diperlukan adanya kepastian pembiayaan kesehatan melalui prinsip gotong royong JKN.
Oleh karena itu dibuat premi-premi yang disesuaikan dengan tingkat ekonomi masyarakat. Bagi yang tidak mampu membayar itu kemudian didata dan dibayarkan oleh pemerintah daerah atau pusat.
Dari sisi layanan dalam JKBM, obat memang tidak menjadi satu dalam paket layanan dan dibayarkan sesuai layanan yang diberikan. Sekalipun semuanya diberikan gratis, ada layanan yang tidak tertanggung dalam JKBM. Beberapa layanan tersebut antara lain operasi jantung, obat ARV (anti retroviral) dan kemoterapi.
Kemudian dalam JKBM juga ada pembatasan pembiayaan, misalnya hemodialisa dibatasi hanya enam kali untuk kasus baru. Sedangkan dalam JKN hal-hal yang tidak dilayani hanya yang berkaitan dengan pelayanan estetik, mengatasi infertilitas, meratakan gigi (ordonasi), gangguan kesehatan akibat ketergantungan obat terlarang atau alkohol, pengobatan tradisional dan beberapa cedera akibat olahraga hobi atau sudah dijamin oleh jenis jaminan lain.
Pembiayaan memang menjadi bahan diskusi utama dalam JKN, karena Indonesia buka negara maju yang sanggup membiayai seluruh upaya kesehatan warganya. Anggaran kesehatan Indonesia termasuk kecil, meskipun pada tahun 2016 ini lebih tinggi dari sebelumnya. Jumlah anggaran kesehatan meningkat menjadi 5,05 persen dari APBN atau bernilai Rp 109 triliun pada tahun 2016. Jumlah ini sudah menyesuaikan dengan amanat UU Kesehatan tahun 2009. Oleh karena itu, upaya ini tidak bisa menggantungkan seluruh pembiayaan pada negara.
Perihal pembiayaan ini juga menjadi catatan yang disoroti penyedia layanan kesehatan. Penggunaan tarif per paket perawatan yang disebut INA CBG’s dianggap kurang layak untuk tarif jasa pelayanan fee for service yang sudah lama diterapkan di Indonesia.
Pembiayaan kesehatan menurut Hasbullah Thabrani ada beberapa yaitu, pertama fee for service seperti yang saat ini masih banyak dipraktikkan di Indonesia, membayar berdasarkan layanan yang digunakan. Kelemahannya bahwa sistem ini dinilai tidak sadar biaya dan pada jangka panjang dapat meningkatkan inflasi biaya sangat tinggi.
Berikutnya ada paket berdasarkan kegiatan atau satuan lain. Umumnya pelayanan ini menggunakan tarif retrospektif yaitu menentukan biaya setelah selesai semua pelayanan, tetapi karena persaingan penyedia layanan maka dibuatlah tarif prospesktif yaitu dengan menentukan paket pembiayaan di depan. Cara ini yang diadopsi untuk pembiayaan kesehatan peserta JKN, tetapi layanan penyedia kesehatan belum siap dengan perubahan ini.
Sosialisasi JKN
Sosialisasi JKN juga menjadi sorotan penting. Kantor penyelenggara JKN hanya ada di kota atau Kabupaten. Di beberapa wilayah Geografis di Indonesia sangat memungkinkan peserta atau calon peserta kesulitan mengakses informasi langsung terkait JKN. Sosialisasi ini memang proses yang tidak akan pernah selesai. Jika ada yang bilang, “Sampai mati pun akan tetap perlu Sosialisasi,” ya memang benar.
Ini terjadi karena kebijakan dalam layanan JKN dan informasi di masyarakat bersifat dinamis. Informasi JKN saat ini memang sebagian besar bisa diakses secara online, bahkan pendaftaran bagi keluarga yang sama sekali belum terdaftar JKN bisa dilaksanakan secara online. Cara ini tentu memudahkan bagi peserta yang melek media, tapi menjadi hambatan bagi yang tidak biasa mengakses media online.
Terkait sosialisasi, peserta Jamkesmas dan Jamkesda perlu mendapat perhatian khusus. Peserta Jamkesmas atau Jamkesda ini akan didata oleh perangkat desa kemudian diajukan kepada Dinas Sosial. Melalui proses tersebut Dinas Sosial mengajukan kepada daerah atau pemerintah pusat yang kemudian diajukan kepada penyelenggara jaminan kesehatan. Peserta yang terdaftar akan mendapatkan hak sebagai peserta kelas III.
Dalam hal ini ada proses tidak langsung antara penerima hak JKN dengan penyelenggara. Sehingga sangat memungkinkan informasi yang tidak sampai sepenuhnya kepada peserta. Ini berpengaruh ketika peserta akan menggunakan haknya, karena tidak paham akan mengangap proses berbelit-belit.
Tidak jauh berbeda ketika status kepesertaan didaftarkan oleh perusahaan. Beberapa kejadian di Puskesmas Denpasar mereka memilih membayar layanan di Puskesmas daripada harus ribet dengan fasilitas rujukan pertama pilihan perusahaan.
Pasien yang tidak terdaftar dalam fasilitas rujukan pertama tersebut harus membayar, karena uang kapitasi yang dibayarkan tiap bulan melalui premi jatuh pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dipilihkan perusahaan.
Ada perusahaan yang memilihkan fasilitas kesehatan pertama nya di satu layanan, tetapi ada juga yang membebaskan karyawan memilih. Fasilitas kesehatan yang dipilihkan tersebut belum tentu memuaskan peserta. Akhirnya kartu JKN menjadi mubazir karena jarang digunakan.
Banyak yang memberi masukan untuk membuat jarak antara BPJS Kesehatan dengan peserta semakin dekat, misalnya membuat perpanjangan tangan BPJS Kesehatan di tingkat desa.
Edukasi
Banyak orang yang merasakan manfaat menggunakan JKN, terutama penderita penyakit kronis yang membutuhkan biaya banyak untuk perawatannya. Meskipun kita tidak bisa menutup mata, bahwa masih banyak kekurangan JKN.
Banyak orang yang merasakan manfaat menggunakan JKN, terutama penderita penyakit kronis yang membutuhkan biaya banyak untuk perawatannya. Meskipun kita tidak bisa menutup mata, bahwa masih banyak kekurangan JKN.
Penyedia layanan yang belum siap mengubah sistem pembiayaan layanan kesehatannya akan keteteran dan merasa dirugikan dengan system paket pembiayaan JKN. Sementara itu, peserta menjadi obyek yang dikorbankan ketika mengakses layanan sementara sistem belum benar-benar siap.
Upaya edukasi menjadi penting, karena bagaimanapun sistem JKN sudah berjalan. Upaya ini bertujuan agar peserta bisa memanfaatkan JKN sesuai hak serta melaksanakan kewajiban sesuai harapan penyelenggara JKN. Dalam pemanfaatan hak, pemilihan fasilitas kesehatan menjadi penting. Para peserta yang sadar hak kepesertaanya ini diharapkan akan mendorong penyedia layanan kesehatan lebih meningkatakan layanan untuk peserta JKN.
Kembali lagi soal kepala desa yang menolak JKN, ini hanya karena kurangnya pemahaman terkait JKN saja pemerintah daerah hendaknya memberikan pemahaman terkait hal ini. Pemerintah daerah perlu membuat ruang untuk diskusi dengan para kepala desa ini terkait tujuan jaminan kesehatan tersebut.
Ke depan ketika semua warga Indonesia telah mendapatkan jaminan kesehatan yang setara berharap jaminan kesehatan ini bukan lagi hal yang bisa dijual saat kampanye-kampanye pemilihan kepala daerah. [b]
Comments 1