Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak para pemimpin G20 untuk melanjutkan komitmen politik terhadap penguatan arsitektur kesehatan global pada presidensi G20 berikutnya. Demikian rekomendasinya pada 14 November 2022 jelang KTT G20. Hal penting dalam agenda G20 untuk dipastikan keberlanjutannya adalah tentang penyelesaian ketimpangan kapasitas pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon pandemi akibat COVID-19 serta penguatan ketahanan kesehatan secara menyeluruh.
Forum G20 memiliki momentum dan kekuatan strategis untuk menghimpun serta memobilisasi komitmen politik dan sumber daya global. Presidensi G20 Italia, melalui pembentukan High Level Independent Panel on Financing the Global Commons for the Pandemic Preparedness and Response, telah meninjau situasi dan kebutuhan pembiayaan pandemi global. Dilanjutkannya inisiatif tersebut melalui peluncuran Pandemic Fund oleh Presidensi G20 Indonesia merupakan awal yang menjanjikan keberhasilan dunia menuju kesiapsiagaan pandemi, berawal dari tata kelola pembiayaan kesehatan global.
“Meski dunia sedang ditimpa krisis multidimensional akibat COVID-19, konflik geopolitik karena perang Rusia-Ukraina, hingga krisis energi dan pangan di berbagai negara, kami mengapresiasi bahwa para pemimpin G20 masih dapat mencapai konsensus untuk membentuk Pandemic Fund. Inisiatif ini merupakan upaya strategis menutup ketimpangan pembiayaan pendanaan global untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon pandemi sebesar US$10,5M atau setara Rp10,6T setiap tahun dalam lima tahun ke depan. Melalui Presidensi G20, Indonesia saat ini memiliki kapasitas menyuarakan kepentingan negara berpenghasilan rendah dan rendah-menengah untuk mendapatkan manfaat lebih melalui dana perantara ini, terlebih dengan terpilihnya Chatib Basri selaku Co-Chair Dewan Pengurus Pandemic Fund,” ungkap Diah S Saminarsih, Founder & CEO CISDI.
Pandemic Fund mengkombinasikan pembiayaan publik dan swasta melalui alokasi anggaran negara anggota hingga lembaga filantropi. Dana dikelola melalui struktur governing board yang terdiri atas co-investors (negara yang masuk dalam struktur, namun tidak berkontribusi finansial), contributors/investors (negara yang berkontribusi finansial), perwakilan filantropi, dan organisasi masyarakat sipil yang miliki hak memberi suara dalam pengambilan keputusan.
Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilanjutkan, disempurnakan, dan diselesaikan oleh G20, kerangka multilateral, maupun inisiatif global lainnya untuk mendesain ulang arsitektur kesehatan global yang mampu menjamin ketahanan kesehatan bagi semua. CISDI miliki catatan dan rekomendasi terkait beberapa hal tersebut:
Pertama, peran publik dan masyarakat sipil dibutuhkan untuk memastikan pengawasan terhadap penggunaan sumber daya tambahan ini dapat berjalan baik dan transparan. Pendanaan Pandemic Fund hingga saat ini masih bergantung kontributor tradisional. Ini mengakibatkan dana yang baru terkumpul hanya sebesar USD 1,4 Miliar atau 10% dari keseluruhan target yang dicanangkan terkumpul dalam Pandemic Fund, sesuai perhitungan World Bank dan WHO. Selain itu, tidak semua kontributor menandatangani kerja sama jangka panjang, baik dalam siklus kontribusi tiga maupun lima tahunan sehingga keberlanjutan pendanaan ini dipertanyakan. Indonesia sendiri menyumbang setidaknya Rp 740 Miliar atau USD 50 Juta dalam Pandemic Fund melalui sumber pembiayaan APBN. Memberikan komitmen finansial tambahan untuk global health bukanlah sebuah langkah yang biasa diambil oleh Indonesia. Masuknya representasi masyarakat sipil dalam struktur tata kelola Pandemic Fund sebagai voting member merupakan langkah awal yang baik untuk memastikan pelibatan bermakna masyarakat sipil sebagai bagian integral dari pengambilan keputusan secara konsisten dan berkelanjutan.
Kedua, fokuskan pembiayaan kesehatan pada pembangunan dan peningkatan kapasitas serta resiliensi sistem kesehatan. Meskipun jumlah dana di tahap pertama belum mencapai target yang diharapkan, rencana tata kelola dan operasional dari Pandemic Fund tetap harus disiapkan. Belajar dari pandemi, transformasi layanan kesehatan primer–yang belum secara spesifik disebutkan–serta masukan dari berbagai komunitas sesuai kebutuhan, harus menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan prioritas ranah pembiayaan yang akan ditetapkan.
Secara khusus tentang transformasi layanan kesehatan primer, timpangnya kapasitas layanan kesehatan primer merupakan catatan utama WHO, World Bank, dan GAVI sebagai salah satu penyebab tidak tercapainya cakupan vaksinasi di negara-negara berpenghasilan rendah dan rendah-menengah terhadap negara berpenghasilan tinggi. Penetapan prioritas pandemic fund membutuhkan konsultasi dan partisipasi penerima manfaat untuk dapat merepresentasikan kebutuhan mereka dan tidak berisiko mengulang kembali ketidakadilan struktural pembiayaan kesehatan global.
Ketiga, menggunakan kepemimpinan G20 sebagai enabler untuk mengatasi beban penyakit yang ada (existing disease burden) dan permasalahan akses terhadap obat, vaksin, dan alat kesehatan terkait pandemi sebagai barang publik di tingkat global. Adanya Joint Financial and Health Minister Meeting (JFHMM) serta kesepakatan yang dicapai di bawahnya, sejatinya adalah landasan yang dibutuhkan untuk mencapai kesiapsiagaan pandemi. “Kesiapsiagaan pandemi berhulu pada kesepahaman dan keterhubungan antara sektor kesehatan dengan keuangan. Adanya kelompok kerja keuangan dan kesehatan serta JFHMM di bawah inisiatif G20 seharusnya menjadi pembuka komunikasi kebijakan terjalin baik antara kedua sektor penting ini agar dunia siap menghadapi pandemi berikutnya,” ujar Diah.
Memastikan terkumpulnya komitmen finansial serta utilisasinya yang akuntabel dan transparan adalah tantangan berikut yang akan dihadapi oleh Pandemic Fund. Di tingkat nasional juga diperlukan sebuah mekanisme koordinasi yang kuat seperti Country Coordinating Mechanism (CCM) Global Fund untuk memastikan harmonisasi dan koordinasi prioritas nasional dan global.
Sebagai penutup, Diah menambahkan, “Selain kesuksesan pengumpulan dana global untuk AIDS, TBC, HIV dan Malaria yang dikelola puluhan tahun oleh Global Fund; sulit untuk bisa merujuk pada sebuah mekanisme pendanaan lain yang berasal dari tingkat global yang bisa terlaksana dan digunakan oleh negara hingga mencapai komunitas. Karenanya, dibutuhkan landasan prinsip nilai yang disepakati bersama dengan semangat inklusi dan kesetaraan agar pendanaan bisa bermanfaat dan mencapai negara-negara hingga komunitas-komunitas yang membutuhkannya.”