Sejak 2000-an I Gusti Agung Putradhyana mulai memanen cahaya matahari.
Gung Kayon, panggilan akrabnya, memasang panel tenaga surya di atas atap mobil tua VW Combi. Dengan cara itu dia bisa membuat videosekaligus berusaha mandiri dengan pasokan energi terbarukan.
Pria 46 tahun ini tak bosan mengajak rekannya mencoba. Caranya bukan dengan penyuluhan, tapi setia memakai sepeda bermesin, hybrid, kombinasi listrik dan tenaga surya.
Dia menghasilkan energi listrik dari tenaga surya di rumahnya, mengenakan tas dengan panel surya, dan terakhir membuat topi a la powerbank. Capil atau topi dari anyaman jerami ini dipasang panel-panel surya kecil. Menjadi colokan listrik untuk charge handphone atau menghidupkan lampu LED.
Energi surya bukan hal baru. Negara-negara maju makin mengintensifkan penggunaannya untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil yang cenderung menambah emisi karbon. Selain juga karena tak bisa terbarukan seperti batu bara dan minyak bumi, dua bahan baku yang masih menjadi sumber pembangkit listrik di Indonesia.
Namun peningkatan kesadaran untuk mulai mengaplikasikan energi terbarukan berjalan sangat lambat. Agung Kayon, panggilan Agung Putradhyana terus menunjukkan aplikasi-aplikasi sederhana yang bisa digunakan dari memanen cahaya matahari ini.
“Level Bali seharusnya pada tahap kesadaran, Bali harus mencoba, tidak untuk emergency tapi efisiensi biar tak nambah pembangkit listrik terus atau memaksa jaringan transjawa,” papar Kayon.
Menurutnya industri pariwisata harus pelan-pelan ditekan untuk menggunakan aplikasi energi terbarukan ini.
Arsitek lulusan Universitas Udayana, Denpasar ini kini tinggal di rumah almarhum orang tuanya di Banjar Geluntung, Kabupaten Tabanan. Daerah pedesaan, sekitar satu jam dari Kota Denpasar jika tak macet.
Panel-panel surya menyebar di beberapa atap bangunan rumah berarsitektur tradisional Bali ini. Selain itu ada juga di halaman untuk kebutuhan lampu-lampu taman. “Sengaja saya pasang terpisah biar merata dan hemat kabel juga,” katanya.
Lalu ada empat panel surya kecil ukuran masing-masing 0,003 watt di topi jeraminya. Topi jerami yang kerap dipakainya ini dipasangkan kabel ke empat baterai kecil. Menghasilkan daya yang cukup untuk memanjangkan nafas ponselnya sekitar satu jam.
Ia juga memasangkan kabel yang memungkinkan digunakan untuk hidupkan sebuah lampu LED. Sangat berguna saat berpetualang.
Tas panel surya ini masih perlu modifikasi alat lain agar bisa memasok listrik langsung ke laptop. Sarana terpasang adalah sebuah panel surya 10 watt, harganya sekitar Rp 400 ribu. Lalu baterai 5 ampere. Jika mendapat pasokan cahaya enam jam maka dapat 60 watt. Cukup untuk nambah daya laptop satu jam.
Selain modifikasi tas sendiri, Kayon mengaku pernah membantu pemasangan panel surya pada tas temannya yang mendaki ke pegunungan Himalaya. “Eh ternyata di sana, para pemandu dan pembawa barang juga menyewakan tas dengan panel surya untuk pendaki,” selorohnya.
Para pendaki bisa selalu mengaktifkan ponsel atau bahkan bekerja membuat karya seperti video ketika mendaki gunung tertinggi di dunia ini.
Mobile Office
Memasang panel surya di mobil menurutnya paling menyenangkan. Di atas mobilnya ada dua panel ukuran masing-masing 30 watt. Bisa mewujudkan mimpinya memiliki mobile office. “Bahkan bisa pasang shower untuk mandi. Anak-anak di sini senang sekali. Sekarang mobil sedang diperbaiki,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah VW Combi yang sedang dicat ulang.
“Wah bagus sekali kalau bisa sekali jadi semacam co-working space, kan lagi tren,” seru saya.
Membayangkan sebuah mobil yang bisa memasok energi listriknya sendiri, dengan sarana wifi sehingga memudahkan kelas-kelas teknologi informasi dan menulis di pelosok.
Sementara untuk kebutuhan listrik rumah sehari-hari, Kayon memilih masih berlangganan listrik dari PLN selain pasokan dari panel surya. Ia menunjukkan bukti pembayaran listriknya yang rata-rata tak lebih Rp 30 ribu per bulan. Nilai yang sangat kecil, dengan daya terpasang 1.300 watt dan kenaikan tarif listrik bertahap selama beberapa bulan ini.
Biasanya, satu rumah tangga kelas menengah membayar listrik ke PLN sekitar Rp 200-300 ribu per bulan untuk daya sebesar itu. Dengan penggunaan rice cooker, beberapa laptop, kulkas, dan televisi.
Ia memilih hybrid, karena motivasinya memanfaatkan panel surya untuk efisiensi. Bukan memutus ketergantungan pada negara. “Mandat pada negara adalah memeratakan distribusi listrik, jadi yang mampu harus efisiensi bahkan mengembalikan kelebihan produksi listrik,” kata Kayon.
Ia mencontohkan di Melbourne, Australia. Warga bisa mengajukan proposal pada pengelola listrik negara untuk mendapat diskon jika pembangkit rumahnya kelebihan listrik.
Ada sistem semacam kompensasi listrik. Warga yang kelebihan pasokan listrik dari pemasangan panel surya maka meteran listriknya berjalan mundur, sehingga biaya yang dibayar makin murah.
Nah untuk pasokan panel surya, Ia menyebut sebenarnya cukup untuk kebutuhan kesehariannya. Saat ini ada 4 panel dengan total daya 300 watt terpasang. Satu panel 100 watt dibeli dengan harga sekitar Rp 2,5 juta ketika harga panel sekitar Rp 25 ribu per watt. Jadi total biaya panel saja Rp 7,5 juta.
Lalu penyimpan daya atau baterai sekitar Rp 1,5 juta. Nilai pengadaan alat pembangkit jadi Rp 9 juta.
Ia mengatakan balik modal sekitar tiga tahun, jika dikompensasi dari biaya listrik ke PLN.
Jika tiap 100 watt mendapat penyinaran mentari sekitar 6 jam saja maka mendapat daya 600 watt. Akan berkurang sekitar 20 persen karena mekanisme arus dan penggunaan alat lainnya.
Kayon punya banyak ide untuk efisiensi ini. Terutama untuk skala kecil dan aplikasi sederhana untuk membangkitkan kesadaran dulu. Di depan sejumlah mahasiswa Politeknik Negeri Bali pada pekan ini, ia mengajak membuat pusat charger ponsel di kampus. Energinya dari panel surya.
Di skala lebih besar, ada ide menerapkannya di sekolah-sekolah untuk mengampanyekan sepeda listrik sebagai moda transportasi siswa. Penggunaan subsidi BBM di Indonesia terbanyak adalah sepeda motor.
Di Bali, rata-rata tiap rumah tangga punya dua motor. Bisa lebih sesuai jumlah anggota keluarga. Tak aneh jika anak-anak sekolah dengan seragam SMP lalu lalang di jalanan. Tanpa SIM karena di bawah umur dan memakan subsidi minyak.
Bali tidak punya moda transportasi publik yang mengakses seluruh wilayah. Beberapa tahun ini ada bus Transsarbagita tapi dengan rute terbatas. Selain itu transportasi publik belum populer atau tak ada kebijakan yang memaksa warga beralih.
“Coba ada sekolah yang menerapkan pengadaan sepeda listrik. Untuk terus digunakan turun temurun generasi siswanya. Sekolah menyiapkan pasokan listrik dari surya di sekolah,” jelasnya.
Sebagai pengalaman, sepeda listriknya yang hybrid, diisi listrik sekitar 4 jam untuk pemakaian 2 jam dengan rata-rata kecepatan 40 km/jam.
Selain itu, panel surya ini juga cocok untuk Pura-Pura (tempat suci) yang terpencil, yang jumlahnya tak sedikit di Bali. “Kesadaran ini juga cocok di Bali lewat jalan kultural,” tambah pria yang pernah kursus singkat ekologi di Belanda ini. [b]
Baru baca …. menarik, menginspirasi ……
Tertarik untuk belajar. Bagaimana bisa menghubungi Gung Kayon ?