• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Wednesday, November 12, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Kabar Baru

Memaknai Kembali “Healing”

Iin Valentine by Iin Valentine
19 August 2022
in Kabar Baru, Kesehatan
0 0
0
Ilustrasi foto: malam apresiasi karya #KamiBersuaraKamiMendengar di Rumah Berdaya.

Suatu waktu, saya terlibat dalam obrolan tentang gangguan mental yang sedang dialami seorang kawan. Sedikitnya saya tahu bagaimana kisah dan trauma-trauma masa lalunya. Kini akhirnya dia berhasil mengakses bantuan medis dan saya pun turut senang mendengar kabar itu. Kemudian di waktu yang berbeda, saya terlibat dalam topik obrolan serupa dengan orang yang berbeda pula. Ia kemudian mempertanyakan, “Mental illness ini memang dialami makin banyak orang atau sekadar jadi tren, sih?”

Ia mempertanyakan hal itu setelah kami melihat maraknya “konten healing” di media sosial. Tokoh publik dan bahkan banyak kawan kami juga ikut membagikan “momen healing” mereka, misalnya yang sering saya amati adalah di Instagram. Staycation, wisata alam, dan rekreasi lainnya, semua menjadi healing.

Lalu pertanyaan lainnya pun muncul. Sebenarnya healing itu apa, sih?

Pertanyaan ini membawa saya pada obrolan singkat via pesan suara bersama dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ. Menurut pemaparan dokter yang kerap disapa dr. Rai ini, healing dalam psikologi sebenarnya serupa dengan treatment atau terapi untuk mengatasi, memperbaiki gangguan kejiwaan atau gangguan mental yang dialami oleh seseorang. Bentuknya pun beragam, dapat berupa psikoterapi melalui talk therapy, bisa juga dengan terapi gelombang otak seperti neurofeedback therapy, rehabilitasi psikososial lewat aktivitas dan sebagainya.

Lebih khusus lagi, healing itu termasuk psikologi transpersonal. Sebuah terapi yang kemudian menggunakan pendekatan energi dalam hal pemulihan gangguan jiwanya. Syaratnya, healing itu dilakukan secara aktif pada orang yang memang secara uji klinis mengalami gangguan jiwa.

“Lalu gimana dr. Rai melihat fenomena bertebarannya momen healing di berbagai platform media sosial belakangan ini?” tanya saya.

“Jadi, fenomena sekarang misalnya capek, lelah, kemudian merasa dirinya depresi, merasa dirinya cemas, burn out. Itu kan istilah ganguan mental. Kemudian sering dijustifikasi pada diri seseorang, padahal hanya sebuah fenomena, bukan sebuah gangguan,” ungkapnya.

Menurut pandangannya, bisa jadi fenomena ini juga bagian dari booming-nya istilah kesehatan jiwa yang digunakan, khususnya sejak pandemi. Tiba-tiba orang sangat merasa butuh bantuan kesehatan mental selama pandemi kemarin.

Hampir semua aktivitas kini bermigrasi dari ranah luring ke daring. Orang bisa bekerja, belajar, konsultasi, menonton film hingga konser juga dari rumah. Saat ini beberapa kantor masih memberlakukan kerja remote. Satu sisi, ia memberikan kemudahan bagi karyawannya untuk bekerja dari mana saja. Namun, bukan berarti tidak ada efek buruknya.

Dokter Rai mengungkap bahwa beberapa kliennya yang bekerja secara remote, banyak yang mengalami stress karena tidak adanya waktu atau jam kerja yang jelas. Grup kantor masih bisa on dua puluh empat jam, bahkan ada yang harus segera merespon walaupun waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Hal ini menurutnya mengarah pada toxic productivity.

Toxic productivity ini membuat keseimbangan kehidupan kita terganggu. Bersamaan dengan itulah fenomena healing ini muncul. Karena keseimbangan kehidupan kita terganggu, orang lebih mudah burn out, lelah, dan jenuh dengan info dan situasi yang sama. Kemudian dia merasa dengan mengubah situasinya sementara, maka itu adalah jalan untuk penyembuhan.

Namun ternyata itu bukan solusi yang tepat. Jika memang kita merasa tidak baik-baik saja, sebaiknya segera konsultasikan pada ahlinya. Agar kita mendapatkan gambaran tentang keadaan diri kita yang sesungguhnya. “Kalau memang butuh terapi, ya, terapi. Kalau sudah baik atau setelah konsultasi ternyata kita tidak mengalami gangguan kejiwaan, perlu berlatih untuk self-care,” tutur dokter yang berpraktik di Klinik SMC ini.

Salah kaprah

Dari healing, kemudian dikenal juga self-healing. Istilah ini digunakan pada upaya mandiri untuk membuat diri kita tetap sehat jiwa. Misalnya praktik-praktik mindfullness, terapi yang dapat dilakukan diri sendiri dengan bimbingan oleh terapis atau guru di awal.

“Nah, praktik mengajarkan self-healing ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang eksotis, dikemas sebagai wisata kesehatan, dan lama-lama masyarakat kemudian berpikir, oh, tinggal pergi berwisata, itu sebuah healing,” jelas dr. Rai.

Sementara, yang sebenarnya dibutuhkan bagi orang tanpa gangguan jiwa adalah self-care. Salah satunya dengan rekreasi atau wisata ke tempat yang menyenangkan. Tidak hanya itu, yang tak kalah pentingnya adalah mengubah pola pemikiran dan menjalankan pola keseimbangan dalam hidup kita. Berwisata, rekreasi rutin 2-3 hari dalam jangka waktu tertentu ternyata tidak serta merta membuat jiwa kita sehat. Perlu dlihat lagi situasi kehidupan kita. Jika cara merespon masalah atau hal-hal yang terjadi di sekitar masih sama, tidak ada refleksi dan introspeksi, kita bisa saja stress lagi.

“Kita bisa terapkan the rule of eight. Delapan jam istirahat, delapan jam bekerja, dan delapan jam leisure activity atau personal growth,” papar dr. Rai.

Kalau ternyata penat, sila berwisata. Namun jangan sampai nanti ini berdampak buruk, terutama bagi teman-teman penyintas depresi atau gangguan kejiwaan yang lain. Jangan sampai mereka salah mengira bahwa kondisi yang mereka alami tidak nyata, sehingga kondisi-kondisi itu bisa hilang dengan hanya berwisata. Seolah penderitaan yang mereka alami atau perjuangan yang mereka lakukan itu tidak berarti.

kampungbet
Tags: gangguan jiwahealingself care
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Iin Valentine

Iin Valentine

seorang penikmat buku, musik, dan penggemar foto.

Related Posts

No Content Available
Next Post
Hidup Inklusif dengan Anak dan Remaja Berkebutuhan Khusus

Hidup Inklusif dengan Anak dan Remaja Berkebutuhan Khusus

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Inilah Panduan Nyepi Tanpa Internet Tahun Ini

Tersingkir di Tanah Sendiri

12 November 2025
Memanen Air Hujan dan Biogas, Teknologi Tepat Guna bagi Petani Bali yang Terabaikan

Ketimpangan Sumber Daya di Balik Krisis Air Tanah Bali

12 November 2025
Koalisi MUAK Tolak Gelar Pahlawan Soeharto

Koalisi MUAK Tolak Gelar Pahlawan Soeharto

11 November 2025
Akses Medis Neurodiversitas: Perjuangan di tengah Minimnya Akses Layanan

Akses Medis Neurodiversitas: Perjuangan di tengah Minimnya Akses Layanan

10 November 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia