“Bukan mantap lagi, capek,” kata Ketut Latra membantah.
Siang itu saya ngobrol santai dengan Ketut Latra, Ketua Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas) di Labuhan Amuk, Desa Antiga, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. “Wah mantep nih, Pak, jadi ketua Pokmaswas,” saya memujinya.
Sedetik kemudian dia membantahnya.
Matahari tengah berada di ubun-ubun kepala. Suasana tak begitu terik, angin sepoi-sepoi melengkapi suasana pantai yang santai mendengarkan ceritanya pada Senin, 22 Januari 2018 lalu. Mangku Latra menjadi Ketua Pokwasmas yang memayungi 2 kelompok nelayan, 2 nelayan pengawas dan 1 nelayan pariwisata. Total berjumlah 80 orang. Lumayan ya.
Mangku Latra tetap berusaha keharmonisan sesama. “Namanya juga banyak orang, pasti ada masalah. Semuanya harus dihadapi dan diajak ngobrol baik-baik,” ujarnya. Belum lagi menghadapi kenyataan, terumbu karang seluas 30 hektar di sana mengalami pemutihan atau dikenal dengan coral bleaching sejak tahun 2011.
Belum dapat dipastikan penyebab pemutihan karang yang terjadi di Labuhan Amuk. “Saya tak begitu paham. Kalau orang-orang LSM sih bilangnya karena perubahan iklim,” sahut Mangku Latra sambil menunjukkan area terdampak. Terumbu karang banyak ditumbuhi zoanthid yang hidup secara koloni di permukaan terumbu.
Ia sudah laporkan ini ke peneliti dari Universitas Udayana, juga telah diuji di laboratorium. Hasilnya, zoanthid ini tak bisa dimanfaatkan. “Ya, kami pikir itu bisa dimanfaatkan jadi apa gitu. Ternyata ga bisa. He.he.he..,” ungkapnya.
Pemutihan karang di Labuhan Amuk ini menyebabkan jumlah ikan berkurang 85 persen karena migrasi ke tengah laut. “Rumah bagi ikan berkembang biak telah rusak dan ditumbuhi banyak zoanthid. Jumlahnya banyak sekali,” serunya.
Beruntungnya ada terumbu karang dengan kondisi bagus di area seluas 2 hektar. Ini dimanfaatkan nelayan sebagai zona inti tempat ikan berkembangbiak dan mencari bibit untuk transplantasi karang. “Kami benar-benar menjaga area ini agar tetap bagsu menjadi rumah ikan berkembang biak,” jelas bapak lima anak ini.
Dia mengatakan sering dibantu komunitas dan pihak swasta untuk transplantasi karang. “Transplantasi karang itu cukup sulit dan mahal. Belum tentu berhasil juga,” ungkap pria berambut panjang ini.
Ada beberapa pihak yang membantu menumbuhkan terumbu karang di Labuhan Amuk, yaitu Conservation International Indonesia, Coral Reef, Pemerintah Kabupaten Karangasem, Akademisi Unud dan lainnya. “Kami senang ada yang bantu menjelaskan fenomena yang terjadi di sini. Ya menambah wawasanlah. Saya kan cuma tamatan sekolah dasar. He.he.he..” guraunya.
Meja Transplantasi Hilang
Agung Dhananjaya bersama Komunitas Earth Hour Denpasar pernah melakukan transplantasi terumbu karang di Labuhan Amuk. Ada 50 bibit terumbu karang diikat pada meja berukuran satu meter persegi. “Kami melakukan monitoring tiap tiga bulan. Monitoring pertama, banyak terumbu karang yang patah. Monitoring kedua mejanya hilang. Mungkin ketarik arus,” ungkap Dhanan, lulusan Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana ini.
Menurut Dhanan, transplantasi terumbu karang itu susah, terutama membuatnya bertahan hidup. Adopsi terumbu karang ini merupakan kegiatan tahunan dari tahun 2013 yang dilakukan di pesisir Bali yaitu Taman Nasional Bali Barat, Pantai Pandawa, Pantai Tulamben, Pantai Panyembahan.
Agung Dhananjaya mengatakan memulihkan pemutihan karang itu susah. “Yang bisa dilakukan itu ialah membuat manusia tidak memperburuk keadaan dengan berhenti mencemari laut dan jaga jarak dengan karang,” pesannya.
Nyegara Gunung
Menjaga terumbu karang dapat dilakukan dengan menerapkan konsep nyegara gunung. Nyegara gunung merupakan warisan leluhur untuk memaknai bahwa kehidupan ini berasal dari segara yang artinya laut dan gunung. Konsep dengan pendekatan nyegara gunung ini diterapkan hampir di seluruh daerah pesisir di Karangasem. Termasuk di Labuhan Amuk.
I Made Iwan Dewantara, Manager Program Bali Conservation International Indonesia mengatakan, saat bicara mengenai laut, pasti bicara mengenai daratan. Tanah hutan pada musim hujan akan mengalami run off yang bermuara di laut. Ini dapat membuat suhu di pantai berubah sehingga memicu pemutihan karang karena terumbu karang itu lemah.
“Nyegara gunung seperti badan manusia antara kepala dan kaki, lalu badan jadi penghubung,” ungkapnya.
Ia menjelaskan harus ada dorongan dari daerah hulu untuk menjaga hutannya. “Apalagi sudah ada peraturan daerah tentang konservasi hutan. Kita lakukan konservasi di daerah kritis biar ekosistem di laut terjaga, termasuk terumbu karang,” jelasnya.
Iwan Dewantama berharap bahwa alam tetap lestari sehingga manfaat bisa dirasakan oleh warga di Labuhan Amuk. “Kalau alam terjaga kan hasilnya terjaga, bagus untuk tempat hidupnya ikan dan pariwisata,” tuturnya. Namun, semua itu balik lagi ke nelayan sebagai ujung tombak pelestarian alam di pesisir Labuhan Amuk.
“Masa depan dari mereka sendiri, mereka akan mencapai apa yang bisa mereka pahami. Ingat menyama braya itu penting,” pesan Iwan untuk kelompok Pokmaswas.
Ngelau
Berbicara mengenai menyama braya – saling membantu, I Ketut Sadia selaku ketua nelayan melakukan pendekatan salah satunya melalui ngelau, minum tuak dengan nelayan. “Ya mereka sudah dewasa. Kami kasi tahu pelan-pelan tentang untungnya menjaga alam. Ini kan demi kepentingan kita bersama. Alam lestari, wisatawan ke sini,” papar Sadia.
Mangku Latra yang duduk di sebelah Sadia lanjut menambahkan bahwa kepedulian nelayan di sana terbukti dari secara swadaya telah memasang beton-beton tempat mengikat perahu di laut. “Biar nelayan tak membuang jangkar sembarangan. Bahaya kalau kena terumbu karang, lalu ketarik arus ya terumbunya rusak,” jelasnya.
Inisiatif lain yang dilakukan oleh Mangku Latra seperti penjagaan pantai selama 24 jam, juga sanksi tegas bagi pencuri ikan dan terumbu karang. Mangku Latra menggangap jasa yang dia lakukan tak sebesar rezeki yang diberikan oleh laut. “Saya akan menjaga laut ini sampai mati. Karena saya lahir, besar dan mati pun juga di sini,” tutupnya. [b]