Teks dan Foto Wayan Sunarta
Senja belum sempurna paripurna. Temaram cahayanya menelusupi celah-celah rimbun dedaunan. Mangku Jenggo asyik menatah sebongkah batu cadas hitam. Tangannya bergerak lincah memahat dan menakik cadas mengikuti alur dan lekuk-likunya. Perlahan namun pasti, cadas yang keras menjelma patung aneh dan unik.
Begitulah Mangku Jenggo. Seniman desa yang sangat bersahaja. Perawakannya tinggi kurus. Wajah dan senyum lebarnya mencerminkan keluguannya. Sikapnya yang ramah membuat orang cepat akrab dengannya.
Karya-karya Mangku Jenggo banyak bertebaran di halaman rumah dan ladangnya. Patung-patung bercorak primitif dan naif itu selalu menuntun imajinasi saya ke jaman batu. Mangku Jenggo menatah dan memahat batu cadas dengan cara yang sangat polos dan apa adanya. Namun justru di sanalah letak kekuatan artistiknya. Kesederhanaan pahatannya memancarkan aura magis. Figur manusia atau hewan dibuat dengan gaya distorsif sehingga wujud aslinya mengalami sublimasi. Bahkan sejumlah karyanya mirip totem atau patung-patung yang dipakai sarana upacara persembahan pada zaman berhala.
Mangku Jenggo lahir di Dusun Umanyar, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali. Dia tidak punya data pasti tentang hari kelahirannya. Yang jelas dia masih menyimpan ingatan ketika Gunung Agung meletus pada tahun 1963. “Saat itu, saya seusia anak TK. Saya bersama keluarga ikut dalam rombongan naik truk, mengungsi ke desa tetangga,” kenangnya.
Tanah kelahirannya sangat kaya dengan kandungan batu cadas yang berusia ratusan tahun, bekas muntahan Gunung Agung. Berdasarkan data, Gunung Agung pernah meletus lebih dari lima kali sejak tahun 1800. Warga Umanyar banyak memanfaatkan batu-batu cadas hitam itu untuk membuat tugu atau pelinggih (bangunan suci). Pelinggih-pelinggih yang dikerjakan secara massal itu dijual hingga ke seluruh wilayah Bali, bahkan luar negeri. Hingga kini Umanyar dikenal sebagai salah satu pusat industri batu cadas hitam di Bali.
Namun Mangku Jenggo memilih jalan lain. Dia tidak mau ikut-ikutan warga kebanyakan. Dia memanfaatkan batu cadas itu untuk membuat patung, sesuai selera seninya. “Saya lebih senang memahat patung ketimbang membuat pelinggih,” ujar Mangku Jenggo.
Bermodalkan bakat alam, Mangku Jenggo memulai karirnya di bidang seni pahat dengan membuat patung-patung dan topeng dari kayu. Saat itu garapannya cenderung halus. Wujud patungnya kebanyakan figur manusia dan hewan. Secara berkala dia menitipkan hasil karyanya di beberapa artshop di Klungkung dan Batubulan.
Ketertarikannya pada batu cadas bermula ketika seorang sahabatnya meminta dia mengukir dan memahat sebongkah batu besar dengan motif dedaunan dan figur manusia. Pada awalnya dia menolak karena tidak terbiasa memahat batu, namun akhirnya dia menyanggupi. Dia nongkrong berlama-lama di depan batu dan berpikir keras bagaimana cara menggarap batu itu menjadi benda seni. Dia memulai proyek patung batu pertamanya dengan alat-alat pahat seadanya.
“Lama kelamaan saya jadi ketagihan memahat batu. Saya kumpulkan bongkahan batu cadas yang saya gali dari ladang. Kemudian batu-batu itu saya pahat seadanya mengikuti wujud-wujud yang terbayang dalam pikiran saya,” tuturnya.
Sejak itu, Mangku Jenggo memiliki keasyikan tersendiri bergaul dengan batu-batu cadas. Semakin hari karya-karyanya semakin bertambah banyak sehingga nyaris memenuhi halaman rumah dan kebunnya. Sebagian besar patung itu dipajangnya di tepi jalan kecil menuju rumahnya.
Suatu kali, sekitar 19 tahun lalu, pelukis-pengembara Made Budhiana yang sering berkelana ke wilayah Karangasem merambah Dusun Umanyar bersama beberapa kawannya. Mereka mengendarai mobil jip butut. Suara jip itu mirip helikopter sehingga mengundang anak-anak berkerumun menyaksikan mobil aneh yang parkir persis di jalan menuju rumah Mangku Jenggo. Anak-anak dusun terheran-heran mengamati mobil jip yang bersuara helikopter. Sementara itu, Budhiana yang berpakaian ala koboi termangu-mangu di depan deretan patung unik karya Mangku Jenggo.
“Anak saya yang masih kecil bilang ada helikopter di pinggir jalan. Saya buru-buru keluar rumah. Saya kemudian berkenalan dengan pengendara ‘helikopter’ yang berambut gondrong. Itulah pertemuan pertama saya dengan Made Budhiana,” kenang Mangku Jenggo.
Perkenalan Mangku Jenggo dengan Made Budhiana berkembang menjadi hubungan persahabatan yang terjalin hingga kini. Setiap ada kesempatan ke Karangasem, Budhiana mampir ke rumah Mangku Jenggo. Budhiana mengagumi hasil pahatan Mangku Jenggo yang cenderung kasar, polos dan mengandung kemurnian seniman otodidak. Budhiana cukup banyak mengoleksi karya-karyanya. Mangku Jenggo pun secara tidak langsung banyak menyerap pandangan-pandangan seni dan prinsip berkesenian dari Budhiana, termasuk idealisme sebagai seniman.
“Budhiana itu guru saya, meski dia tidak mengajarkan saya memahat,” kata Mangku Jenggo.
Kini, telah lebih 20 tahun Mangku Jenggo menekuni seni patung. Dia telah menciptakan ribuan patung batu dengan berbagai model dan motif. Banyak karyanya telah terjual dan menjadi koleksi kawan-kawan dekatnya. Sebagian lagi masih berserakan di ladang dan halaman rumahnya. Namun dia mengatakan belum bisa sepenuhnya menggantungkan hidup dari hasil membuat patung.
“Tidak setiap bulan ada orang yang membeli patung. Bagi saya membuat patung hanya untuk menyalurkan bakat seni. Saya juga mengerjakan hal-hal lain untuk menghidupi anak dan istri,” tutur Mangku Jenggo.
Sebagaimana umumnya seniman otodidak di Bali, Mangku Jenggo juga dikarunia sejumlah keahlian lain. Selain pematung, dia juga piawai menabuh gamelan Bali. Sesekali dia diminta bantuan membuat pelinggih (bangunan suci) untuk pura. Dia pandai membuat bonsai dan menata taman. Dia terampil memijat dan mengobati keseleo atau salah urat. Dia masih setia bertani dan berkebun. Di kebunnya yang luas tumbuh jeruk Bali, salak, pisang, kelapa dan tanaman lain. Dia juga memelihara sapi dan babi.
Di sela-sela waktu senggang, beberapa anak Umanyar berkumpul di rumah Mangku Jenggo. Mereka belajar membuat patung berbahan cadas ukuran kecil, asbak dan motif-motif lainnya. Dengan senang hati Mangku Jenggo menularkan ilmu memahatnya kepada anak-anak tersebut. “Saya senang kalau ada anak-anak yang mau tekun belajar membuat patung,” ujar Mangku Jenggo.
Masa kanak-kanak Mangku Jenggo sendiri cukup memilukan. Ibunya meninggal ketika dia masih bayi. Ayahnya sakit-sakitan. Sejak kecil dia diasuh oleh kakeknya. Saat masih bocah dia sering sakit-sakitan. Menurut dukun, dia keberatan nama. Kemudian kakeknya mengganti namanya dari Made Pageh menjadi Made Jenggo. Kata “Mangku” di depan namanya merupakan gelar kehormatan yang diberikan masyarakat ketika dia dipilih menjadi Pemangku, pemimpin ritual/upacara Agama Hindu di pura keluarga besarnya.
Mangku Jenggo hanya sempat mencicipi pendidikan resmi sampai kelas dua sekolah dasar. Sang kakek tidak mengijinkan dia sekolah. Padahal dia sangat ingin sekolah. Kakeknya sangat takut kehilangan dia. Maklum, dia adalah pewaris satu-satunya tanah keluarga, kebun dan ladang yang sangat luas. Dan dia adalah satu-satunya anak lelaki yang akan melanjutkan keturunan keluarganya.
“Kakek selalu menjemput dan menyuruh saya pulang ketika saya berada di sekolah. Kakek bilang tidak ada gunanya sekolah. Cukup belajar di rumah saja,” kenang Mangku Jenggo.
Di bawah bimbingan langsung kakeknya, Mangku Jenggo be