Sebuah gempa 6,4 SR mengguncang Bali pada akhir Maret 2017 lalu.
Gempa yang berpusat di 8.88 LS, 115.24 BT, 23 Km tenggara Denpasar dan kedalaman 117 km ini mengakibatkan kerusakan di beberapa daerah dan bangunan di Bali. Salah satunya di Pura Kehen di Bangli. Bagian atas Candi Bentar jaba sisi Pura Kehen mengalami kerusakan dengan nilai kerugian sekitar Rp 10 juta.
Meskipun tidak ada korban jiwa dan kerugian materi terbilang tidak besar, gempa ini perlu diperhatikan dalam mempertimbangkan manajemen bencana untuk pura-pura maupun cagar budaya di Bali.
Pura Kehen adalah salah satu kuil tertua di Bangli dan Bali yang dibangun pada abad ke-12. Sebagai pura yang penting, banyak upacara keagamaan dilakukan di kompleks Pura Kehen dan juga menjadi salah satu tujuan wisata utama di Bali.
Nilai sejarah yang ada menjadi salah satu faktor utama pentingnya manajemen di cagar budaya Bali. Kerusakan cagar budaya dengan nilai sejarah tinggi tentunya tidak mudah untuk dikembalikan. Selain itu, dampak psikologis pada masyarakat karena rusak atau hilangnya warisan budaya yang terkait erat, tidak dapat diremehkan.
Bencana tidak hanya menyebabkan kerusakan material tapi juga membahayakan jiwa pengunjung, staf dan masyarakat lokal di dalam dan sekitar situs warisan budaya. Ramainya kegiatan ibadah dan pengunjung menjadi faktor-faktor penting untuk memperhatikan manajemen bencana di Pura Kehen dan pura-pura lain serta cagar budaya di Bali secara umum.
Apalagi Pulau Bali terkenal dengan sebutan pulau seribu candi.
Bencana dapat terjadi kapan saja. Termasuk dalam kondisi ramai ketika ada upacara keagamaan maupun ketika musim pengunjung yang tinggi. Kondisi ini juga mempengaruhi mata pencaharian terkait dengan warisan budaya dan pendapatan yang dihasilkan pemerintah daerah melalui pariwisata.
Dan, pariwisata adalah industri yang sangat sensitif terhadap isu bencana.
Pariwisata adalah industri yang sangat sensitif terhadap isu bencana.
Pentingnya manajemen bencana untuk cagar budaya ini juga karena Pulau Bali rentan terhadap banyak jenis ancaman bahaya. Misalnya banjir-longsor dan gempa bumi yang baru-baru ini melanda beberapa daerah di Bali.
Pulau Bali memiliki potensi gempa (tsunami) karena terletak di atas lempeng Australia dan Indonesia yang aktif. Menurut peta indeks gempa di Indonesia, Bali dikategorikan sebagai daerah dengan risiko tinggi.
Mengingat berbagai tantangan ini, rencana pengelolaan risiko bencana yang komprehensif perlu dirumuskan untuk situs warisan budaya. Kerangka kerja terpadu manajemen bencana untuk cagar budaya yang mempertimbangkan berbagai bahaya dan kerentanan di cagar budaya, menjadi kebutuhan penting.
Pemangku kepentingan terkait cagar budaya di Bali perlu merumuskan rencana pengelolaan risiko bencana komprehensif yang menentukan langkah-langkah mitigasi, kesiapsiagaan, respons dan pemulihan, sebelum, selama dan setelah situasi bencana.
Di beberapa negara, kuil-kuil juga menjadi tempat untuk mengajarkan ketahanan bencana, pengelolaan lingkungan dan kearifan lokal.
Menggunakan Cagar Budaya
Dalam kapasitas mitigasi, pemerintah maupun pihak terkait dapat menyusun dokumen rencana maupun langkah teknis yang dapat digunakan jika terjadi bencana yang mengenai cagar budaya. Staf pengelola maupun masyarakat bisa dilatih dengan simulasi terkait bencana dengan cagar budaya sebagai tempat berkumpul ataupun sebagai tempat yang terkena dampak.
Untuk persiapan jika terjadi kerusakan, pemerintah dan pemangku kepentingan perlu menyusun sebuah dokumen keberlanjutan untuk pemulihan cagar budaya. Pemulihan ini cukup penting agar cagar budaya dapat berperan sesuai fungsi normalnya.
Isu utama lain adalah koordinasi antar instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan pusaka dan pengurangan risiko bencana seperti Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), baik di tingkat kota/kabupaten, provinsi, maupun kementerian nasional.
Langkah-langkah kesiapsiagaan tentu bisa dijabarkan sesuai dengan kepentingan dan kearifan lokal yang ada serta program yang sudah ada.
Meski warisan budaya rentan terhadap bencana, cagar budaya juga perlu dilihat bukan sebagai aktor bencana pasif saja. Ada beberapa kejadian bencana di mana warisan budaya berkontribusi untuk membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana. Ada beberapa kasus di mana cagar budaya yang memiliki halaman luas berfungsi sebagai daerah pengungsian setelah bencana.
Salah satu contoh adalah gempa dan tsunami di Jepang tahun 2011. Banyak korban terutama anak-anak sekolah dapat berlindung di kuil-kuil bersejarah yang terletak di tempat lebih tinggi selama hitungan minggu maupun bulan dan didukung para pemimpin agama dan masyarakat setempat.
Di beberapa negara, kuil-kuil juga menjadi tempat untuk mengajarkan ketahanan bencana, pengelolaan lingkungan dan kearifan lokal yang penting dalam bentuk cerita, pertunjukan wayang, maupun ibadah. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat yang berkunjung.
Tentunya hal-hal tersebut bisa menjadi pertimbangan pemerintah dan pengurus cagar budaya di Bali yang memiliki filosofi Tri Hita Karana dan memiliki pertunjukan seni yang bisa dipakai sebagai media penyampai cerita.
Semoga Pulau Bali semakin tangguh terhadap bencana. [b]