Global Environmental Facility – Small Grand Programme kembali menggelar Festival Teras Mitra.
Kegiatan yang memasuki tahun ketiga ini diikuti 45 komunitas- “pahlawan lokal lingkungan”- dari berbagai pelosok Indonesia.
Selama tiga hari mereka berbagi pengalaman pada 14-16 Oktober di Hotel Atanaya, Kuta, Bali.
Terasmitra merupakan ajang berjejaring pelaku usaha komunitas yang menjalankan usaha dengan pendekatan lingkungan. Terasmitra diharapkan menjadi jembatan penghubung cerita komunitas wirausaha kepada masyarakat lebih luas. Dengan demikian mereka lebih peduli dan memiliki komitmen terhadap isu-isu lingkungan dan mewujudkan kepeduliannya dengan melakukan kegiatan dan program bersama Terasmitra atau mitra-mitra SGP Indonesia.
Festival ketiga ini diperkirakan akan diikuti sekitra 300 orang.
Menurut Koordinator Nasional GEF-SGP Indonesia, Catharina Dwihastarini inisiatif kelompok masyarakat yang menggabungkan unsur wirausaha dan lingkungan memegang peranan penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Inisiatif yang efektif dimulai dari wilayah yang paling kecil, yaitu ruang lingkup masing-masing terlebih dahulu.
“Selanjutnya, kesempatan untuk mengembangkan wirausaha ke dalam tingkatan yang lebih luas dan masuk ke persaingan pasar menjadi tantangan mereka selanjutnya,” ujarnya.
Catharina menambahkan di Indonesia sendiri, kewirausahaan sosial banyak digerakan oleh komunitas ataupun perkumpulan masyarakat yang bersama-sama membentuk unit usaha untuk memperbaiki kondisi sosial seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan lain-lain.
Kewirausahaan sosial merupakan titik tengah antara aktivisme sosial dengan aktivisme ekonomi. Kemunculannya dalam satu dekade terakhir telah menepis anggapan bahwa dalam bisnis hampir mustahil berbuat sesuatu yang bersifat sosial. Begitu juga sebaliknya, kerja sosial itu hampir tidak mungkin mendapatkan manfaat ekonomi.
“Mendapatkan manfaat ekonomi dari alam tanpa merusak alam, telah dibuktikan oleh mitra kami yang kini meramaikan Festival ini. Hingga sekarang jika mereka mendapatkan keuntungan dari “bisnis” mereka, selalu dikembalikan untuk perbaikan dan kelestarian alam kembali. Sehingga alam pun membalas dengan memberikan kebaikan kembali kepada yang merawat dan melestarikannya,” tambah Catharina lagi.
Sementara itu Direktur PPusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Catur Yuda Hariani, menambahkan, Festival Teras Mitra di Bali, diharapkan bisa memberikan pembelajaran dari komunitas lainnya dalam meningkatkan kualitas “perjuangan,” berjejaring dan juga mengembangkan ide kreatif bagi lingkungan yang lebih baik lagi, sehingga bisa diterima masyaakat.
“Pengembangan budaya perilaku atau mengubah cara perilaku dan cara pandang masyarakat serta pengambil kebijakan dalam hal melihat memperbaiki alam justru membawa keuntungan secara ekonomi dan bukan menjadi beban ekonomi adalah bagian penting dari upaya usaha komunitas yang tengah dikembangkan ini,” jelas Catur.
Hal senada juga diungkapkan Adinindyah dari Lawe (Lawe bahasa Jawa artinya serat kain) Yogyakarta. Dia memperlakukan nilai budaya dan alam menjadi produk dengan rasa kepedulian yang tinggi justru memberikan nilai tinggi bagi produk yang dihasilkan.
“Semua kain dan tenun yang kami temukan di Indonesia, menggunakan bahan alami asli dengan motif-motif yang dibuat tidak sembarangan. Ada sejarah di sana. Itu yang membuat nilainya tinggi, dan kita harusnya bangga karena hal ini,” tandas Adinindyah yang memiliki Amri Museum and Art Gallery.
Selain PPLH dan Lawe yang akan terlibat dalam Festival ada juga para perempuan Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dalam melestarikan tenun dan tradisi mereka dengan menggunakan pewarna alam. Yayasan Tafean Pah (membangun dunia), yang dipelopori oleh Mama Yovita Meta, menggunakan tradisi tenun ikat yang sangat mengakar pada masyarakat Biboki untuk mengangkat kaum perempuan dari permasalahan kemiskinan.
Penenun Biboki yang termasuk dalam Yayasan Tafean Pah memiliki ciri khas tersendiri. Ketika banyak penenun sudah mulai mengganti benang kapas mereka dengan benang industri yang jauh lebih mudah mengolahnya, para penenun Biboki tetap konsisten membuat benang dari kapas yang dihasilkan kebun-kebun mereka.
Pewarna alam juga masih digunakan meskipun serbuan perwarna kimia kian gencar. Produk tenun Biboki yang digawangi Yayasan Tafean Pah adalah produk organik yang memanfaatkan keanekaragaman hayati lokal. Produk tersebut ramah lingkungan, dan kini termasuk diminati pembeli dari mancanegara yang keuntungannya bisa digunakan untuk kelestarian tanaman dan juga para mama pembuat tenun.
Mendapatkan manfaat ekonomi dari alam dan lingkungan yang dipelihara dengan baik juga dirasakan oleh para perempuan istri nelayan dari Desa Sei Nagalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Jumiati, ibu rumah tangga biasa berhasil menggerakan para ibu di desanya untuk menumbuhkan kembali hutan mangrove.
Kini pesisir di wilayah Desa Sei Nagalawan dikelilingi hutan mangrove yang indah, yang melahirkan kehidupan pesisir pantai desa itu yang dulu “mati”.
Burung-burung dunia menjadikan salah satu tempat transitnya, banyak ikan dan kehidupan lainnya tumbuh di sekitar mangrove.
Bukan itu saja para istri nelayan kini menjadikan wilayah hutan yang mereka tumbuhkan menjadi eko wisata yang diminati pelajar, mahasiswa dan warga lokal lainnya. Keberadaan mangrove juga membuat para ibu mengolahkan menjadi kerupuk mangrove, sirup mangrove dan lainnya.
“Alam telah memberi kebaikan kembali kepada mereka yang juga bersungguh-sungguh melestarikan dan menjaganya. Jadi ekonomi seperti ini yang harusnya dijadikan contoh para pelaku bisnis besar yang suka mengambil keuntungan dari alam dengan cara merusak bahkan mematikannya hingga tidak berbekas. Cara itu sudah sangat tidak bijak dan tidak tren untuk dilakukan,” tandas Catharina.
Kegiatan Festival Teras Mitra rencananya akan dihadiri tokoh-tokoh usaha yang penting seperti Martha Tilar dari perusahan kosmetik terbesar Martha Bertho. Festival ini tidak hanya akan menampilkan produk-produk dari alam yang dikelola komunitas, tapi 45 komunitas ini juga akan melakukan workshop untuk tukar pengalaman dan pembelajaran satu dengan lainnya.
Mereka juga akan melakukan kunjungan lapangan untuk melakukan studi banding terkait dengan usaha sejenis yang ada di wilayah Bali dan sekitarnya. Acara Festival ini terbuka untuk umum, dan masyarakat bisa berbelanja dan memilih pada pameran yang akan dibuka pada 16 Oktober di akhir Festival. [b]