Dikumpulkan oleh Anton Muhajir
Tiap 3 Mei adalah hari Kebebasan Pers Sedunia. Nah, mumpung pas momennya, seminggu lalu saya melemparkan pertanyaan ke mailing list (milis) Bali Blogger Community (BBC). Pertanyaannya: bagaimana sih kualitas media di Bali saat ini: bagus, buruk, atau biasa? Kenapa? Mohon kasih contoh konkret. ‘
Inilah jawaban sebagian blogger di BBC.
1. “Kurang kreatif!!” banyak media, tapi beritanya sama semua.
2. banyak article dengan tanda bintang (*) di endingnya.
3. dll, ntar tak pikirin dulu
Nyoman Suardana aka Baliun
—
sama dengan bli baliun.. ditambah :
1. penulisan nama, istilah kurang akurat tidak sesuai ejaan, jadi keliatan beberapa wartawan kurang wawasan
2. kadang (maaf) unsur sara terasa banget dalam porsi pemberitaan, terutama pemberitaan hal negatif.
3. iklan dari grup penerbitan terlalu banyak.. pernah ngitung kalo dikumpulkan dalam 1 edisi, iklan dari grup penerbit mencapai 3 halaman.. (kita beli koran untuk baca berita yang uptodate bukan baca iklan yang enggak jelas.. curhat)
4. dll… masi cari cari kesalahan 😀
Trimartono Toni Jawoel
—
Eh media di bali? Emang ada? Perasaan adanya cuma koran iklan aja.. *ngeloyor*
Agung Apriantara
—
hahaha, urun rembug, mengapa beritanya sama, ya karena wartawan sering tukar-tukaran berita (pernah diceritakan ma yang mancing keributan topik ini), awalnya sih nggak percaya, tapi ternyata benar juga. hehehe..
terlalu banyak berita politik dan kriminal, bisa jadi karena pos wartawan ya di kantor polisi
dan kantor gubernuran..
kalau soal kualitas, yah memang bisa dipertanyakan sih. termasuk saya yang juga pekerja media. hehehe..
Agus Lenyot
—
Hmmm, ngomong-ngomong tentang istilah dan ejaan, untuk lebih “melengkapi penderitaan” kondisi pers, di Bali khususnya, adalah berkaitan dengan penguasaan tata bahasa, cq. Bahasa Indonesia. Sepulang BBC on Air lalu saya mampir di warung makan dan membaca Radar Bali, pada halaman depan tertulis Kadisbud Diperiksa film Gigolo. Lebih lengkapnya ada di sini.
Terlihat sepele, namun dari segi penguasaan bahasa Indonesia, belajar dari kasus yang saya temui malam itu, menurut saya kok tidak tepat, mana S, P dan O, jika dijadikan kalimat aktif juga akan kacau maknanya. Apakah memang demikian bahasa dalam jurnalisme dan pers untuk menarik pembaca? CMIIW
Saya masih ingat dengan kisah Dek Didi beberapa bulan yang lalu, yaitu ketika sebuah media di Bali yang copas tulisan dari blognya. Sempat berdiskusi di BBC on Air juga tentang plagiasi. Catatan penting ini patut dijadikan sebuah pembelajaran untuk para awak media agar jangan sampai terulang lagi, setidaknya mereka lebih memahami kaidah-kaidah dalam sebuah penulisan, peliputan dan pengutipan. Kebebasan pers itu penting, namun bukan lantas bebas mengutip tanpa memerhatikan aturan-aturan pengutipan. Namun kasus Dek Didi ada hikmat positifnya buat Dek Didi, hehehe. Masih bertahan sampai sekarang?
Setiap hari berita-berita yang ditulis tidak lepas dari kriminal, kerusuhan, skandal, kericuhan, korupsi dan politik. Hmmm, saya kira tidak hanya di Bali, karena di panggung nasional pun demikian. Apakah latah dengan media-media nasional atau mengalir dari top-bottom? Atau memang berita-berita yang ditampilkan di media massa kini mencerminkan kondisi masyarakat di Indonesia? Mungkin ada yang tahu omset/oplah media cetak di Bali? kalau media-media yang isinya seperti itu apakah laris manis? Klo iya, berartikan masyarakat “menikmati” berita-berita yang disajikan. Bila masyarakat sudah jengah dan bosan dengan berita-berita dengan topik-topik itu, tentu oplah media cetak bakalan turun kan? Namun, kalau ternyata oplah semakin naik? Kalau dalam konteks Bali, mungkin akan lebih menarik jika media cetak/elektronik menampilkan kekayaan adat, budaya, alam dan kuliner Bali yang masih belum tersiar, daripada lebih menonjolkan berita-berita kriminal. Atau sudah ada tapi masih terbilang kurang??
Unsur yang tidak kalah penting dari sebuah media baik cetak/elektronik adalah iklan. Banyak blogger pula yang memasang iklan di blog mereka. Namun sangat disayangkan (menurut saya) kalau banyak iklan-iklan yang saya rasa kurang pas dipasang, entah karena sesuatu hal yang mitos atau berbau seksualitas; seperti obat kuat, phone call ke 0809….., dan sejenisnya. Ketika di Solo dulu, saya memiliki teman seorang tukang becak yang selalu berlanggan koran khusus kriminal dan salah satu kolomnya berjudul Alkisah, yang berisi cerita vulgar percintaan, dan itu juga yang menjadi salah satu daya tariknya sehingga koran itu juga laris. Hmmm, kaya di Denpasar saya juga pernah menemui kolom sejenis itu ketika makan di warung bakso, tapi lupa koran apa. Mungkin topik-topik itu yang bisa mendongkrak oplah juga ya???
Satu poin lagi kalau membicarakan media massa baik cetak atau elektronik adalah materi-materi pendidikan untuk anak-anak. Materi-materi berita/artikel pendidikan anak-anak sepertinya masih kurang, bila tidak mau dikatakan tidak ada, baik dalam media cetak dan elektronik di nasional dan daerah. Dulu saya sangat senang membaca dan menikmati kejayaan Bobo. Namun bagaimana sekarang? Mungkin teman-teman yang sudah memiliki anak bisa juga bercerita bagaimana media cetak dan elektronik saat ini dalam memengaruhi perkembangan dan kehidupan anak-anak. Agak OOT sedikit, ajang pencarian bakat untuk anak-anak saat ini, banyak dari mereka yang membawakan lagu-lagu orang dewasa. Alangkah indahnya kalau kejayaan pencipta dan penyanyi lagu-lagu anak-anak era Ira Maya S, Adi Bing Slamet, Pak Kasur, Bu Kasur etc bisa terulang lagi dan muncul penyanyi dan pencipta lagu seperti mereka. Atau saya yang ketinggalan zaman ya dan masih bernostalgia dengan masa lalu? hehehehehe.
Tidak adil jika hanya membicarakan konten media seperti di atas tanpa mendiskusikan pemilik media. Kran kebebasan pers sudah terbuka, namun seyogyanya tetap berpedoman pada pemberitaan yang berimbang, tidak berat, informatif, bertanggung jawab dan lepas dari kepentingan pemiliknya.Kasus “TV merah” beberapa waktu yang lalu bisa menjadi contoh, mungkin. Klo teman-teman awak media di Bali apakah juga pernah mendapatkan “intervensi” dari pemilik media juga? entah dalam bentuk editing pemberitaan yang ditulis hingga tulisan dianggap tidak layak tampil/tidak lolos editor?
Yach, sementara itu saja sih urug rembug dari saya seorang masyarakat untuk kebebasan pers, Terakhir, Mungkin keberadaan media arus utama perlu diimbangi dengan jurnalisme warga ya, sebagai bentuk kebebasan pers juga. Saya pribadi prefer membaca artikel di blog-blog, atau blog jurnalisme warga (kompasiana, politikana, balebengong etc). Entah karena bosan dengan berita-berita di media cetak atau karena mahal berlangganan (hehehe, karena lebih murah dan mudah bila diakses lewat internet), namun ketika membandingkan ilmu dan informasi yang didapat, saya mendapat lebih banyak ilmu dan cerita menarik di sana. Bagaimana dengan Anda?
Winarto
—
berkualitas?berkualitas dari segi apanya ya .. hasil publishing?layout?grafis?iklan?penulisan berita?isi berita/konten? kalo dari segi umum/global mungkin agak sulit menentukan media itu berkualitas atau tidak,ya karena ada beberapa faktor diatas(mungkin)…
Kalau saya sih menilai kualitas media di Bali biasa2 saja gak bagus gak jelek (..penilaian jalan tengah,karena saya jg dari media,gak enak kalo kasih penilaian …hehehehhahahahahah)…
tapi saat ini,memang kualitas itu tidak bisa dipake ukuran untuk menilai apakah media itu disukai atau tidak.. kalo pernah baca salah satu harian di Ibu Kota (kalo gak salah namanya Post Kota,kalo salah mohon maaf sebesar2nya), koran itu sangat laris,sangat digemari, jam 10 pagi sudah susah cari di agen,apalagi jam 12 siang sudah ludes. Tapi menurut penilaian saya, hasil cetak/publishing,layout,kertas cetak,bahkan isi berita,penulisan sangat kurang dari yang bernama kualitas baik..nilai 5 deh..(maaf).
Ya ternyata,yang disukai adalah rubrik esek2,pemerkosaan,kehidupan malam,cerita seks. Yah beginilah yg terjadi saat ini. bukan begitu kawan2??
Arie Bogel
—
Saya klo nyari iklan baru beli koran. Klo nyari berita ya googling saja. Koran lokal bali iklannnya lebih akurat daripada beritanya. *percayalah.
Gus Tulank
—
Mari berdiskusi dengan saya 🙂 Jika mau mendisksuikan bahasa media massa secara umum, ayo, saya siap juga. Mana media yang menggunakan bahasa Indonesia secara asal-asalan dan mana yang berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kualitas media tidak bisa digeneralisasikan. Paling ga, tulisan saya di koran lokal yang mungkin tidak lebih bernama dibandingkan media nasional, toh bisa jadi juara berkali-kali, mengalahkan media nasional yang punya nama beken. (maaf, terpaksa sedikit sombong).
Jika di Koran Tokoh ditemukan kalimat berantakan, tolong sampaikan ke saya ya. Akan saya jadikan catatan penting.
Ratna Hidayati
—
Sorry, ini sudut pandang dari seorang oknum PNS yang suka kelayapan di dunia maya loh ya…
(1). Beritanya kerap sama,
(2). Kadang suka comot nama pejabat seenaknya, padahal dilapangan belum tentu si pencari berita beneran bertemu dan berbicara langsung dengan sumber. (mengarang)
(3). Nama dan jabatan suka kebalik”. Bukti bahwa yang bersangkutan makin beneran gak sua atw gak tau info terkini.
(4) Iklan (beneran) porsinya kebanyakan.
(5). (Rahasia Umum) beberapa oknum media suka nodong ke pimpinan instansi dan mengancam akan menaikkan berita negatif kalo gak di-sangu. Tapi ada juga pencari berita yang di”sayang” agar tidak terlalu vokal dalam pemberitaannya.
(6). Pemahaman wartawan kadang suka asal terhadap suatu peristiwa. Cenderung menyalahkan dan menutup mata dengan sebab akibatnya.
(7). Ada juga yang terlalu menjiwai berita pemerkosaan sampe”ceritanya mirip Cerita Cerita Serunya Wiro. Hihihi…
Kira” kalo nambah lagi, saya bakalan di-UU ITE-kan gak ya? …(kabuuuur)
PanDe Baik
—
*kisah seorang siswa SMA yang merengek minta langganan koran Kompas, tapigakdikabulkan :D*
Tidak hanya sarana berita dan koran iklan, juga sarana mejeng beberapa instansi (terutama sekolah) untuk menampilkan prestasinya, dengan membayar iuran sumbangan ke wartawan, maka berita prestasi yang sampai konyolpun akan masuk ke salah satu halaman di koran.
Ada gak ada media di Bali yang membuat disclaimer : “Wartawan tidak boleh menerima sumbangan atau imbalan atau sebagainya”.
Putu Wiramaswara Widya
—
saya mau menjawab komentar bli bogel.
eh, bukan menjawab tapi merespon.
1. jual beli berita jelas haram dalam etika jurnalistik, bli. Jadi bukanlah “BIASA”. Tapi ini tindakan yang merendahkan derajat wartawan dan media itu sendiri. JIka iklan ditulis dalam bentuk berita itu biasa disebut advetorial. tapi sejumlah media punya banyak istilah untuk hal ini. Misal seremonial, berita lembaga, dll.
2. Dianggap biasa karena begitulah kebiasaan kebanyakan media sekarang, lokal maupun nasional. Tapi ini jelas melanggar kode etik. Pembaca lambat laun bisa mengetahui tabiat ini dan berakibat pada kredibilitas media dan wartawan itu sendiri. Kalau memang ingin buat berita iklan jelas tak dilarang, yang penting declare. Misal BALI ADVERTISER. Jadi, jelas TIDAK WAJAR jika media yg bukan khusus iklan menyembunyikan iklan agar seolah-olah itu berita. Ini namanya penipuan. Kalau ada iklan dan isinya menipu kita pasti sebel, apalagi berita. hehehe…
Ya begitulah sepemahaman saya.
selamat menyiapkan penampahan. btw, di lapangan puputan badung pada selasa pagi tim nanoe biroe akan memecahkan rekor 80 jam menyanyi dan nglawar!
Luh De Suriyani
—
Kalo banyak kawan lain udah komentar tentang masalah kreatifitas, lalu kontent iklan dan sebagainya, yang nyaris semua itu berujung pada penilaian bahwa media cetak dan atau elektronik, di Bali cenderung low quality. Sebagian besar, aku pengen mengangguk saja. Amin.
Jika kawan-kawan perhatiin sekitar lima sampe 10 tahun lalu, media lokal di Bali banyak yang gembar gembor jangkauannya mulai Bali, Nusa Tenggara dan lebih banyak lagi. Media bali mampu menjangkau wilayah yang luas. Tapi belakangan, sepertinya itu tinggal masa lalu saja. Sekilas melihat, sekarang ini jangkau beritanya begitu2 saja, paling jauh banyuwangi. Ada trend media di bali tidak membesar, justru mengecil. Bahkan ada koran yang awalnya terbit secara nasional, belakangan hanya mengurusi ibu2 arisan saja.
Dari situ saja, sudah bisa dinilai persoalan qualitas itu. Kalo emang berkualitas, pastilah penerimaan dan jangkauan keterbacaannya makin tinggi dan luas, bukan mengecil.
Tapi, mari kita seimbangkan penilaian. Di beberapa media, cukup kuat ruang-ruang budaya yang ditampilkan. Ini sisi positif yang harus juga diacungi jempol. Media-media itu, secara ga langsung sudah menempatkan diri sebagai “benteng terakhir” budaya bali. jangan ini dilupakan.
Kelak aku mungkin akan makin suka baca media lokal bali, jika at least, mereka tau tentang arti “white space”,..
Arif Nofiyanto
—
nyaris semua media cetak di dunia, dalam lima tahun terakhir ini, mengalami penurunan dratis tirasnya. adakah ini juga terjadi di indonesia, juga bali?
media cetak memang beritanya kerap sama, features khusus berkurang karena sulit, baik nulisnya atau liputannya. muncullah jurnalis google, yang beritanya sudah ada semua di google
anak anak muda sekarang tak ada yang mau beli koran, mending beli pulsa.
koran sebenar kompas, jawa pos juga tak punya koresponden di luar negeri 🙂 kapan ada laporan tentang, misalnya, varanasi, atau tempat eksostis lainnya, dari segi jurnalisme loh, bukan turismenya
ketika film slamdog millionairre meledak, koran swiss mendapatkan berita dari penulis lepasnya, tentang kota tempat syuting film itu kompas, jawa pos, bali pos, nusa? beritanya ya itu itu saja
koresponden di daerah beritnya juga itu itu saja.
Krisna Diantha
Wah, sudah mendarat di sini
klo tahu mau dimuat disini, saya akan komen lebih berbobot dengan dukungan data,fakta, dan angka. 🙂 tapi sepertinya tulisan diatas sudah mewakilinya.
Wah, sayang ga ikut komentar bareng disana. Padahal cuman mau nambahin.
Koran koran di Bali iklannya tidak layak dibaca oleh anak anak. Itu saja sih. 😀
wuihhh panjang nok…….
Waaaaahhh… kok gak diedit ? mulai was”bakalan dituntut lagi…
iya, ga enak bacanya ni. mesti diedit dan diresume dulu pak. dikumpukan pendapat yang sejenis, dsb. biar ringkas dan enak dicerna.
walaaaah, bener mas.. kurang diedit dan dinarasiin. hehehe..
yang komen dari media kurang banyak yah?
Hmm..memang! saya sependapat bahwa media memang begitu adanya saat ini..
apapun itu sebaiknya kita berteimaksih karena udah ada orang yg mau memperluas iklan yg belum perah dibaca oleh orang lain, termasuk saya,
sekali lagi
thanks.
BETUL