Penulis: Nia Nur Pratiwi (Aktivis sosial Ubud, Bali)
Yogyakarta, 26 September — Kongres Pancasila XII yang berlangsung di Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti masalah kemerosotan moral di kalangan pejabat negara serta pentingnya pendidikan karakter yang kuat sebagai solusi jangka panjang.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI, Prof. Mahfud MD., mengungkapkan bahwa saat ini banyak pejabat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang tidak lagi merasa malu ketika terlibat dalam pelanggaran hukum. Ia menilai bahwa ada kecenderungan hipokrisi, di mana pejabat yang melakukan pelanggaran moral dan hukum justru merasa tidak bersalah selama belum ada keputusan pengadilan.
“Ternyata banyak pejabat kita yang bersikap munafik. Mereka tahu telah melakukan kesalahan, tetapi tidak merasa bersalah hanya karena belum ada keputusan pengadilan. Ini menunjukkan bahwa nilai moral di kalangan pejabat mulai pudar,” jelas Mahfud dalam panel diskusi bertajuk “Refleksi Moral dan Aktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”.
Kongres yang berhasil mengumpulkan sebanyak 60 lebih artikel dengan penyertaan beberapa penulis asal Bali ini juga menghadirkan Dr. Sukidi, cendekiawan dari PP Muhammadiyah, yang menekankan pentingnya memperbaiki moral bangsa melalui pendidikan karakter. Menurutnya, pendidikan karakter yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila sangat penting untuk membentuk masyarakat yang berintegritas dan bermoral. “Upaya membangun kembali negeri ini dengan semangat Pancasila harus dimulai dari pendidikan karakter, karena karakterlah yang menentukan kualitas kita sebagai manusia dan warga negara,” tandasnya.
Sesi tanya jawab juga membahas persoalan minimnya pendanaan untuk sektor pendidikan, yang dianggap belum menjadi prioritas oleh pemerintah. Beberapa peserta diskusi mengungkapkan kekhawatiran bahwa pendidikan, terutama untuk masyarakat miskin, masih belum mendapatkan perhatian yang memadai. Menanggapi hal ini, Sukidi mendorong adanya dialog antara pemerintah dan berbagai pihak untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih berkualitas dan inklusif. “Semua pihak harus bekerja sama untuk memastikan pendidikan berkualitas dapat diakses oleh semua kalangan, terutama masyarakat yang kurang mampu,” ucapnya.
Selain itu, isu meritokrasi juga turut menjadi topik diskusi. Sukidi menyatakan bahwa meskipun budaya feodalisme dan senioritas masih kuat di Indonesia, penerapan meritokrasi adalah sesuatu yang mungkin dan penting untuk mencapai kemajuan. Ia mencontohkan Singapura, yang sukses menerapkan meritokrasi di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, yang asal-usulnya berasal dari Semarang. “Meritokrasi bisa diterapkan di Indonesia, meskipun kita memiliki budaya feodalisme. Contohnya adalah Singapura, yang dibangun oleh Lee Kuan Yew dengan mengutamakan meritokrasi sebagai kunci keberhasilan negara tersebut,” ungkap Sukidi.
Diskusi ini menggarisbawahi pentingnya aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk moralitas pejabat dan sistem pendidikan. Kongres Pancasila XII berharap agar hasil dari diskusi ini bisa menjadi masukan yang berharga bagi pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi tantangan moral serta membangun sistem pendidikan yang lebih baik dan merata di masa depan.