Putri Santiadi
Kisah gadis dari Banjar Kelandis membawa pada pengelanaan. Selasa, 14 Maret 2023, aku mulai mendengar ceritanya melalui kisah yang sedang ramai dibincangkan oleh warganet, yaitu childfree. Dalam buku novel “Ni Pollok Model dari Desa Kelandis” karya Yati Maryati Wiharja, aku mulai mempelajari, mencari, bahkan mendalami kisahnya. Tujuannya hanya ingin mengenal bukan masuk dalam kehidupan itu.
Dalam diam, aku telusuri rumahnya yang sudah menjadi museum. Aku datang, percayalah niat ini bukan perihal menyelesaikan tugas kuliah, tapi merasakan ringkih situasi di tempat itu. Aku melangkah dari ujung Bali Utara menuju Bali Timur. Aku ditemani dengan rasa penasaran yang begitu besar, berbekal cerita Ni Pollok dalam ransel kecil, dan berjalan melewati jalan setapak yang aku temui karena bertanya kepada tukang parkir. Sendiri tidak semenakutkan itu, batinku. Nyatanya aku hanyalah perempuan Bali yang lama terbenam dalam gubuk kecil. Dan akhirnya, Beliau membuka pandanganku melalui cerita seorang gadis yang diperlakukan layaknya ratu tapi tak diberi kebebasan.
Di Museum Le Mayeur, Sanur terpampang dan terpajang lukisan-lukisan Ni Pollok yang terbungkus debu, tapi masih terlihat indah. Bagiku lukisan itu bukan tentang bentuknya tapi nilai yang berpengaruh untuk masyarakat. Selain itu, banyak informasi tentang rutinitas Ni Pollok dan Tuan Le Mayeur, bahkan ada beberapa foto yang menunjukkan wajah asli mereka.
Bukan perihal kecil, semakin lama aku telah terjerumus dalam rasa marah dan kecewa. Ini bukan hanya tentang kisah cinta, bukan hanya tari legong, ataupun seni lukis. Tapi, semua ini tentang keberadaan Ni Pollok yang menjadi model lukisan Tuan Belgia, Le Mayeur. Ia tidak hanya penari legong dalam pertunjukan, tapi pada kanvas, kuas, dan cat.
Tidak hanya di titik itu, pengelanaan kembali terjadi. Aku datang ke acara Festival Seni Bali Jani, pada Senin, 24 Juli 2023 untuk menyaksikan karya dari Naluri Manca yang mengangkat kisahnya, yaitu: perempuan sudra yang naik derajat. Mengapa demikian? Sejak menikah dengan laki-laki dari Belgia, ia menjadi terkenal hingga saat ini. Namun dibalik kisah cintanya yang romantis, ada rasa pilu yang tersimpan rapat, sebab tidak memperoleh buah hati dari pernikahan tersebut.
Naluri manca adalah komunitas seni kota Denpasar yang bergerak di bidang seni budaya melalui penggalian, pelestarian, pemanfaatan, pengembangan, dan pembaharuan atau inovasi (@balijanifestival, 2023). Pada kesempatan ini, Naluri Manca menghadirkan tari kontemporer “Ni Pollok” dengan menggabungkan antara kesenian daerah Bali dengan musik Barat yang disutradarai oleh Ida Bagus Eka Haristha.
Tak hanya itu, kisah ini diumpamakan bagaikan air, karena sifat air yang memiliki persamaan dengan manusia. Dalam narasinya diungkapkan bahwa jika manusia dapat memiliki sifat seperti air, maka mereka dapat saling mengisi satu sama lain, sehingga terjalin sikap saling bahu membahu antar sesama. Narator melantangkan kisahnya dengan keadaan panggung yang dihiasi lukisan-lukisan Ni Pollok. Hal ini semakin menggugah hati untuk menyaksikan hingga akhir cerita.
Tarian gadis-gadis itu seakan menunjukkan luka yang tak mendapat tempat, tak berpenghuni, dan hanya terpendam sampai batas kehidupan. Mereka menunjukkan gerakan-gerakan yang menyerupai lukisan-lukisan Le Mayeur, seakan melihat Ni Pollok menghiasi wajah mereka. Bahkan, balutan-balutan kain itu mengingatkan pada bab yang menunjukkan pertentangan pakaian yang disampaikan oleh Le Mayeur. Kain itu menutupi setiap lekukan tubuh gadis-gadis penari. Bukankah itu terlihat indah? Bukan hanya indah, tapi mewah.
Tidak hanya pakaian, mata ini tertuju pada gerakan lincah yang berusaha memberi isyarat kegelisahan, kemarahan, dan kesedihan. Hanya satu perempuan yang berteriak kencang, menangis sesegukan, dan kesakitan. Tak bisa ditahan, semua berlagak dengan sopan. Suara gamelan, biola, dan piano terpadu dengan nyamannya. Sekarang, aku terbius dengan aksi panggung yang nyata.
Bukan hanya aku, tapi para barisan manusia itu tidak berkutik dan berbisik. Mereka hening dengan tatapan yang berbinar ke arah panggung. Bagaimana aksi panggung ini akan berhenti? Seberapa lama gerakan-gerakan itu dimunculkan? Banyak pertanyaan di benakku. Alhasil semua terjawab saat penari yang tubuhnya dilukis dengan perpaduan warna biru dan putih memenuhi panggung dengan menggunakan gelungan di kepalanya, ialah penari legong. Tidak hanya satu orang, tapi ia dikelilingi oleh sepuluh penari yang juga mengenakan warna di tubuhnya.
Foto-foto: Putri Santiadi
Aku tak bisa menebak perhentian tarian ini. Hingga, sang pelukis yang berada di tepi panggung membawa hasil lukisan yang menyerupai Ni Pollok ke tengah panggung dan sang penyair kembali menyuarakan puisinya dengan keras dan dramatis. Aku tertegun melihat lenggak-lenggok sang penari Legong, seketika air muncul dari atas panggung Kalangan Ayodya.
Gemuruh suara penonton terdengar begitu takjub bukan berisik. Inilah akhir tari kontemporer dari Naluri Manca yang dihiasi dengan guyuran air, teriakan para penari, rasa geram, marah, kecewa, bahkan semua terlampiaskan di antara sela-sela air yang membasahi tubuh mereka. Kedua tangan mulai menyatu memberi isyarat bahwa penampilan ini menakjubkan. Tak ada celah untuk mengkritik bahkan membubuhi dengan makian, semua seirama dengan perumpamaan air.
“Bisu itu tak membawa aku pada kebingungan, tapi menyadarkan bahwa segala yang tulus akan diterima dengan baik.”
Great blog! Is your theme custom made or did you download it from somewhere? A design like yours with a few simple adjustements would really make my blog shine. Please let me know where you got your design. Thank you