Catatan perjalanan lama ini semoga bisa menginspirasi.
Ini adalah catatan perjalanan kesekian kalinya bersama komunitas Anak Alam. Februari lalu, saya dan komunitas Anak Alam melaksanakan perjalan ke desa yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Hanya dua orang dari tim kami yang mengetahui lokasi desa ini.
Lokasi desa ini sengaja dirahasiakan pada awalnya karena tajuk perjalanan kami kali adalah “Destination no where”. Jadi, kami tidak tahu seperti apa dan desa apa yang akan kita temui pada perjalanan kali ini.
Perjalanan dimulai dari Denpasar pukul 7.30 pagi. Rombongan kami dari Anak Alam saja berjumlah sekitar 12 orang. Perjalanan sampai Kintamani kira-kira menghabiskan waktu 1,5 jam. Kita bertemu lagi dengan rombongan lainya di Museum Gunung Berapi Batur. Setelah menunggu sekitar 30 menit, kami melanjutkan perjalanan menuju desa yang tidak kami ketahui namanya.
Perjalanan kami menuju kaki Gunung Abang. Perjalanan ke desa tersebut tidak dapat kami duga sebelumnya. Jalan terjal, berpasir dan hanya bisa dilewati satu buah mobil secara bersama. Perjalanan yang bisa dibilang sangat menegangkan.
Perjalanan ke desa tersebut kurang lebih memakan waktu dua jam perjalanan. Perjalanan yang sangat lama karena infrastruktur jalan di sana bisa dibilang sangat tidak layak untuk mobil.
Akhirnya rasa penasaran kami terjawab. Desa yang kami tuju adalah Desa A dan B, yang termasuk kawasan Trunyan, Kintamani, Bangli.
Kesan pertama setelah saya sampai desa ini adalah desa ini sangat sulit dicapai oleh bantuan. Pemandangannya sangat luar biasa. Kita bisa memandang ke arah lautan lepas dan hampir bisa melihat seluruh wilayah Kabupaten Karangasem. Setelah sampai di sana kami menyempatkan diri bercengkrama bersama warga, kelian adat (kepala desa) dari kedua desa dan satu-satunya bidan yang telah mengabdi selama dua tahun di desa ini.
Dari penuturan kepala Desa A dan B di desa ini masih sangat kekurangan air bersih dan listrik, terutama warga Desa B, karena terletak lebih jauh dari Desa A dan letaknya yang terletak jauh di balik bukit.
Menurut penuturan Kepala Desa tersebut di desa mereka sering menagalami pencurian. Barang yang dicuri berupa ayam, sapi dan hasil ladang milik warga. Walaupun mereka sudah melaporkan kasus pencurian tersebut kepada pihak berwajib, tapi tidak ada respon apapun dari pihak berwajib. Ya mungkin karena pihak berwajib malas ke desa yang sangat jauh ini.
Kisah lainnya berasal dari bidan yang telah dua tahun mengabdi untuk desa ini. Saya sempat berkenalan dan bidan tersebut memperkenalkan dirinya dengan nama Desak. Menurut penuturan teman saya, bidan tersebut berusia sebaya dengan umur saya, sekitar 23 Tahun.
Beliau dikontrak oleh Pemerintah Kota Bangli untuk mengabdi di desa terpencil ini. Beliau sempat ingin mengundurkan diri dari pekerjaannya menjadi bidan di desa ini karena sering mengalami kecelakaan saat menuju ataupun pulang dari desa ini. Jalan menuju desa ini sangat berbahaya.
Namun, warga yang sudah telanjur menerima kedatangan bidan ini, tidak begitu saja membiarkan Ibu Desak ini untuk selesai menjadi bidan di desa tersebut. Alhasil warga desa secara sukarela mau mengantar jemput Ibu Desak ini dari tempat tinggalnya di desa bawah menuju desa tempat mereka tinggal.
Menurut penuturan ibu desak, kapasistasnya di desa ini berubah dari hanya seorang bidan menjadi sorang bidan yang multifungsi. Kenapa multi fungsi? Karena beliau tidak hanya menangani masalah yang berhubungan dengan kandungan tapi beliau juga mau tidak mau memeriksa kondisi kesehatan para warga layaknya seorang dokter umum.
Menurut beliau setelah dua tahun di sana, mulai ada perubahan drastis terhadap perilaku hidup sehat para warga sekitar. Mereka mulai tanggap dengan kesehatannya. Namun, karena kapasitas bidan ini yang terbatas, apabila ada warga sakit parah dan butuh bantuan dokter spesialis, bidan ini tidak bisa bertindak apa-apa lagi. “Bahkan warga yang sakit tersebut pasrah dan membiarkan penyakitnya sampai sembuh dengan sendirinya,” begitu penuturan beliau terhadap kami.
Saya sangat salut terhadap wanit muda ini. Dia rela jauh-jauh dari desa di bawah yang berjarak kurang lebih dua jam untuk mengabdikan dirinya terhadap masyarkat. Apa anggota DPR kita bisa seperti itu?
Sesudah kami berbincang bincang dengan warga kami, beranjak menuju sekolah untuk memberikan sedikit ilmu kami kepada mereka. Kami juga menyumbangkan beberapa sumbangan yang sudah kami siapkan dari Denpasar sebelumnya. SD Negeri 3 Terunyan, SD tersebutlah yang kita datangi. Ini adalah SD satu-satunya yang ada di desa ini.
Di SD ini kami bertemu dengan siswa 118 siswa dari kelas 1 sampai kelas 6. Awalnya mereka sangat sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kami. Mungkin mereka agak bingung juga karna bertemu orang-orang baru.
Seusai teman-teman saya mengajarkan mereka sedikit bahasa Inggris dan pelajaran lainnya, para siswa dikumpulkan di halaman sekolah. Di sini saya melihat pemandangan yang tidak pernah saya jumpai sebelumnya. Mereka membawa plastik belanjaaan berisi buku. Saya kira itu merupakan bingkisan dari teman-teman saya. Namun, ternyata itu tas sekolah mereka.
Ya, mereka bersekolah menggunakan tas plastik yang beberapa sudah kusam dan robek. Walaupun tidak semu anak menggunakan tas plastik namun pemandangan ini sangat jarang dapat saya lihat. Miris. Bahkan untuk tas sekolah saja mereke manggunakan plastik.
Dari penuturan mereka, mereka menggunakan tas plastik untuk sekolah karena takut tas mereka rusak karena hujan. Desa tersebut bisa dibilang sangat sering terjadi hujan. Oleh karena itu mereka memlih menggunakan tas plastik untuk sekolah. Namun, ada juga yang terpaksa menggunakan tas plastik karena benar-benar tidak mempunyai tas untuk sekolah.
Selain itu sebagian besar dari mereka tidak menggunakan sepatu untuk sekolah, melainkan menggunakan sandal. Bahkan ada beberapa dari mereka tidak menggunakan alas kaki. Saya sempat menanyakan apa mereka mandi setiap mau berangkat sekolah. Mereka pun menjawab dengan plosnya tidak pernah mandi untuk ke sekolah karena air yang sangat susah. Mereka hanya mandi pada saat ingin sembahyang..
Ya, air merupakan salah satu benda langka di sini karena mereka harus menampungnya dari air hujan. Dari penuturan mereka ada beberapa dari mereka yang harus menempuh jarak sekitar 8 km untuk menuju sekolah tersebut dengan berjalan kaki. Ya, berjalan kaki! Mereka dengan entengnya menjawab, “Cuma 2 jam perjalanan kok kak dari rumah saya.” Cuma?
Waw seorang anak sekolah dasar yang semangat belajarnya sangat tinggi untuk bersekolah, luar biasa kan? Bagaimana dengan kita yang sudah diberikan kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan lebih mudah?
Saat bercengkrama dengan murid-murid disana, ada satu murid yang sangat menarik perhatian saya. Namanya Masari, umurnya 9 tahun, kelas 3 SD. Menurut penuturan teman saya yang pertama kali pernah datang ke sana, anak tersebut dia ajarkan angka-angka dalam bahasa Inggris mulai dari 1 – 10. Anak tersebut dapat menghapalnya dalam beberapa menit saja. Bahkan teman saya mengatakan sampai hari ini pun di masih mengingat pelajaran bahas Inggris yang dia ajarkan dan ingin diajarkan angka 11-13.
Pintar bukan? Bahkan di desa terpencil seperti A dan B ini kami masih bisa mendapatkan mutiara-mutira yang hanya perlu sentuhan kecil agar bisa jadi mutiara yang bersinar.
Di sekolah ini kami membagikan tas, buku dan sepatu terutama bagi mereka yang bersekolah tanpa alas kaki dan yang menggunakan sandal. Uniknya saat saya sempat memakaikan sepatu kepada salah seorang anak, dia seperti bingung, layaknya seseorang yang baru pertama kali menggunakan sepatu.
“Gimana, Dik? Mau dengan sepatu ini? Pas tidak di kaki?” tanya saya.
Dia hanya menjawab dengen gelengan kepala sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ekspresi yang lucu namun juga mengungkapkan kebingungannya, “Benda apakah ini?” Begitu mungkin yang ada dipikiran mereka.
Jujur saya kurang merasa puas memberikan sumbangan kali ini. Ada beberapa anak yang seharusnya mendapatkan sepatu, namun tidak mendapatkan karena jumlah sepatu yang terbatas dan ukuran yang terbatas pula. Setelah usai membagikan sumbangan itu kami pun beranjak pamit pulang. Tentu saja sebelum pulang kami sempat berfoto bersama dengan mereka.
Sebenarnya banyak yang bisa saya utarakan di sini. Namun karena ingatan saya terbatas dan ide saya untuk menulis sudah habis karena kelelahan jadi hanya ini saja yang bisa saya ceritakan. Jika ada pertanyaan silakan tanyakan langsung kepada seaya melalui email ataupun komentar di bawah ini.
Oh iya, bagi siapa saja yang ingin menyumbankan, sepatu, sandal ataupu lainnya yang berhubungan dengan anak-anak, kami dari Komunitas Anak Alam sangat menerimnya. Apabila ada yang mau memberikan sumbangan tenaga, kami juga akan menerimanya dengan ikhlas.
Semoga cerita ini dapat menginspirasi, terutama generasi muda yang terkadang malas untuk menempuh pendidikan. Hey lihat, di luar sana masih banyak yang lebih kurang beruntung dibanding kalian.
Maaf tulisanya sedikit berantakan, semoga menginspirasi. Sampai bertemu lagi di kisah desa-desa terpencil lainnya. [b]
mungkin masih banyak desa-desa seperti ini yang tidak terjamah oleh apapun…
Iya pasti banyak. padahal ini terletak di salah satu desa destinasi wisata paling terkenal di Bali
saya tertarik membaca artikel mengenai kondisi adik2 kita dipedalaman,saya ingin menanyakan nama pasti desa tersebut yang disebutkan dengan desa A dan B di wilayah Trunyan,karena jika bisa kami ingin menyampaikan sekedar bantuan..
terima kasih
saya takutnya jika nanti saya berikan disini nama desanya para investor akan berbondong bondong kesana untuk membeli tanah disana hehe,..karna meunurut penuturan kepala desa, pernah ada investor yang ingin membangun villa di daerahnya 🙂
maaf tadi foto belum nampak,sekarang sudah kami lihat nama sekolahnya, terima kasih
keren. kalau mau ikut berkontribusi gimana caranya?
ayo bli kapan2 ikut aja langsung ke lapangan, follow aja twiternya Komunitas Anak Alam @anak_alam 🙂
Tega bener menyebut desa antah berantah, seolah-olah nama desa di Bangli tak pantas disebutkan. Tahu nggak gimana marahnya warga indo ketika justin beiber bilang indo ‘random country’? Ini sama seperti itu. Tak sopan. Kalau alasannya krn takut investor datang kesana utk beli tanah, kayaknya agak lebay. Mestinya amankan dulu tanah2 di Denpasar, jangan sampai dijualin terus krn ingin kaya instant. Yg di Denpasar dijualin ke investor luar Bali saja tdk apa-apa koq. Saya sih nggak yakin kalau ada org yg tulus peduli thdp masalah spt itu di Bali, bahkan terhadap org Balinya sendiri. Kebanyakan yg koar-koar peduli lingkungan, adat, budaya, ini, itu, kebanyakan juga hanya utk keuntungan pribadi dan golongan saja koq. Bullshit banget. Lagipula Anda bisa menyebut nama Desa A dan B saja di Headline nya, nggak usah sebut desa antah berantah. Orang Bali koq melecehkan daerahnya sendiri. Gimana sih?
Itu Hanya Perumpaan Bli, kalau misalnya ada salah saya minta maaf, tapi ini sudah melalui editing dari admin dan lolos edit , artinya emang tulisan saya ini layak untuk di publish dan tidak bermaksud menghina siapa-siapa 🙂
silahkan minta admin untuk mengedit judul apabila anda keberatan 🙂