
Masa kanak-kanak adalah masa pertumbuhan, terutama pertumbuhan pada gigi. Coba ingat-ingat, berapa kali kamu ke dokter gigi ketika masih anak-anak? Kalau saya mungkin sudah mencapai puluhan kali, mencabut gigi yang goyang, menambal gigi berlubang, belum lagi kalau ada sakit ketika gigi baru tumbuh.
Puskesmas dan klinik dokter gigi di dekat rumah menjadi saksi pertumbuhan gigi di masa kanak-kanak. Puskesmas dan klinik mana pun bisa saya masuki karena bagi saya dan keluarga itu sama saja. Namun, bagaimana dengan anak-anak berkebutuhan khusus?
Perawatan gigi Rp28 juta dalam setahun
Nala, seorang anak berusia lima tahun dengan autism spectrum disorder (ASD) memiliki masa kanak-kanak yang berbeda dari anak kebanyakan. Pagi itu saya mendatangi klinik perawatan gigi di Jl. Bypass Ngurah Rai untuk menemui Virgin, ibu dari Nala.
Dengan pakaian santainya, Virgin mengajak saya menuju lantai dua, tempat Nala sedang ditangani oleh dokter gigi. Ruang perawatan biasanya lengang, diisi oleh satu dokter, satu perawat, dan satu pasien. Namun, hari itu ruangan tampak penuh. Lima orang mengelilingi Nala yang terbaring dengan dipeluk ayahnya di bawah. Dua dokter masing-masing berdiri di sisi kanan dan kiri, sedangkan tiga perawat lainnya memegangi kepala dan kaki Nala.
Suara mesin terdengar hingga ruang tunggu, tapi tidak ada tangisan. Tangisan Nala mulai terdengar ketika bor dihidupkan. “Karena kan anak autis tuh takut sama noise (suara berisik),” ujar ibunya.
Cara itu adalah satu-satunya pilihan untuk Virgin dan suaminya. Entah sudah berapa rumah sakit dan klinik perawatan gigi yang ia kunjungi, tapi yang bisa menangani Nala hanya klinik itu saja.
Virgin menyebut ada faktor keberuntungan yang membawanya ke klinik di Jl. Bypass Ngurah Rai tersebut. “Dulu dia pernah abses juga di (gigi) depan waktu umur 2.5 tahunan. Nah, tapi waktu itu belum ada spektrum autisnya. Cuma waktu itu langsung ke sini karena yang buka Sabtu cuma ini,” jelas Virgin. Setelah pindah rumah dan Nala didiagnosis ASD, Virgin mencari-cari klinik perawatan gigi terdekat, tapi tidak ada yang cocok.
“Yang lainnya tuh nggak berani, jadi malah kita disaranin bius total sampai Rp28 juta, itu di RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut),” ujar Virgin. Ketika ditangani dan diperiksa, Nala memang tidak bisa diam, sehingga beberapa rumah sakit yang didatangi menyarankan Nala agar dibius total. Dalam sekali bius semua gigi langsung ditangani, tapi biayanya mencapai 90 kali lipat dari biaya dokter gigi umumnya.
“Ya memang sih anaknya nggak akan trauma, tapi masalahnya kita mikirnya waktu itu toh dia nggak akan ke dokter gigi cuma saat ini aja. Ke dokter gigi kan bakalan setiap tahun,” ungkapnya menjelaskan pertimbangan tidak melakukan bius total. Pertimbangan lainnya adalah ketika bius total dilakukan, memori Nala saat pemeriksaan akan hilang. “Sementara, mereka pasti akan ke dokter gigi paling nggak 6 bulan sekali, 1 tahun sekali pasti akan ke dokter gigi. Karena kan gigi ada yang tumbuh, ada yang lubang segala macam,” imbuhnya.
Akhirnya, Virgin kembali ke dokter gigi di Jl. Bypass Ngurah Rai. Setiap dua minggu ia mengantar Nala ke dokter gigi tersebut karena penanganan tidak bisa dilakukan langsung dalam sekali. Biaya ekstra mesti ia keluarkan karena tenaga tambahan diperlukan dalam sekali perawatan.
Upaya kesehatan gigi dan mulut yang inklusif
Virgin adalah satu di antara sekian orang tua dari anak berkebutuhan khusus (ABK) yang menyadari risiko karies pada anak. Sebuah jurnal berjudul Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Orang Tua tentang Risiko Karies pada Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri 1 Gianyar melakukan survei pada 110 orang tua dari anak berkebutuhan khusus. Hasilnya, mayoritas orang tua ABK memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang risiko terjadinya karies gigi (pembusukan atau perusakan pada tulang atau gigi).
Jurnal tersebut juga menjelaskan bahwa karies merupakan penyakit gigi dan mulut yang dialami hampir setengah populasi dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun 2019, temuan karies di Indonesia pada rentang usia 3-4 tahun adalah 81,1%, rentang usia 5-9 tahun adalah 92,6%, dan rentang usia 10-14 tahun adalah 73,4%.
Dalam kasus Nala, karies terjadi karena kebiasaan minum air susu ibu (ASI) sambil tidur saat masih kecil. Ketika dikonsultasikan ke dokter, Virgin baru mengetahui bahwa kebiasaan itu dapat menyebabkan karies gigi.
Sayangnya, pengetahuan yang baik tentang karies gigi ini tidak diakomodasi dengan fasilitas yang baik dalam hal kesehatan gigi dan mulut pada anak. Seperti yang dirasakan oleh Virgin, yaitu susahnya mencari klinik perawatan gigi yang mampu menangani ABK. Pasalnya, untuk menangani ABK diperlukan dokter gigi yang tegas dan komunikatif.
Sejauh ini Virgin mengaku belum menemukan spesialis gigi anak berkebutuhan khusus, paling hanya spesialis gigi anak. Bahkan, spesialis gigi anak pun belum tentu bisa menangani ABK. Alasan ini yang membawa seorang dokter gigi, Ayu Bintang Rena Sanjiwani Budhiarta menginisiasi komunitas bernama Senyum Bintang.
Komunitas ini berawal dari pengalamannya ketika duduk di semester tiga program studi Kedokteran Gigi. “Emang iya semua orang udah dapat basic right-nya? Tapi rasanya aku ngelihat kalau misalnya ikut volunteering, cek gigi anak-anak di banjar itu rasanya kok masih banyak yang lubang, hitam, giginya rusak,” ujar Rena. Setelah ia mencari tahu lebih lanjut, ternyata ada kelompok yang kurang representatif dan belum dilihat dalam kesehatan gigi dan mulut, yaitu anak berkebutuhan khusus.
Awalnya Rena berpikir untuk mencapai kesehatan gigi dan mulut yang inklusif diperlukan pengembangan teknologi kedokteran gigi. Setelah terjun lebih dalam dan berkesempatan belajar di luar major kedokteran gigi dengan mengambil minor interdisipliner Health in Social Science dengan beasiswa di Edinburgh, Rena memahami bahwa rasa sakit tidak selalu disebabkan oleh virus dan bakteri. “Tapi banyak banget ada determinan sosial di balik itu (rasa sakit), bahkan sistem politik, kondisi sosioekonomi, dan budaya itu juga mempengaruhi kesehatan individu,” terangnya.
Lain lagi dengan ABK yang kesehatan gigi dan mulutnya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Maka dari itu, Rena memilih untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan gigi dan mulut yang inklusif melalui Senyum Bintang.

Aktif pada tahun 2022, Senyum Bintang melakukan advokasi terkait isu kesehatan gigi dan mulut yang inklusif. Inklusif artinya melibatkan semua orang, tanpa terkecuali, tanpa meninggalkan salah satunya. “Kedokteran gigi inklusif yang kita pengen itu ya sesuatu yang komprehensif. Ini kalau di istilah kedokterannya itu berangkat dari promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif,” terang Rena.
Dalam istilah kesehatan, promotif artinya pelayanan kesehatan yang mengutamakan kegiatan bersifat promosi kesehatan. Preventif atau pencegahan adalah tindakan untuk mencegah atau menghindari terjadi masalah kesehatan. Kuratif berarti penyembuhan, yaitu pengobatan untuk menyembuhkan penyakit, mengurangi penderitaan akibat penyakit, atau pengendalian penyakit. Sementara itu, rehabilitatif berarti pemulihan yang ditujukan kepada pasien agar dapat kembali beraktivitas dengan normal.
Rena menyadari di bagian kuratif dan rehabilitatif terdapat hambatan untuk mencapai, sehingga Senyum Bintang sejauh ini hanya bisa menjalankan peran promotif dan preventif. “Sebenarnya ada juga keinginan lebih kayak cara data untuk advokasi lebih lanjut. Jadi awalnya tuh pengen kayak ada yang bagian community outreach-nya sama yang satu lagi research institute-nya,” jelas Rena.
Sejauh ini, Senyum Bintang melakukan pendekatan ke yayasan yang menjadi wadah untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Kegiatan yang dilakukan berupa penyuluhan sederhana dan membagikan alat pembersih gigi, seperti sikat gigi, handuk kecil, dan pasta gigi. “Gitu aja sih yang semampunya kita waktu itu karena kita kolektif banget,” ujar Rena.
Senyum Bintang masih belum aktif berkegiatan lagi karena masing-masing anggotanya memiliki kesibukan masing-masing. Belum lagi pendanaan yang terbatas karena biaya yang dikeluarkan berasal dari kantong pribadi anggotanya. Meski begitu, Rena mengaku masih ingin melanjutkan Senyum Bintang dan saat ini tengah menunggu kabar pendanaan dari lembaga donor.
Komunitas seperti Senyum Bintang sangat jarang ditemukan di Bali, terutama yang mengadvokasi isu kesehatan gigi dan mulut. Masalah ini tampak kecil karena tidak terlihat dan hanya sebagian kecil individu yang merasakannya. Padahal, pada dasarnya setiap individu berhak mendapatkan akses kesehatan yang layak. Ketika hak dasar belum terpenuhi, siapa yang bertanggung jawab?
sangkarbet slot gacor slot88 slot gacor