Oleh Ni Komang Ayu Napia Gari
Tepat pada 22 September 2017 ketika kakeku sedang menjalani pengobatan di rumah sakit, dan aku sedang merawatnya, dan sudah malam aku pulang dan pada saat itu memang aku tak tahu apa yang terjadi.
Ibuku pun menyuruh untuk mengemasi barang dan aku bertanya-tanya. Buk kita mau kemana? Dan apa yang terjadi? Kenapa barang-barang kita kemasi?
Ibu pun menyatakan bahwa Gunung Agung berada di level Awas dan aku pun menangis karena masih mengingat kakekku yang terbaring lemas!!!
Dan akhirnya ayahku menjelaskan di sana ada petugas rumah sakit. “Selamatkan dulu nyawa kita,” ujar bapak. Saat itu juga aku mulai berkemas, pukul 09.43 malam.
Sesampainya aku di Desa Jasri terjadi kemacetan! Hingga pukul 04.03 pagi aku baru sampai di Desa ‘Wisma Kerta’ di rumah nenekku. Aku di sana selama 3 bulan.
Selama berada di pengungsian, aku merasakan manis pahitnya kehidupan berujung. Makanan pertamaku adalah nasi dari banjar. Terasa hati ini sedih karena mendapat lauk dan sayur yang tak aku suka dan pahit rasanya.
Aku pun sekolah di sana di SMP 3 Sidemen. Di sana aku memiliki teman 4 orang aku di sana merasa senang tetapi juga merasakan sedih. Kangen dengan teman-teman. Aku pun merasa bosan dan memaksa pulang.
Akhirnya ibu, ayah, dan keluarga mau pulang hatipun merasa bahagia.
Sesampai di rumah, kondisi rumah sangat buruk dan banyak sampah rumahku terlihat seperti rumah kosong yang tak terawat. Aku dan ibu mulai bersih-bersih dan merapikannya.
Aku mulai sekolah lagi ke sekolah asalku. Hari pertama sekolah teman-temanku memelukku. Sangat bahagia rasanya aku kembali ke desa dan sekolah asalku. Itulah teman-teman kisah dan pengalaman saya dalam kepanikan erupsi Gunung Agung. [b]