Di tengah pandemi, kasus kekerasan pada ODHA pun dibahas. Selama tiga terakhir ini, kasus kekerasan tercatat meningkat, baik fisik maupun psikis.
Jumlah kasus kekerasan pada ODHA yang didata sebanyak 95 orang pada 2017. Menjadi 148 pada 2018, dan terakhir 172 kasus pada 2019.
Program pendampingan dan penjangkauan kasus kekerasan pada ODHA oleh Robert Lemelson Foundation ini dihelat selama 3 tahun di 3 daerah yakni Denpasar, Badung, dan Gianyar dengan 3 tim penjangkau (outreach). Selain asistensi hukum, juga ada pendampingan psikososial perempuan dan anak dengan HIV AIDS (ODHA). Hal ini dibahas dalam diskusi Monitoring dan Evaluasi oleh LBH APIK Bali di Inna Sindhu Beach Hotel, 21 Agustus 2020.
Luh Nilawati, Direktur LBH APIK Bali mengatakan ini adalah evaluasi karena sudah berjalan 3 tahun. Program ini berawal dari kasus-kasus kekerasan pada ODHA. “Asumsi awalnya kekerasan fisik sehingga bisa beri bantuan hukum, namun ternyata juga psikis,” urainya. Sebagai langkah awal adalah pelatihan bagi survivor yang bisa bantu diri dan sebayanya.
Program ini melibatkan penjangkau yang juga ODHA menyebar di 3 kabupaten, yakni Niken di Gianyar, Yuke di Badung, dan Putri di Denpasar. Dibentuk juga kelompok dukungan setara seperti perempuan dan anak. Asistensi dengan para pihak dan desa. Misalnya walau Perarem sudah ada, namun kurang tersosialisasikan. “Mereka tak memilih tinggal di desa adatnya tapi kos menghindari stigma,” lanjut Nilawati.
Perempuan dan anak ODHA disebut jarang mau mengambil obat di RS di daerahnya, karena kemungkinan takut dan stigma tenaga kesehatan yang ada hubungan dengan anggota keluarganya.
Konseling psikologis di sepanjang program dilakukan oleh psikiater dr Sri Wahyuni. “Kebutuhan konseling psikologis ini harus ada selamanya. Bulan ini selesai, tapi kasus terus ada,” harap Nilawati. Kendala lain menjalankan program, sejak Maret masa pandemi ini tak bisa dihelat program Setara.
Dokter Sri Wahyuni menjelaskan masalah psikologis, sosial, dan ekonomi membuat ODHA jadi populasi rentan. “Ada yang 10 tahun menutup diri, mulai terbuka setelah kerja di yayasan, atau KDS. Mereka cenderung menarik diri dari masyarakat, sehingga interaksi dengan masyarakat berkurang,” papar perempuan yang praktik pribadi dan di RSUP Sanglah ini.
Diskriminasi pada ODHA masih ada karena stigma masyarakat sebagai penyakit menular seksual, homoseksual, dan penyalahguna narkoba suntik. Padahal data menyebutkan, satu dekade ini didominasi heteroseksual.
Anak-anak sudah ditapis dari tes lebih dini pada ibu hamil. “Paliative care, tetap berproduktif walau terus minum obat. Namun masalah psikis ini paling besar,” jelas Sri menjelaskan HIV AIDS halnya sama dengan penyakit lain.
Pandemi ini membatasi konseling sehingga trauma muncul lagi. Misalnya setelah tak bertemu 6 bulan, kembali tak mau bercerita, hanya di rumah karena sekolah dari rumah. “Kembali nol yang setelah satu tahun dibina. Ada yang sampai 9 tahun tak bisa baca, karena nenek (pengempu) tak bisa mengajari,” contohnya.
Hal yang berperan penting adalah bertemu dengan komunitas ODHA untuk berbincang berbagai masalah, tanpa takut stigma.
Menjangkau MSM (male sex male) menurutnya fokus pada membuka diri pada keluarga dan berhubungan yang sehat dan terbuka. Sementra transpuan lebih banyak buta huruf, ada keterampilan tapi tak ada yang memanfaatkan. “Mereka korban preman, diperas karena kerja tengah malam. Ditunggu depan kos untuk minta uang, kalau libur, diminta dobel. Sudah bayar KIPEM, juga preman,” keluh Sri.
Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang berusia di bawah 10 tahun dalam program ini sebanyak 8 orang. Usia 10-20 tahun sebanyak 7 orang, usia 30-40 sebanyak 8 orang, dan usia 40-50 tahun sebanyak 6 orang.
Bagi ODHA yang masih menolak minum obat ARV, ada yang pinjam uang untuk ke dukun karena ada infeksi oportunistik, setelah suaminya meninggal. Dukun menjanjikan sembuh dengan biaya Rp 50 juta. Ada juga nenek yang masih menolak cucunya sakit karena HIV. “Paling banyak menstigma diri sehingga putus obat karena dijanjikan sembuh oleh pihak lain,” keluhnya.
Efek samping obat ARV menurutnya ada kemungkinan menimbulkan depresi, dan ini perlu dipantai. Penolakan minum obat terjadi pada anak-anak karena efek sampingnya. Dari sesi konsultasi psikiater, anak berusia di bawah 10 tahun sebanyak 6 orang.
Alasan konseling kebanyakan denial, tertutup, dan diskriminasi. Sementara ODHA yang mengalami KDRT sebanyak 23 orang karena masalah ekonomi, suami tak mau tes atau berobat.
Dari konseling diketahui, gangguan depresi sedang-berat sebanyak 22 orang, gangguan cemas dan depresi 7 orang. Gangguan pemusatan perhatian 4 orang, gangguan perkembangan calistung 1 orang, ADHD 4 orang, dan bipolar satu orang tak bisa dikunjungi sampai sekarang.
“Jika program berakhir, perlu kelanjutan pemberian obat. Masih banyak yang tidak punya JKN KIS atau BPJS,” harap Sri. Dukungan sesama juga menurutnya sangat penting untuk menguatkan dan menurunkan angka cemas. Survivor ODHA yang jadi pendamping menurutnya sebaiknya terbebas dari masalah mental emosional karena ada pendamping yang mogok minum obat, harus diskrining juga.
Dewa Anom dari Dinsos Provinsi Bali menjelaskan dalam konvensi hak anak termasuk perlindungan khusus hak anak. “Saya tahu (stigma) karena di kampung saya saja, di sebuah keluarga di Jembrana, ada anak ODHA dipisahkan tempat piring, makan, minum dari keluarga lain. Masih terjadi anak dikeluarkan dari sekolah,” tuturnya.
Hal yang perlu dilakukan adalah menggerakkan pemangku kepentingan dalam memberikan perlindungan pada anak, dan fasilitasi bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas kaluarga.
Ia menjabarkan dalam program Dinsos, perlindungan khusus ini di antarnya bantuan sandang dan pangan, jaminan sosial, dan lainnya.
HIV AIDS dan Covid-19
Doker Oka Negara, Ketua Forum Peduli AIDS (FPA) menceritakan pihaknya barutur ke Gianyar, Klungkung, dan Karangsem pasca dibentuknya FPA pada Juli 2020 ini. Ia mengatakan HIV AIDS mirim dengan Covid-19, penyebab meninggalnya karena komorbid/peyakit penyerta dan jenis tesnya antibodi dan PCR. “HIV sampai sekarang belum ada vaksinnya. Tidak bisa diterapi dengan vaksin tertentu karena gampang berubah, jadi paling efektif obat kombinasi ARV, selalu ada obat baru,” jelasnya. Makanya sekarang, ODHA harus secepat mungkin ARV, dulu syaratnya jika CD4 di bawah 200.
Tiga pertanyaan penting yang selalu ditanyakan adalah apa HIV, gejala, dan penularan. Itu terus sejak belasan tahun, walau sudah banyak informasi.
Penularan HIV ke tubuh manusia mellaui darah, cairan sperma, dan vagina. HIV tak menyerang tubuh, tapi CD4. Kalau habis, tubuh tak terlindungi akhirnya muncul infeksi oportunistik seperti diare, hepatitis, dan lainnya.
Perjalanannya ditandai dengan stadium 1-4, tes antibodi pada masa 6 bulan bisa jadi negatif karena CD4 masih banyak. Harus tes lagi 3-6 bulan kemudian, jika positif ini disebut fase HIV.
Stadium 3, tergantung jenis virusnya, ada perlawanan, baru masuk AIDS (stadium 4) baru kelihatan sakitnya.
Tak sedikit pasien yang sudah kadung masuk stadium 4. Oka mengingat ketika sejumlah pejabat salah menjelaskan HIV AIDS. Misalnya ada yang menyebut cairan keringat dan ciuman bisa menulari, demikian juga dokter terkenal di acara TV.
Air Susu Ibu masuk sebagai pencegahan positif ke bayi tapi di Afrika tidak karena sulit mencari pengganti ASI, karena itu nutrisi penting bagi bayi.
Penularan pada bayi dari ibu ODHA, sekitar 15-20% saja. Makin kecil jika ikut terapi obat pencegahan penularan ibu ke anak (PMTCT) dengan minum ARV, persalinan seksio, penularan jadi nol. Dari sekitar 22 ribu kasus positif, terbanyak heteroseksual, usia produktif, lebih banyak laki-laki, terbanyak Denpasar. Bali adalah lima kasus besar di Indonesia.
Kasus pertama ditemukan di Bali pada 1987. Program kampanye saat ini adalah Triple Zero, no diskriminasi, kasus kematian, dan kasus HIV pada 2030.
Perbedaannya dengan Covid, sumber penularan inveksi SARS-Cov-2 penyebab Covid-19 adalah manusia. Dari dproplet, percikan liur karena antigen virusnya terkonsentrasi di saluran nafas, dan sedikit di saluran cerna.
Ada juga penelitian, virus ini bisa di permukaan benda mati dan udara (aerosol) jika tak bagus sirkulasi udara. “Uap alkohol saya tidak setuju, takutnya virus ke mana-mana lewat aerosol,” imbuh Oka Negara.
Pelayanan HIV dan AIDS selama pandemi kurang efektif karena banyak pelayanan terhambat, edukasi, konseling dan tes HIV, penjangkauan, serta pemberian obat terhenti. Hampir semua tes HIV ada di RS rujukan Covid. Walau pelayanannya sudah dibuka, pasiennya tidak datang.
Pencegahan pada ibu dan anak juga berkurang, takut datang. ARV juga terkendala. “ARV yang kita produksi, 80% bahan baku dari India, saat itu mereka lockdown sempat stok habis,” sebutnya di awal masa pandemi.
Jika minum ARV apakah bisa fatal karena positif Covid-19? Menurutnya belum ada bukti. Apakah HIV meningkatkan risiko terinfeksi Covid-19? “Tidak, dari pasien di Wuhan tidak ada kasus ODHA,” jelasnya. Bahkan ada jurnal ilmiah, bahwa ARV sedikit membantu, bahkan ada obat ARV yang digunakan sebagai obat menangani Covid-19. Tapi belum ada rekomendasi resmi.
Badai sitokin di pasien Covid tak berlaku di ODHA, namun ini perlu penelitian lebih lanjut.
Tantangan yang nyata adalah ODHA takut, dan ini menurunkan imunitas, masalah utama depresi dan kecemasan.
Kasus HIV AIDS tahun ini yang tercatat sedikit menurutnya bukan prestasi, karena sedikit yang dites. Sama dengan Covid-19. “Prinsipnya, selama pandemi ini ARV tak boleh putus, juga layanan psikososial,” harap Oka.
Gusti Mertanadi, seorang pengurus adat dari Banjar Abianbase mengakui sejumlah kegiatan jarang menyentuh kemanusiaan. “Lebih bangga buat banjar, banyak kebijakan tak nyambung dengan desa. Tumpang tindih dan tidak berkelanjutan,” sebutnya.
Dalam diskusi ini juga dibahas cara memandikan ODHA saat prosesi kematian, dan ini juga berlaku di Covid. Namun belum ada data seseorang terinfeksi HIV dari prosesi ini.