Ni Wayan Sekariani, cucu pertama sang maetro alm Ni Ketut Cenik bersimbah peluh setelah menarikan berbagai lakon dalam pagelaran kesenian rekonstruksi di arena Pesta Kesenian Bali (PKB), Denpasar, Senin (20/6) siang.
Bersama sejumlah penari lain, Ia memanggungkan sejumlah tari langka di arena terbuka yang sederhana. Tidak ada brosur atau informasi yang cukup dari panitia PKB untuk memperkenalkan tokoh dan lakon tarian-tarian klasik Bali ini pada penonton.
Sekariani membawakan tari Joged Pingitan, tari yang paling disukai alm Ni Ketut Cenik, legenda seniman perempuan Bali yang terus menari hingga meninggal pada usia 90 tahun pada April 2010 lalu. “Tarian klasik Bali ini harus terus dipanggungkan, ini warisan dari Ni Cenik,” ujar Sekariani. Ia sendiri mengaku tidak sekuat sang nenek, yang bisa menarikan berbagai lakon selama nonstop berjam-jam.
Sekariani merekonstruksi sejumlah tarian klasik ini bersama Yayasan Tri Pusaka Sakti. Sebuah lembaga konservasi dan dokumentasi seni yang dikelola keluarga Ni Cenik di Banjar Pekandelan, Batuan, Sukawati, Gianyar.
Joged Pingitan menceritakan tentang turunnya bidadari dari kahyangan ke bumi ini, dan zaman dulu hanya bisa dipentaskan di depan raja. Jenis joged ini dalam pementasannya diiringi dengan gamelan tingklik bambu yang berlaras Pelog, yang disebut Gamelan Joged Pingitan.
Disebut Joged Pingitan karena di dalam pementasan tarian ini ada bagian-bagian yang dilarang (dipingit) yaitu pengibing hanya bisa menari untuk dapat mengimbangi gerak tari yang ditimbulkan oleh penari joged dan tidak boleh menyentuh penarinya. Repertoir yang biasa dijadikan suatu lakon adalah kisah Prabu Lasem dan di beberapa tempat ada juga yang mengambil cerita Calonarang. Berdasarkan data-data yang ada, joged ini muncul di Bali sekitar tahun 1884.
Di pentas PKB, Sekariani dan penari lainnya merekonstruksi tari Bapang Gede, yang dinilai gerakan dasar khas pada sajian tari Joged Pingitan. Dibalut kisah Calonarang, para penari dan penabuh membawakan cirri khas Joged Pingitan dengan karakternya tarian Sisia, Matah Gede, Rarung, Maling Maguna, Rangda, dan tarian Barong.
“Seni rekonstruksi ini hanya bisa dinikmati masyarakat umum di PKB,” ujar I Made Djimat, pengelola yayasan, anak kedua Ni Cenik yang juga penari ini. Untungnya, menurut Djimat keluarga Ni Cenik membuat sanggar seni di Batuan yang kerap dikunjungi wisatawan. Ia sendiri bersyukur, sanggar seninya membuat generasi penari klasik warisan Ni Cenik ini tumbuh. Djimat mencontohkan kini sudah ada generasi keempat, cucunya yang sudah mempelajari tari-tarian ini sejak kecil.
Untuk mengajak warga di desanya melestarikan seni klasik, menurut Djimat tak mudah. Misalnya di sanggar seni Tri Pusaka Sakti, para murid tak dipungut bayaran. “Kalau konservasi berhasil, kami bisa pentas kalau permintaan, dan para penari juga bisa mendapat penghasilan,” katanya soal industry tari yang harus terus didukung. Pementasan rutin menurutnya cara konservasi seni yang hidup. Djimat berharap bantuan dari pemerintah tak putus.
Sejak 1971, Yayasan Tri Pusaka Sakti ini masih setia mementaskan tarian sacral dan klasik seperti Gambuh, Calonarang, Wayang Wong, dan lainnya. Jenis tari yang dianggap basic dari tari dan drama tradisional Bali. Karena itulah Batuan, masih dikenal sebagai pusatnya seniman tari klasik.
Kepala Dinas Kebudayaan Bali IB Sedhawa, yang mengkoordinir PKB mengatakan seni tradisi yang ditampilkan lebih banyak yang bersifat pengembangan. Karena itu, sanggar seni klasik memanggungkan tradi tradisi yang direkonstruksi.
Sejumlah agenda pemanggungan kesenian rekonstruksi lain di PKB minggu ini adalah Tari Topeng Banjar Sidan, Badung, lalu ada Arja anak-anak dari Sanggar Sakuntala, Karangasem, dan lainnya.
PKB tahun ini bertajuk “Desa Kala Patra: Adaptasi dalam Multikultur” menmapilkan enam materi pokok, yakni pawai, pergelaran, lomba, sarasehan, pameran dan dokumentasi. Pertunjukan seni rakyat ini digagas tahun 1979, oleh Almarhum Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, mantan Gubernur Bali.
Hingga 2015, PKB sudah menyiapkan sejumlah tema yakni Parasparos (Kebersamaan), Taksu (Membangkitkan Kreativitas dan Jati Diri ), Krtamase (Keajegan Rasa menuju Ketertiban Semesta), dan Jagadhita (Mengokohkan Kesejahteraan Masyarakat)