“Penyakit ini high cost,” kata Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika.
Rektor Universitas Udayana itu mengatakan dalam pembukaan seminar Ancaman Pandemi Diabetes Di Bali: Pencegahan dan Penanggulangannya yang dilaksanakan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Bali.
Kegiatan itu diadakan bekerja sama dengan Universitas Udayana dan Norvon Nordisk.
Dalam pembukaan tersebut Prof. Suastika menjelaskan tingkat produktivitas pasien diabetes dan juga pembiayaan yang selama ini keluar dari kantong pasien sendiri, “banyak asuransi swasta yang menolak kepesertaan apabila gula darah calon peserta tinggi,” katanya.
Seminar antara lain membahas profil diabetes mellitus (DM) di Provinsi Bali dan Kebijakan Kesehatan dalam pengendaliannya. Perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. I Made Adi Wiguna, M. Kes. memaparkan bahwa sebanyak 2/3 penderita diabetes tidak menyadari dirinya terkena diabetes.
Mewakili Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), Prof. Suastika menyampaikan lebih detail tantangan dan hambatan dalam pengendalian dan penanggulangan diabetes di Bali dari segi pengelolaan pasien. Dari segi penggerakan masyarakat, Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) Bali diwakili dr. I Made Pande Dwipayana, Sp.PD mengutarakan tentang persiapan Bali dalam menghadapi pandemi Diabetes.
Seminar ini juga membahas mengenai pembiayaan JKN pada peserta yang menderita diabetes. Perwakilan BPJS Kesehatan Divisi Regional XI, dr. Hj. Triwidhi Hastuti Puspita Sari, MARS, AAK, menyampaikan gambaran pembiayaan kesehatan pada penyakit diabetes mellitus di Provinsi Bali.
Dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ada program pengembangan untuk penyakit DM tipe 2, yaitu masuk dalam program prolanis (program pengelolaan penyakit kronis), yang artinya juga untuk penyakit lain, misalnya hipertensi. Kegiatan ini dikelola di fasilitas kesehatan (Faskes) rujukan pertama yang menerima dana kapitasi.
“Kami mengoptimalkan yang bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama pertama,” katanya.
Mekanisme pelayanan ini, pasien yang memiliki gejala DM akan diberikan form screening di fasilitas kesehatan, kemudian ditegakkan diagnosisnya, dilakukan pencatatan baru terdaftar sebagai anggota prolanis atau dirujuk ke fasilitas kesehatan lanjutan untuk mendapat diagnosis lanjutan, hingga stabil baru bergabung dalam prolanis.
Tapi, sayangnya, katanya jumlah yang tercatat itu tidak selalu datang dalam layanan prolanis. Hingga Februari 2016 jumlah klub prolanis di Bali 398 dengan peserta berjumlah 10.178.
Beberapa kali dalam pemaparan sebelum mengenai pembiayaan tersebut, Prof. Suastika menyebut pengelolaan pasien DM tipe 2 kompleks. “Bahkan ahli yang sudah belajar bertahun-tahun belum ada yang menyembuhkan penyakit DM hingga saat ini,” imbuhnya.
Dia juga menjelaskan mengenai pengelolaan pasien DM membutuhkan perhatian khusus. Obat-obatan tertentu hanya cocok untuk kondisi pasien tertentu, oleh karena itu tantangan terapi tidak hanya datang dari pasien sendiri tetapi juga dari pemberi terapi.
Dalam akhir sesi diskusi seorang peserta bertanya, apakah pembiayaan yang ditanggung JKN saat ini sudah cukup membiayai penderita DM, mengingat pengobatan yang kompleks pada pasien tersebut. Pertanyaan ini langsung dijawab oleh Prof. Suastika. “Secara umum obat disediakan sudah cukup bagus. Perkembangan jenis obat saat ini ada yang baru sekali. Sayang sekali obat baru ini mahal, tetapi yang saat ini modal pengobatan diabetes sudah cukup bagus,” ujarnya.
Prof. Suastika juga menambahkan yang lebih penting dari penanggulangan DM adalah mendorong upaya perubahan perilaku.
Seminar kesehatan ini bertema ancaman pandemic diabetes, ancaman yang terjadi di semua Negara. Tingkat prevalensinya, jumlah seluruh kejadiannya ada kecenderungan peningkatan setiap tahun. Dalam paparan para pemateri menampilkan data Riskesdas (riset kesehatan dasar) nasional proporsi diabetes mellitus di daerah perkotaan di Indonesia 5,7 persen pada 2007 dan pada tahun 2013 mengalami peningkatan yaitu 6,9 persen.
Meskipun ada kelegaan pembiayaan pada penderita penyakit ini dijamin dalam JKN, tetapi masih lebih baik mencegah DM daripada mengobati kan? [b]