Begitu pedas latihan kali ini. Setiap hari adalah latihan dan ngobrol.
Setiap pukul empat hingga pukul enam sore, terkadang agak molor sedikit, adalah waktu latihan berkeringat dan ngobrol. Istirahat dua jam, lalu dilanjutkan nonton film bersama dan ngobrol lagi.
Obrolan inilah yang biasanya memakan waktu agak banyak. Namun, dari sana banyak hal bisa direnungkan dan kemudian bisa digunakan dalam banyak hal pula. Tidak hanya pada pementasan. Topik yang dibahas bukan hanya soal teater, tetapi lebih pada hal “apa yang menarik” dan “bagi siapa”.
Setiap hari, menu latihan adalah meremukkan tubuh. Pada beberapa sesi, latihan dilakukan dengan sangat individual dan begitu intim. Latihan ini untuk lebih mengenali badan kasar yang (mungkin) apabila dilanjutkan bisa mencapai ranah lebih dalam lagi.
Latihan, nonton film sebegai refrensi, dan diskusi sengaja disusun menjadi program yang melelahkan dan semoga bermanfaat kemudian. Namun, jadwal latihan yang ketat dan melelahkan ini justru membuat kami (para pelaku) menjadi lebih bernafsu.
Efek itu kemudian saya sadari setelah beberapa kali nonton film dilakukan dan kemudian dihentikan karena dirasa cukup – tempo latihan menjadi kendur. Satu per satu dari kami jeda barang sebentar dengan alasan masing-masing. Kami sepakat hal seperti ini bukanlah sesuatu yang tabu karena “jujur” untuk memilih dan “ikhlas” menerima keputusan menjadi hal yang penting.
Kali ini, kata-kata klise tersebut seolah-olah memiliki akar yang kuat. Mungkin karena kesepakatan yang secara tidak langsung menempel. Selain itu, kami percaya, latihan baru dimulai ketika rasa bosan mencuri kesempatan untuk mampir.
“Jujur” dan “ikhlas” tidak hanya berlaku pada saat minta izin untuk tidak ikut latihan, tetapi juga terhadap gerak. Dalam proses pencarian ini, kami dituntut sadar dengan diri sendiri, sadar dengan tubuh sendiri, sadar dengan keinginan sendiri, dan yang tidak kalah pentingnya adalah sadar dengan napas yang merupakan tangkai bunga pikiran yang suka keluyuran.
Jadi, gerakan yang dilakukan adalah gerakan milik sendiri yang digali dari kesadaran akan kemampuan tubuh.
Pada proses ini, sutradara tidak terlalu turut campur. Sutradara hanya mengingatkan hal-hal yang sebaiknya (tidak harus) dilakukan. Dari latihan-latihan ini, ada banyak temuan yang sangat jarang saya pikirkan dan ternyata menarik.
Temuan-temuan itu sangat sederhana, misalnya “ketika menggerakkan tangan dengan posisi tangan lurus lalu ditekuk, ada otot lain yang ikut merespon” atau “ternyata panjang lengan saya hanya sepanjang ujung jari hingga telapak tangan”.
Hal-hal sederhana semacam inilah yang menjadi topik obrolan kami setelah latihan. Padahal saya sendiri tak sepenuhnya yakin, ini bisa dibawa ke atas panggung. Kami dibuat sibuk membicarakan diri sendiri dan sibuk mengagumi diri sendiri. Namun, bukankah sudah semestinya sesekali kita memelihara rasa kagum pada tubuh sendiri?
Kekaguman inilah yang terbangun dalam latihan, sehingga saya menjadi lebih percaya pada tubuh sendiri dan tak berharap meminjam tubuh orang lain.
Sesekali, latihan kami memang mirip dengan latihan militer. Namun, latihan militer diimbangi dengan menu latihan kesadaran tubuh melahirkan sesuatu yang beraroma beda. Kesadaran menjadi bumbu yang lebih sedap dari pada “micin pada sambal ulek” pada latihan ini.
Latihan seperti militer ini pertama-tama memang harus memperhatikan bentuk gerakan secara detail, tapi keterbatasan melakukan gerakan membuat kami harus menggali ke dalam diri dan bertanya “bagian mana yang harus ditekan, dikunci, dilemaskan, dan seperti apa jadinya apabila tubuhku yang seperti ini bergerak begitu?” bagi saya sendiri menemukan dan menyadari titik-titik itu memberi kepuasan tersendiri.
Latihan seperti ini berlangsung kurang lebih selama satu bulan, sebelum akhirnya semua berubah bukan karena negara api menyerang, tetapi karena hari pentas “berlagak akrab” dengan mendekatkan dirinya. Tanpa niat meninggalkan hasil latihan sebelumnya, kami mulai mencari bentuk pentas, tentu kembali pada otoritas sutradara.
Kali ini sutradara memang mempunyai andil sangat besar, tapi sumbangan latihan selama sebulan sebelumnya nyata-nyata meninggalkan jejak yang tegas pada setiap pemain.
Dengan stimulus berupa film-film, wacana yang dipungut dari penjajagan di lapangan, obrolan di jalan, artikel-artikel, dan hasil latihan pada bulan sebelumnya, akhirnya kami berusaha melahirkan gerakan-gerakan yang kami anggap sesuai pada tubuh masing-masing.
Saya rasa saya sendiri masih tersesat dan terjebak pada latihan sebelumnya. Bagaimana tidak, latihan yang sibuk pada diri sendiri belum mampu saya lepaskan. Bahkan, pada proses peggarapan bentuk pentas ini, saya masih terjebak pada kesibukan mengenali diri.
Sungguh belum mampu rasanya saya sadar bahwa nanti, saya akan ditonton. Bukankah kesadaran ditonton adalah hal yang penting dalam pementasan? Hal ini masih menjadi masalah yang bukan bagi saya sendiri, beberapa kawan pun mengaku demikian.
Sebagaimana kami menanam kagum pada diri sendiri, seperti itu pula kami menyimpan kagum pada para pelaku jogged. Seka joged, penabuh, dan penari yang memandang joged bukan hanya dari segi estetika. Tetapi lebih dari itu, joged adalah benang penyambung hidup.
Mungkin inilah salah satu peninggalan yang masih tertancap tegas karena latihan satu bulan sebelumnya – menanam dan memelihara kekaguman.
Bagi saya sendiri, proses ini memang tak mudah. Sama halnya dengan kesulitan mendefinisikan “joged jaruh” sebagai sebuah tari pergaulan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat modern. Pada pentas yang akan datang, kesulitan inilah yang akan kami tampilkan. Kebingungan yang kami sepakati. Lagi sekali, kami sepakat, benar salah bukanlah hal yang terpenting, sebab setiap arena kultural memiliki aturan main masing-masing.
Rasanya, sungguh berlebihan jika saya yang ikut berproses di dalam pementasan kali ini menceritakan banyak hal tentang proses yang telah berlangsung. Namun, itulah perasaan yang pada akhirnya muncul setelah stimulus berupa latihan-latihan tersuntikkan. Pementasan yang akan berlangsung beberapa hari lagi, akan lebih banyak bercerita tentang proses kami selama ini.
Pentas ini, menjadi presentasi latihan beberapa bulan belakangan. Maka dari itu, mari saksikan “Joged Adar dan Kesibukan Melupakannya”. [b]