
Bulan Febuari banyak dikaitkan dengan bulannya kasih sayang karena anak-anak muda saat ini lebih mengenal tradisi luar negeri dari pada dalam negeri, salah satu contohnya yakni perayaan hari valentine.
Sementara di Bali khususnya Bali Utara memiliki kisah legenda yang sudah mendunia yakni kisah Jayaprana dan Layonsari yang didalamnya terdapat kesetiaan, cinta, dan pengorbanan besar untuk orang yang disayangi.
Bagaimana kita mengagumi kesetiaan Layonsari terhadap sang suami? Bagaimana bimbinganya Jayaprana yang tidak bisa melawan titah sang raja? Bagaimana kita membayangkan kisah cinta mereka yang berakhir tragis akibat gelap mata sang pemegang kekuasaan? Makamnya dibuatkan persis di tempat Jayaprana menghembuskan nafasnya yakni di Hutan Belantara Teluk Terima.
Mari simak kisah Jayaparana dan Layonsari yang telah dirangkum dari beberapa sumber.
Pada jaman dahulu kala, terdapat kerajaan kecil di Bali Utara yang bernama kerajaan Wanakeling Kalianget. Di kerajaan tersebut, hidup sebuah keluarga yang sangat sederhana yang memiliki tida orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Namun, akibat wabah yang menimpa desa tersebut banyak warga dan termasuk empat anggota keluarga hingga menyisakan si bungsu seorang diri, I Nyoman Jayaparna.
Raja Kalianget saat itu merasakan duka yang mendalam dan memutuskan untuk mengunjungi rakyatnya. Saat kunjungan, raja merasa tertarik dengan Jayaprana yang tengah menangisi kematian orangtua dan dua saudaranya, raja merasa iba dan teringat oleh mendiang anaknya hingga membuatnya ingin menjadikan Jayaprana sebagai anak angkat.
Setelah diangkat menjadi anak, Jayaprana tumbuh di lingkungan kerajaan dan mendapatkan pelajaran selayaknya anak kandung raja. Jayaprana tumbuh menjadi seorang pemuda tampan yang lihai bertarung dan anak-anak gadis diam-diam memendam rasa padanya. Melihat hal itu, raja memerintah Jayaprana untuk memiliki dayang-dayang istana atau gadis di luar istana untuk dijadikan pendamping. Mula-mula Jayaprana menolak, namun atas desakan akhirnya ia menuurutinya.
Pada suatu hari Jayaprana berjalan-jalan ke pasar dekat Istana. Dia melihat para gadis berlalu-lalang di sana dan matanya terpukau pada seorang gadis rupawan penjual bunga anak Jero Bendesa dari Banjar Sekar. Nama gadis rupawan itu, Ni Komang Layonsari. Pandangan Jayaprana tidak mau lepas dari Layonsari yang berusaha menghilang diantara kerumunan di pasar itu.
Jayaprana buru-buru kembali ke istana untuk melapor pada Raja bahwa dia telah menemukan gadis pujaan hatinya. Rajapun membuat sebuah surat dan memerintahkan Jayaprana membawa surat itu ke rumah Jero Bendesa. Setibanya di sana, Jayaprana langsung menyerahkan surat dan Jero Bendesa membaca isi surat pinangan untuk anak gadisnya Layonsari. Dia pun tidak merasa keberataan apabila anaknya Layonsari dikawinkan dengan Jayaprana.
Pada hari itu juga, Raja mengumumkan bahwa hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya Jayaprana dan Layonsari. Raja memerintah kepada para perbekel untuk mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai, dan lainnya.
Tibalah hari upacara perkawinan Jayaprana diiringi oleh masyarakat desa dan pergi untuk meminang Layonsari. Di Istana, raja duduk di singgasana dan dihadapnya ada pegawai raja dan perbekel. Kemudian datanglah romobongan Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai lantas turun dan langsung menyembah kehadapan Raja. Saat inilah Raja terpesona dengan kecantikan Layonsari.
Raja Kalianget jatuh hati kepada istri Jayaprana, dari situlah muncul niat jahatnya untuk merebut Layonsari. Setelah pesta perkawinan usai, raja Kalianget segera mengumpulkan seluruh patihnya untuk meminta pertimbangan tentang cara menghabisi nyawa Jayaprana secara diam-diam.
Mendengar hal itu, seorang patih yang bernama I Saunggaling memberi pertimbangan bahwa raja harus menitahkan Jayaprana pergi ke Teluk Terima untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang bajo yang menembak binatang di Kawasan Pengulan (Rencana ini hanya siasat agar mereka bisa mengabisi nyawa Jayaprana tanpa sepengetahuan orang lain termasuk Layonsari).
Malam harinya Layonsari bermimpi buruk, rumahnya dihanyutkan banjir besar. Ia kemudian bangun dan menceritakan mimpi seramnya kepada sang suami dan meminta agar keberangkatan besok ke Teluk Terima dibatalkan saja. Tetapi Jayaprana tidak berani menolak perintah Raja dan menenangkan istinya bahwa hidup dan mati ada di tangan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pagi harinya, Jayaprana berangkat dan meninggalkan istinya dengan perasaan sedih dan sepanjang perjalanan, ia sudah merasa ada yang tidak beres ada perasaannya mengatakan ia akan dibinasakan tapi dia mengacuhkannya. Sesampainya di hutan belantaran Teluk Tetima dengan bimbangnya Saunggaling menyerang Jayaprana, namun hal itu tidak mampu mengalahkannya. Ditengah kebingungannya, Jayaprana bertanya pada patih Saunggaling, mengapa ingin membunuhnya dan patih menyerahkan sepucuk surat dari raja yang isinya:
Hai engkau Jayaprana, manusia tiada berguna. Berjalan-jalanlah engkau, akulah menyuruh membunuh kau. Dosamu sangat besar, kau melampaui tingkah raja. Istrimu sungguh milik orang besar, kuambil kujadikan istri raja. Serahkanlah jiwamu sekarang, jangan engkau melawan. Layonsari jangan kau kenang, kuperistri hingga akhir jaman.
Jayaprana menangis membaca surat tersebut. Kemudian ia menyerahkan keris sakti miliknya dan berpesan agar keris dan berita kematiannya disampaikan pada istrinya sebagai bukti kesetiaanynya pada titah raja.
Setelah menerima keris itu, patih Saunggaling dengan mudah membunuh Jayaprana. Darah menyembur namun tidak tercium bau amis, melainkan wangi yang menyerbak.
Kematian Jayaprana juga dirasakan oleh alam dan tiba-tiba terjadi gempa bumi, angin topan, hujan bunga dan binatang di hutan tersebut menangis. Setelah mayat Jayaprana dikubur, seluruh rombongan kembali. Namun di tengah perjalanan mereka mendapatkan mara bahaya, banyak yang meninggal, dan macam putih juga menyerang menewaskan patih Saunggaling.
Kabar tewasnya Jayaorana sampai ke telinga Raja dan dengan terburu-buri Raja segera menghampiri Layonsari di rumahnya, dan menyampaikan berita duka sekaligus lamarannya kepada Layonsari. Layonsari mula-mula tidak percaya dengan kabar meninggalnya sang suami namun sang raja memperlihatkan keris Jayaprana yang berlumuran darah.
Dalam tangisnya Layonsari memaki raja dan merebut keris itu dan menusukkan ke jatungnya sendiri. Layonsari tewas dan jasadnya mengeluarkan aroma wewangian yang menyerbak ke seluruh wilayah kerajaan.
Melihat itu, rakyat membawa jasad tersebut untuk ditempatkan di sebelah jasad Jayaprana agar selamanya kedua kekasih ini dapat selalu bersama.
Lantas bagaimana dengan sang raja yang gelap mata itu? Melihat tragedi Layonsari menikam dirinya itu, raja kembali gelap mata dan mengamuk serta membunuh seluruh pengibingnya tanpa dapat mengendalikan dirinya. Kejadian ini berlangsung berhari-hati dan meresahkan para rakyat.
Akhirnya, para punggawa kerajaan memutuskan menangkap sang raja dan memasukkannya ke dalam penjara, akhibat sikapnya yang arogan. Termasuk ucapannya yang mengatakan ia akan menjadi gila jika tidak berhasil memperistri Layonsari.
Inilah akhir dari kisah cinta Jayaprana dan Layonsari, kisah ini masih hangat dibicarakan dan makamnya pun masih ramai dikunjungi. Hutan belantara yang membawa para pengunjung hingga sampai di makamnya.
Referensi