Bocah berusia tiga tahun positif HIV itu penentu kelanjutan keluarga I Wayan Sarka.
Di tangan bocah tersebut, masa depan keluarga Sarka, 53 tahun, kini bergantung. Dia satu-satunya cucu Sarka, petani di Desa Timpag, Kecamatan Kerambitan, Tabanan, sekitar 60 km utara Denpasar. Seperti orang Bali pada umumnya, sebagai laki-laki, bocah itulah yang akan meneruskan masa depan keluarga Sarka.
Gede Agus, begitu panggilan sehari-hari untuk bocah tersebut, positif HIV. Dia tertular dari orang tuanya. Ayahnya, I Wayan Suardana, 32 tahun, baru di-aben (kremasi menurut Hindu Bali) pada Oktober 2011 lalu. Ibunya, Ni Nyoman Candriasih, 28 tahun, menyusul meninggal awal Februari lalu. Pasangan muda itu meninggal akibat infeksi oportunistik (IO). Keduanya mengalami sindrom penurunan ketahanan tubuh, Acquired Immune Deficiancy Syndrome (AIDS).
Sarka mengaku semula tak mengerti penyakit apa yang menyerang Suardana, anak pertama dari dua bersaudara itu. Dia mengira anak yang sudah diangkat sebagai penerus keluarga secara adat itu hanya batuk-batuk biasa. Tiap malam Suardana batuk keras. Suhu tubuhnya lebih tinggi dari biasanya. Dia juga berkeringat terus.
Sampai kemudian Suardana dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Tabanan, sekitar 10 km dari desanya. Hanya tiga hari dirawat, dia meninggal. Para tetangganya lalu kasak-kusuk tentang penyakit Suardana. Dari situ Sarka baru kemudian baru tahu penyakit yang dialami anaknya. “Kata orang-orang dia kena ha i pe,” katanya merujuk pada HIV, virus penyebab AIDS.
Petugas lapangan Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), lembaga swadaya masyarakat di bidang penanggulangan HIV dan AIDS yang mendampingi Suardana saat di rumah sakit, kemudian meyakinkan Sarka tentang penyakit anaknya itu. “Wayan kena AIDS. Dia meninggal akibat TBC,” kata Dewa Ayu Made Sukarmiasih, pendamping dari Yakeba. Tuberkulosis (TBC), salah satu infeksi oportunistik yang paling sering dialami orang dengan HIV dan AIDS (ODHA).
Kematian Suardana menjadi kehilangan besar bagi Sarka. Sebagai orang Bali, keluarga Sarka harus punya anak laki-laki untuk meneruskan keluarga. Estafet keluarga itu sudah diserahkan pada Suardana. Anak keduanya, Made Sudarma, sudah nyentana, diangkat sebagai penerus keluarga istrinya sehingga tak mungkin jadi penerus keluarga Sarka. Namun, kini penerus itu sudah tak ada.
Maka, satu-satunya harapan kelanjutan generasi keluarga Sarka itu ada di tangan Gede Agus, bocah tiga tahun yang kini positif HIV tersebut. “Dia yang akan meneruskan keluarga saya,” kata Sarka sambil mengusap rambut Agus.
Tanpa baju, siang itu dia duduk memangku Agus. Tangannya yang terlihat kekar dan coklat mengilap mendekap cucu itu ke dadanya. Bapak dua anak ini duduk di samping bale bengong rumahnya. Si cucu masih terlihat mengantuk karena baru bangun tidur. Rambutnya acak-acakan.
Selama berbicara, Sarka berulang kali menahan napas lalu menghembuskannya panjang. Dia tak bisa menyembunyikan gelisah. “Mungkin sudah nasib kami dengan masalah ini,” katanya. Dia menunduk.
Istrinya, Ni Made Sumerti, 50 tahun mengambil Agus dari pangkuan Sarka. Sumerti berganti menggendong cucunya tersebut. Dia mengajak bermain. Namun, Agus hanya menyandarkan kepalanya pada pundak Sumerti. Tak ada senyum sama sekali di bibirnya.
Ancaman Baru
Mengutip idiom dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang sering dikutip, fenomena gunung es, apa yang dialami Sarka mungkin hanya puncak dari apa yang sebenarnya terjadi lapangan terkait penanggulangan HIV dan AIDS di Tabanan. Secara teori, fakta di lapangan bisa 5 kali lipat dari data yang ditemukan. Kabupaten ini sedang menghadapi ancaman baru, hilangnya sebagian generasi penerus keluarga.
Ancaman baru itu didukung sejumlah data dan fakta di lapangan. Penularan HIV di daerah ini makin meluas tak hanya pada kelompok berisiko tinggi, seperti pekerja seks komersial (PSK), pelanggan PSK, gay, waria, dan pengguna narkoba suntik (penasun) atau injecting drug user (IDU). Ibu rumah tangga dan anak-anak sudah jadi kelompok rentan tertular HIV di Tabanan.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Tabanan, ibu rumah tangga berada pada urutan kedua dalam jumlah distribusi kasus HIV dan AIDS menurut pekerjaan di kabupaten ini. Hingga Desember 2011 lalu, ada 45 ibu rumah tangga di antara 344 kasus HIV dan AIDS di Tabanan. Adapun karyawan di urutan pertama dengan 51 kasus. Kasus lain terjadi pada pekerja lain, termasuk pegawai negeri sipil, anggota TNI, dan pelajar.
Menurut faktor risiko, 307 kasus HIV dan AIDS di Tabanan terjadi akibat hubungan seksual berbeda jenis (heteroseksual). Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan penularan melalui jarum suntik oleh penasun, 18 kasus.
Jumlah kasus di daerah ini juga selalu meningkat. Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Tabanan I Nyoman Suratmika memberikan data. Pada tahun 2009, jumlah kasus baru di klinik voluntary counseling and testing (VCT) RS Tabanan sebanyak 46. Tiap tahun jumlah kasus baru ini meningkat sekitar dua kali lipat, 80 kasus pada 2010 dan 141 pada 2011.
“Data tersebut tidak termasuk dari pusat layanan HIV dan AIDS lainnya, seperti dari Sanglah (Denpasar) dan Singaraja,” ujar Suratmika.
Penularan pada ibu rumah tangga, menurut Suratmika, terjadi karena suami mereka yang terlebih dulu positif HIV. Suami-suami ini yang kemudian menularkan pada istrinya. Salah satu istri yang tertular tersebut adalah Ni Putu Kesiut, 27 tahun, merujuk pada nama desanya.
Dia tak pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Dia mengaku hanya berhubungan seks dengan suaminya. Toh, kini warga Desa Kesiut, Kecamatan Kerambitan ini tertular HIV. Suaminya sudah meninggal sekitar dua tahun lalu.
Dari ibu, HIV kemudian ditularkan pada anak-anak mereka. Hingga Desember 2011 lalu, ada 17 kasus penularan HIV melalui kelahiran (perinatal) di Kabupaten Tabanan. Selain Agus di Desa Timpag, anak lain yang tertular tersebut adalah Putu Bagus, 7 tahun, anak tunggal Putu Kesiut. Seperti juga Agus, saat ini Bagus menjadi tumpuan keberlanjutan generasi keluarga.
Beban Ganda
Sebagai anak laki-laki, dengan bapak yang sudah meninggal, Agus dan Bagus yang nantinya melanjutkan keluarga. Maka, selain harus menghadapi HIV dalam tubuh, anak-anak ini juga harus menghadapi besarnya harapan keluarga besar bahwa mereka bisa melanjutkan generasi tersebut.
Dengan HIV di dalam tubuhnya, anak-anak ini harus menghadapi ancaman penyakit dengan sistem ketahanan tubuh yang terus melemah. Bagus, misalnya, siang itu dia terlihat sakit. Dia lebih banyak diam dalam pelukan ibunya selama kami berbicara. Suhu tubuhnya meninggi.
“Biasanya sih dia selalu ceria. Tumben ini sakit,” kata Putu.
Beban itu bertambah dengan stigma ataupun diskriminasi yang mereka hadapi. Bagus pernah dikucilkan teman-temannya ketika baru masuk sekolah. Tak ada yang mau berteman dengan anak ini. Sudah tersebar informasi bahwa bapaknya meninggal akibat HIV dan AIDS, sesuatu yang masih saja dianggap sebagai sampar bagi banyak orang, termasuk warga desa di mana Bagus dan kedua orang tuanya tinggal.
Anak-anak ini, seperti juga ODHA pada umumnya, menghadapi beban ganda, HIV itu sendiri serta stigma dan diskriminasi.
Agus pun tak jauh berbeda dengan Bagus. Orang tuanya menghadapi diskriminasi itu. Ketika bapak Agus meninggal Oktober lalu, tak satu pun tetangga mereka mau memandikan. Maka, para ODHA di Tabanan yang memandikan jenazah Suardana.
Selain diskriminasi, Agus pun harus menghadapi ancaman penyakit yang bisa datang kapan pun meski saat ini CD4, indikator daya tahan tubuhnya masih 298 yang berarti tergolong bagus. Agus hanya beberapa kali sakit ringan seperti demam atau batuk. Di kulitnya juga ada bekas sakit gatal, salah satu infeksi yang biasa terjadi pada ODHA.
Toh, kondisi Agus ini tetap melahirkan kekhawatiran bagi Sarka maupun istrinya. “Kami terus was-was, khawatir bisa apa tidak cucu kami meneruskan keluarga ini,” kata Sarka. Dia mengembuskan napasnya panjang seperti melepas beban…. [b]
sedih banget dengernya………
buramnya potret kehidupan….#sedih banged bacanya…
koq jadi begini anak-anak negeri kita….kasian mereka (anak-anak)