Oleh Darma Putra
Dunia sastra Bali modern dewasa ini menyaksikan munculnya pengarang generasi baru. Pengarang generasi baru ini adalah penulis-penulis wanita. Mereka adalah Anak Agung Sagung Mas Ruscitadewi (Denpasar, lahir 1965), I Gusti Ayu Putu Mahindu Dewi Purbarini (Tabanan, lahir 1977), dan yang paling muda adalah Ni Kadek Widiasih (Karangasem, lahir 1984).
Trio penulis wanita ini mulai berkarya sejak awal dekade ini. Karya mereka dimuat di media massa berbahasa Bali seperti Buratwangi, Canang Sari dan Bali Orti yang merupakan suplemen Bali Post edisi Minggu. Kemunculan mereka sebagai generasi baru ditandai dengan terbitnya karya-karya mereka dalam bentuk buku pada tahun 2008.
Anak Agung Sagung Mas Ruscitadewi menerbitkan buku kumpulan cerpen Luh Jalir (Perempuan Nakal), I Gusti Ayu Putu Mahindu Dewi Purbarini kumpulan puisi Taji (Taji), dan Ni Kadek Widiasih kumpulan puisi Gurit Pangawit (Syair Pemula).
Sebetulnya, selain ketiga penulis wanita ini masih ada nama lain seperti Luh Suwita Utami, Ni Wayan Winarti dan LP Manika Hermayuni, tetapi sejauh ini mereka belum menerbitkan buku. Namun, yang lebih penting adakah yang istimewa dari karya pengarang wanita generasi baru ini?
Awal Era Baru
Munculnya penulis wanita dalam panggung sastra Bali modern pantas dicatat karena hal ini pertama kali terjadi. Sejak awal kelahirannya, panggung sastra Bali modern senantiasa didominasi pengarang pria. Kehadiran penulis-penulis wanita ini bisa disebut sebagai awal dari era baru dalam sastra Bali modern.
Sastra Bali modern pertama kali muncul zaman penjajahan, tepatnya 1910-an lewat cerpen-cerpen karya Made Pasek (asal Buleleng) dan Mas Nitisastro (seorang guru di Bali Utara). Tahun 1931 untuk pertama kalinya terbit novel berbahasa Bali berjudul Nemu Karma karya I Wayan Gobiah asal Panjer, Denpasar. Lalu, akhir 1930-an, majalah Djatajoe menerbitkan secara bersambung novel Melancaran ka Sasak karya Gde Srawana, nama pena I Wayan Bhadra dari Singaraja. Setelah kemerdekaan, tepatnya tahun 1959 muncul puisi karya Suntari Pr.
Dalam dekade berikutnya sampai 1970-an, karya sastra Bali modern bermunculan lewat lomba dan penerbitan yang diprakarsai oleh Prof Dr I Gusti Ngurah Bagus lewat Balai Bahasa (dulu berkedudukan di Singaraja). Ada banyak penulis menonjol dari era ini antara lain I Made Sanggra, I Nyoman Manda, dan Jelantik Santha. Semuanya adalah pria.
Sepanjang sejarahnya, baru mulai dekade 2000-an inilah panggung sastra Bali modern mencatat munculnya penulis wanita. Karya mereka menambah jumlah buku sastra Bali modern yang terbit tahun 2008 ini. Tahun 2008 terbit sembilan judul buku, meningkat dari lima judul tahun 2007. Karya yang terbit mewakili berbagai genre, yaitu puisi, cerpen, novel dan drama. Karya tahun 2008 menunjukkan keragaman tema dan pencarian estetika.
Selain tiga buku karangan penulis wanita yang disebutkan di atas, ada enam buku karya penulis senior lainnya, termasuk I Nyoman Manda, Made Suarsa, dan I Nyoman Tusthi Eddy. Di antara pengarang itu, Nyoman Manda yang paling produktif dengan menghasilkan empat buku. Dalam dua dekade terakhir, produktivitas Nyoman Manda tidak pernah bisa dilampaui penulis lainnya. Sudah tiga kali Nyoman Manda mendapat hadiah sastra Rancage atas jasa dan kualitas karyanya.
Perspektif Wanita
Kehadiran pengarang wanita dengan karya-karyanya tidak saja menambah jumlah buku yang terbit tahun 2008, tetapi juga memperagam tema-tema yang digarap. Walau tidak merata di semua karya, artikulasi masalah gender dari perspektif wanita mulai terasa. Ekspresi masalah sosial dalam sajak penulis wanita tidak kalah tajamnya dari karya-karya yang sudah ada.
Penggarapan tema gender misalnya bisa dibaca dalam sejumlah cerpen Mas Ruscitadewi dalam kumpulan Luh Jalir. Cerpen yang sekaligus menjadi judul buku ini menampilkan tokoh utama wanita yang melakukan pembelaan atau penolakan terhadap citra wanita nakal dengan mengatakan bahwa yang nakal dan yang senang selingkuh sebetulnya tokoh prianya.
Kepada tokoh pria, tokoh wanita dalam cerpen ini dengan lantang mendebat, “Tiang sing nyeh, pidan Bli misunayang tiang mamitra, khwala Bli sujatinnh bek ngelah mitra (Saya tidak takut, dulu Kakanda memfitnah saya selingkuh, tetapi Kakanda sejatinya banyak punya wanita idaman lain)”. Tema selingkuh relevan dengan situasi sekarang dan dalam kasus selingkuh kuasa patriarkhi biasanya memojokkan wanita.
Dalam cerpen “Purusa” (status sebagai pria) pengarang mempersoalkan bahwa status purusa tidak mesti selalu identik dengan pria karena wanita pun dapat menyandangnya. Mempersoalkan ketimpangan gender dengan perspektif wanita adalah salah satu ciri penting dalam cerpen-cerpen karya Mas Ruscitadewi.
Tema ketimpangan gender tidak begitu eksplisit dalam kumpulan puisi Taji karya Mahindu Purbarini dan kumpulan puisi Gurit Pangawit karya Kadek Widiasih. Meski demikian, karya-karya mereka bisa dianggap sebagai artikulasi aspirasi atau perasaan wanita. Sajak Mahindu Purbarini “Nengil Sing Nengil Bengil” (Diam tak diam tertindas) bisa ditafsirkan sebagai artikulasi atas takdir wanita sebagai insan tertekan. Sajak ini secara simbolik mengingatkan bahwa wanita tak punya pilihan lain, bertindak atau tidak, mereka sepertinya akan selalu tertekan di bawah kuasa patriarki.
Sajak Kadek Widiasih “Beli Made” mengekspresikan kesetiaan wanita kepada seorang pria yang dicintainya (beli made tiang masatya). Kesetiaan wanita terhadap pria membuat mereka semestinya mendapat cinta yang selayaknya. Walaupun sajak ini dan sajak-sajak Kadek Widiasih dan Mahindu Purbarini lainnya tidak secara spesifik mengangkat masalah gender, karya mereka merupakan artikulasi situasi sosial dan budaya di Bali dari perspektif wanita.
Dalam mengungkapkan masalah sosial budaya Bali, ekspresi pengarang wanita tidak kalah tajamnya dengan pengarang pria. Dalam sajak “Baline Dadi Titi Ugal Ugil” (Bali bak Jembatan Kropos), Mahindu Purbarini dengan keras mengungkapkan bahwa sawah-sawah di Bali digempur petir bermata dolar (carike sander tatit mamata dolar). Dilihat dari segi temanya, sajak ini merupakan salah satu sajak yang baik dalam kumpulan ini karena merefleksikan kondisi Bali dewasa ini yang tereksploitasi.
Belum Merata
Satu catatan penting yang perlu disampaikan dalam karya-karya sastra penulis wanita Bali adalah belum meratanya kekuatan ekspresi estetis. Dalam kumpulan puisi ada sajak yang kuat, ada yang tidak. Beberapa cerita mengambil tema yang baik seperti masalah kasta atau keturunan di luar pernikahan tetapi penulisannya masih terlalu sederhana, kurang kompleks, kurang dalam. Lukisan konflik dan ending (akhir) cerita di sana-sini masih belum berhasil membangun cerita yang utuh.
Meski demikian, kehadiran generasi baru pengarang wanita dalam panggung sastra Bali modern tetap pantas dicatat sebagai awal era baru. Kehadiran mereka dan karyanya tidak saja meramaikan panggung sastra tetapi juga ikut membentangkan fondasi estetis yang akan menentukan karakteristik sastra Bali modern di masa datang. Usia mereka masih relatif muda yang berarti bentang waktu untuk mematangkan kreativitas cukup panjang. [b]
sumber: Bali Post, Minggu, 11 Januari 2009 http://balipost.co.id/mediadetail.php?module=kategoriminggu&kid=15&id=Budaya