Layaknya model, sapi-sapi itu dihias cantik penuh aksesoris.
Ketut Sumerasna memakaikan aksesoris sepasang sapinya di lapangan Desa Kaliasem, Kecamatan Banjar, Buleleng. Petani berusia 75 tahun itu salah satu peserta lomba Sampi Gerumbungan.
Bersama sebelas peserta lain, dia mengikuti lomba yang diadakan Minggu kemarin.
Dia sudah puluhan kali mengikuti lomba Sampi Gerumbungan, sejak tahun 1991. “Saya hanya meneruskan tradisi yang sudah diwariskan dari ayah saya dulu,” tambahnya.
Sumerasna, kakek pemilik sapi nomor undian 10 ini, bercerita di sela-sela kesibukannya merias sapi.
Sementara itu di sekeliling lapangan terlihat antusias penonton yang sudah tidak sabar menunggu dimulainya pertunjukan Sampi Gerumbungan. Beberapa di antaranya memilih mengisi waktu berkeliling melihat-lihat dan berfoto dengan dengan sapi yang sudah dihias dan siap untuk dipertandingkan.
Salah satunya adalah Hadi. Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha asal Jawa Timur ini mengaku baru pertamakali menyaksikan pertunjukan. Sampi Gerumbungan. “Saya menjagokan nomor undian delapan,” ujarnya antusias.
“Soalnya sapinya besar dan kekar, hiasannya juga bagus-bagus,” tambahnya.
Diarak Keliling
Sapi Gerumbungan awalnya merupakan kesenian petani setempat. Sejak dulu kesenian ini sangat digemari para petani. Bahkan hingga kini menjadi tradisi di antara para petani. Setelah selesai membajak sawahnya yang siap untuk ditanami, para petani mengadakan sejenis hiburan yang dikenal dengan Megrumbungan.
Hingga akhirnya tradisi ini disahkan oleh Bupati Buleleng pada tahun 2002.
Istilah Gerumbungan berarti genta besar yang digantungkan di leher sapi jantan. Sepasang sapi yang sudah terlatih ini akan dihubungkan lehernya dengan sebuah kayu bernama Uga dan Lampit yang berfungsi untuk membajak sawah di belakangnya.
Perangkat-perangkat ini juga dilengkapi dengan hiasan-hiasan beraneka ragam warna, motif dan bentuknya.
Sebelum pertunjukan dimulai, seluruh pasangan sapi diarak keliling lapangan lengkap dengan jokinya. Wisatawan yang hadir baik lokal maupun mancanegara segera berebut tempat untuk mengambil foto kemolekan sapi-sapi yang diarak.
Usai parade, pertunjukan dimulai. Sebanyak 12 peserta dibagi menjadi empat sesi. Artinya satu sesi tiga pasang sapi bertanding. Ketiganya beradu berlari sampai garis finish di ujung lapangan.
Jika dilihat sekilas perlombaan Sapi Gerumbungan ini hampir sama dengan Kerapan Sapi di Madura. Namun yang membedakan adalah aspek penjuriannya.
Hal yang dinilai dalam perlombaan Sapi Gerumbungan bukanlah kecepatan mencapai garis akhir, tetapi keelokan dan keserasian antara joki dengan sapi saat berlari. Selain itu, atraksi joki juga menjadi salah satu aspek penilaian.
Setelah perlombaan selesai, beberapa wisatawan yang penasaran mencoba menjadi joki Sampi Gerumbungan. Tapi tetap diberi pengawalan.
Pertunjukan Sapi Gerumbungan ini digelar dalam rangka Festival Lovina tahun 2016 yang berlangsung 10-14 September. Selain untuk mempromosikan pariwisata Bali Utara, festival ini juga bertujuan merawat tradisi-tradisi yang sudah ada, seperti tradisi Sapi Gerumbungan. [b]
Comments 1