Oleh Anton Muhajir
Industri pariwisata berperan penting dalam menanggulangi masalah HI dan AIDS di Bali. Peran tersebut bisa dilakukan dengan cara tidak melakukan diskriminasi pada orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang bekerja di perusahaan pariwisata, memberikan penyuluhan pada pekerjanya, serta memberikan perhatian pada mereka yang terdampak oleh HIV dan AIDS.
Demikian dikatakan mantan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardika dalam diskusi terbatas dengan pelaku pariwisata di Sanur, Selasa kemarin. Diskusi tersebut dihadiri antara lain oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bali, Asosiasi Travel Agent (Asita) Bali, pimpinan beberapa hotel di Bali, serta pimpinan serikat pekerja pariwisata di Bali.
“Keterlibatan pelaku industri pariwisata bisa dilakukan secara bertahap. Mulai dari diri kita sendiri kemudian pada orang lain,” kata Ardika.
Menurut Ardika dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Kep 68/Men/IV/2004, disebutkan bahwa semua perusahaan di Indonesia tidak boleh melakukan diskriminasi pada ODHA di tempat kerjanya.
Salah satu pasal dalam SK tersebut memang menyebut bahwa perusahaan wajib melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS di tempat kerja. Pasal 2 ayat 2 aturan tersebut juga menyatakan bahwa pengusaha wajib memberikan perlindungan pada pekerja/buruh dengan HIV/AIDS dari perlakuan diskriminatif.
Selain tidak melakukan diskriminasi pada pekerja yang terinfeksi HIV, atau malah pada fase AIDS, perusahaan pariwisata juga harus mencegah penularan HIV melalui pariwisata yang beretika. “Caranya dengan menghindari perilaku-perilaku yang rentan menularkan HIV,” tambahnya.
Perilaku yang rentan itu antara lain berhubungan seks tanpa kondom dan menggunakan jarum suntik secara bergantian. “Kita harus menciptakan clean tourism di Bali,” kata Ardika.
Peran lain yang harus dilakukan, lanjutnya, bisa dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan di lingkungan perusahaan. Kampanye itu bisa dilakukan antara lain dengan menggunakan media tradisional seperti bondres, kesenian tradisional Bali.
Masalah HIV dan AIDS di Bali, menurut Ardika, telah menjadi masalah banyak orang karena sudah mencapai ke wilayah pelosok desa. Ardika menceritakan salah seorang gardener di salah satu hotel di Gerokgak, Buleleng yang telah terinfeksi HIV.
Kalau tidak ada tindakan dari semua pihak, termasuk kalangan pelaku pariwisata, maka HIV dan AIDS di Bali akan jadi masalah besar dan mengancam pariwisata. “Mirip dengan masalah global warming. Begitu meledak ke permukaan, semua orang akan terkejut dengan masalah yang sebenarnya ada,” tambahnya.
Sementara itu Yahya Anshori, Senior Project Officer Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, menyatakan bahwa saat ini KPA Bali sudah melakukan kerjasama dengan beberapa hotel di Bali. “Ada sekitar 20 perusahaan yang sudah terlibat dalam penanggulangan AIDS di Bali,” kata Yahya. Peran itu mulai dari penyuluhan pada pekerjanya sampai memberikan bantuan pada ODHA melalui corporate social responsibility (CSR).
Ketua Serikat Pekerja Pariwisata (SP Par) Kabupaten Badung I Putu Satyawira Marhaendra mengatakan SP Par Badung sudah terlibat dalam penanggulangan AIDS tersebut. Antara lain adalah lewat training for trainer (TOT) tentang HIV dan AIDS sesama pekerja pariwisata. Saat ini, menurutnya, ada sekitar 50 orang yang terlibat dari hampir 10.000 pekerja wisata di Kabupaten Badung saja.
“TOT ini menjadi salah satu peran serikat pekerja agar anggotanya memahami bahaya HIV dan AIDS,” katanya. [b]