Oleh Luh De Suriyani
Kawasan Jalan Gajah Mada Denpasar kini dihidupkan dengan momentum Gajah Mada Town Festival yang berlangsung 28-30 Desember ini. Pembukaan festival berlangsung riuh dengan atraksi seni lintas etnis, culinary festival, dan parade jalanan, minggu kemarin.
Sejumlah warga dengan keragaman etnis tampak pada kerumunan penonton. Nampak warga etnis Arab, China, dan India. Sebagian dari mereka adalah pedagang dan warga yang tinggal di kawasan ini. Jalan Gajah Mada tempo dulu terkenal sebagai pusat perdagangan dan gaya hidup di Bali.
Kini, Pemerintah Kota Denpasar menyatakan Gajah Mada adalah kawasan heritage dengan melakukan pembenahan pedestrian, taman, dan penataan toko.
“Kita rayakan interaksi budaya dan ekonomi yang terakhir dilakukan 50 tahun lalu di kawasan ini. Gajah Mada adalah pusat kota simbol warisan budaya dan multikultur, sebuah inspirational memories,” kata Walikota Denpasar IB Dharmawijaya Mantra.
Mantra mengharapkan kawasan Gajah Mada yang telah dipercantik ini kembali hidup dan menjadi ikon Kota Denpasar kembali. “Kawasan ini juga pusat keragaman dan humanity. Semoga bisa jadi alternatif wisata kota,” tambahnya.
Festival yang berlangsung tiga hari ini diisi dengan pertunjukan kesenian tradisional seperti Wayang Cenk Blonk dan sendratari, musik, pameran dagang, makanan tradisional Bali dan etnis lain seperti Roti Cane dari India.
Optimisme Mantra ditanggapi biasa saja oleh Candra, 55, seorang penonton yang juga berjualan sejak 50 tahun lalu di Jalan Gajah Mada.
“Gajah Mada sebagai pusat dagang adalah masa lalu. Toko kami sudah digantikan oleh supermarket yang banyak di Denpasar,” ujar Candra, pemilik Toko Dewang di ujung perempatan jalan Gajah Mada-Sumatera ini.
Ia sendiri mengaku terus bertahan dengan mengganti barang dagangan sesuai permintaan pasar. “Toko ini sudah diwariskan turun temurun. Jaman dulu kami menjual barang kelontong, namun kini sudah tak laku,” kata Candra yang kini berjualan parsel, dan sejumlah makanan kecil.
Candra masih mempertahankan bangunan tua di atas tokonya yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Gaya art deco dengan jendela-jendela besar serta cat putih kusam masih terlihat di lantai II. Sayang, lantai I yang berfungsi sebagai toko, di bagian depannya telah direnovasi menjadi arsitektur Bali oleh Pemerintah Kota. Pilar-pilar bangunan telah ditambal dengan batu bata, sehingga terlihat tidak harmonis dengan bangunan tua di atasnya.
Sangat sedikit bangunan di Gajah Mada masih menunjukkan bentuk lamanya. Sayangnya, tak sedikit dari bangunan-bangunan itu dibiarkan begitu saja tanpa pemeliharaan.
“Tak hanya di Jalan Gadjahmada di dua kabupaten berbeda itu, tetapi juga di tempat tempat lain di pulau Bali. Bahkan, banyak diantaranya yang dipugar hingga sama sekali tak meninggalkan jejak wajah aslinya,” kata Sakti Soediro, seorang arsitek yang kini mendirikan komunitas Bali Tempoe Doeloe (BTD) bersama arsitek muda lainnya yang mengkampanyekan program Saving Bali’s Heritage. [b]
Versi bahasa Inggris tulisan ini dimuat di http://www.thejakartapost.com/news/2008/12/30/festival-revitalizes-cultural-heritage.html
wajah lama bisa hilang tapi semangat perjuangan yg harus dipertahankan
untuk selalu bisa bertahan memang harus menyesuaikan diri dengan pasar, tidak bisa semata-mata bernaung pada kesuksesan tempo doeloe
perubahan pasti diperlukan
bagaimana mengembangkan diri di era yg sekarang dengan tetap membawa jati diri semangat kerja tempo doeloe